Mubadalah.id – Pukul setengah enam pagi.
Pak Ikmal, salah satu pekerja kebersihan sekolah, datang ke sekolah yang terletak di pinggir Selatan Ibu Kota seperti hari-hari biasanya. Ia sering menjadi orang pertama yang datang ke sekolah untuk memastikan lingkungan sekolah bersih sebelum para siswa dan guru datang.
Pagi itu, Pak Ikmal hendak membuka gerbang sekolah. Ia kaget ketika mendapati gerbang sekolah yang gemboknya sudah terbuka. “Siapa orang yang sudah datang duluan?” batin Pak Ikmal. Ia berpikir sejenak. “Oiya, barangkali Bu Satpam yang datang duluan.” Selain dirinya, Bu Satpam juga biasanya datang lebih awal dari dirinya.
Pak Ikmal pun bergegas memarkir motor dan segera mengambil alat kebersihan. Ia kaget tersentak ketika sorot matanya menangkap seorang anak perempuan memakai seragam yang berdiri di tepi balkon lantai tiga gedung A. Ia awalnya berpikir itu adalah penampakan sosok hantu, tapi otaknya berkata tidak. Sontak Pak Ikmal langsung berteriak, “Siapa itu? Astaghfirullah… ayo turun!”
Suara Pak Ikmal membuat anak perempuan tersebut mundur, kemudian lari dan bersembunyi. Pak Ikmal pun langsung mengejernya ke lantai tiga. Ia mencari dari kelas ke kelas, ke kamar mandi, dan ke perpustakaan. Di tengah-tengah pencariannya, dari arah Gedung B terdengar suara, “BRUKKK!”. Seperti barang jatuh dari atas.
“ASTAGHFIRULLAH, SIAPA ITU?!”
Teriakan Pak Ikmal ketika mendapati seorang siswi berseragam terkapar di lapangan basket dengan posisi tengkurap dan lumuran darah di sekelilingnya. Ia bergegas turun ke bawah sambil berlari dengan kaki gemetar hebat. Ia tidak berani menyentuh tubuh siswa tersebut. Melihatnya dari dekat, Pak Ikmal langsung tahu bahwa anak tersebut bernama Athifa.
Anak Berkebutuhan Khusus
Athifa, siswi kelas 7 SMP yang memiliki kebutuhan khusus. Athifa mengalami kesulitan dalam berhubungan sosial. Itulah kenapa ia selalu berjalan dalam kesunyian. Kendati demikian, Athifa adalah siswi yang cerdas dan pintar. Ia juga memiliki wajah yang sangat manis. Setiap ujian sekolah, ia mendapatkan nilai tertinggi di angkatannya. Beberapa kali juga memenangkan kejuaraan olimpiade.
Keterbatasan ekonomi orang tua Athifa membuatnya tidak bisa disekolahkan di sekolah anak berkubutuhan khusus karena biaya sekolahnya lebih mahal. Sejak kecil pun Athifa tidak memiliki pendamping khusus karena lagi-lagi orang tuanya tidak memiliki biaya untuk itu. Ia tetap disekolahkan di sekolah biasa karena orang tuanya menganggap Athifa termasuk ABK yang tidak parah. Mereka menganggap Athifa seperti anak normal dan tidak akan mengalami kesulitan belajar.
Athifa yang tidak bisa bergaul dengan baik membuatnya tidak memiliki banyak teman. Ia juga kadang tantrum jika terdapat hal-hal yang mengganggunya. Ia akan marah dan teriak-teriak sendiri jika tidak bisa mengerjakan soal matematika. Sikapnya itu membuatnya menjadi bahan empuk untuk dirundung oleh teman-temannya. Bagi teman-temannya, Athifa adalah objek hiburan. Setiap hari Ia diejek, ditertawakan, dan disudutkan.
Sekolah yang seharunya menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi Athifa untuk belajar, justru menjadi tempat yang paling menyeramkan. Meski begitu, ia tidak berani melapor pada siapapun karena takut dengan ancaman teman-temannya.
Perundungan terhadap Athifa
Pada suatu siang, Athifa tidak ditemukan di bangku kelasnya. Wali kelasnya langsung mencari keberadaannya. Ia bertanya keberadaan Athifa kepada orang tuanya, tetapi ternyata Athifa belum di rumah. Beberapa guru dan pekerja sekolah pun mencari Athifa di seluruh sudut sekolah. Sampai pada akhirnya, Athifa ditemukan oleh Bu Satpam di belakang gedung sekolah dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Ia menangis dengan tubuh gemetaran.
“B.. Bu, tolongin saya,” ucap Athifa dengan mulut bergetar dan air mata yang terus bercucuran.
“Ya Allah.. kamu kenapa?”, sontak Bu Satpam langsung merangkul Athifa dengan menangis. Tak tega melihat kondisi Athifa. Kerudungnya acak-acakan. Badannya bergetar hebat.
“Tolong, Bu, tolong! Tolongin saya! Semua orang di sekolah ini kejam! Tolong!” ucapan Athifa berganti menjadi jeritan.
***
Keesokan harinya, beberapa orang tua siswa dipanggi ke sekolah, termasuk orang tua Athifa. Mereka berkumpul di sebuah ruang pertemuan. Wali kelas dan kepala sekolah juga turut duduk di antara orang tua siswa. Semua wajah menunjukkan ketegangannya masing-masing, kecuali orang tua Athifa yang menunjukkan ekspresi marah sekaligus sedih.
“Bapak, Ibu, kemarin terjadi peristiwa yang membuat kami terkejut. Anak Bapak dan Ibu telah melakukan perundungan pada siswa bernama Athifa,” ucap Bapak Kepala Sekolah.
“Kami juga tidak menyangka, Pak, akan terjadi hal seperti ini. Kami sedih, Pak. Tapi, Pak, namanya juga masih anak-anak, belum dewasa, jadi hal seperti itu wajar saja,” kata salah satu orang tua siswa pelaku perundungan.
“Betul, Pak. Maafkan saja anak kami, jangan diberi hukuman soalnya masih belum dewasa,” saut orang tua siswa pelaku perundungan lain.
“Pak, Bu, saya minta maaf sebelumnya. Tidak adil rasanya jika anak-anak kalian yang menjadi pelaku dimaafkan begitu saja, tidak diberikan sanksi. Apa kalian tidak memikirkan bagaimana nasib dan perasaan anak saya? Athifa ketakutan, trauma, tidak mau belajar, dan tidak mau makan. Jika anak kalian yang berada di posisi Athifa, bagaimana perasaan kalian?” Pak Rahman, Ayah Athifa, berbicara dengan penuh amarah.
Keputusan Kepala Sekolah
Perkataan Pak Rahman kemudian menimbulkan perdebatan antar orang tua siswa, wali kelas, dan kepala sekolah. Kepala sekolah pun akhirnya mengambil keputusan, yakni hanya memberikan sanksi kepada para pelaku untuk membersihkan sekolah esok hari. Bahkan, pihak sekolah tidak memikirkan tindakan untuk penyembuhan Athifa karena menganggap kejadian perundungan sudah biasa dan Athifa akan baik-baik saja.
“Saya kecewa dengan sekolah ini yang tidak memihak dan memikirkan korban perundungan seperti anak saya! Anak saya adalah anak yang pintar, cerdas, prestasinya berkontribusi untuk membanggakan sekolah ini, tapi kalian semua telah membunuh mimpi anak saya; membunuh masa depan anak saya!”
Bu Athifa berhenti sejenak karena tidak mampu berkata-kata lagi. Selang beberapa detik, ia melanjutkan ucapannya.
“Athifa akan melanjutkan hidup dengan penuh rasa takut dan trauma. Betapa malangnya anakku, Athifa, hidupnya akan dihantui kecemasan. Sedangkan anak kalian, sebaliknya!” kata Ibu Athifa dengan tangisan yang sangat deras. Pak Rahman hanya mampu menggenggam tangan Ibu Athifa tanpa meningalkan satu kata pun.
Mereka tidak mengetahui bahwa Athifa sudah mencapai titik putus asa dan lelah dalam menjalani kehidupannya. Mereka tidak mengetahui bahwa Athifa sedang merencanakan kematiannya. []