• Login
  • Register
Minggu, 20 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mengapa Perempuan Korea Selatan Enggan Menikah dan Memiliki Anak?

Tak heran, pernikahan dan menjadi ibu mereka anggap seperti ‘penjara’, bukan lagi cita-cita yang mereka mimpikan

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
05/03/2024
in Personal
0
Perempuan Korea Selatan

Perempuan Korea Selatan

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam beberapa tahun terakhir, tren penurunan angka kelahiran di Korea Selatan terus berlanjut. Jangankan memiliki anak, untuk menikah pun banyak perempuan Korea Selatan harus berpikir panjang. Lantas, apa yang menyebabkan banyak perempuan enggan memiliki keturunan?

Salah satu faktornya adalah kurangnya dukungan sosial bagi para ibu. Selama ini, pihak pemerintah hanya memfokuskan isu kelahiran rendah di negeri gingseng hanya pada persoalan finansial semata. Ternyata, problem finansial bukanlah satu-satunya. Sebab, meski pasangan di sana telah pemerintah janjikan banyak program subsidi, dari bantuan pembelian rumah hingga pengurangan biaya SPP untuk anak, masih banyak perempuan yang enggan memiliki keturunan.

Salah satu perempuan tersebut bercerita kepada jurnalis BBC bahwa ia bukan tidak ingin memiliki anak. Tapi kondisi di Korea Selatan yang sangat patriarkis membuatnya berpikir berulang kali untuk memiliki keturunan. Sebagai pekerja di industri pertelevisian, ia sejatinya memiliki aturan kerja delapan jam per hari.

Namun, ketika ia pulang tepat waktu, ia akan dianggap tidak berkomitmen dan kurang professional. Kultur seperti inilah yang membuatnya kemudian harus pulang pukul delapan malam. Meski aturan tertulisnya hanya sampai jam lima sore.

Tidak hanya itu, budaya minum dan makan malam bersama juga menjadi penghambat. Kedua momen tadi seringkali menjadi ajang sosialisasi antar karyawan. Bila sering absen, pegawai akan mendapatkan cap egois dan tidak mau bergaul.

Baca Juga:

Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

Laki-laki tidak Mau Berbagi Tugas Domestik

Pun ketika perempuan sudah memutuskan menikah dan tetap bekerja, banyak laki-laki di sana tidak mau berbagi tugas mengurus persoalan domestik. Semua pekerjaan rumah, dari mencuci hingga memasak mereka bebankan kepada perempuan. Menyewa asisten rumah tangga seperti di Indonesia, bukan suatu opsi karena seringkali justru menambah beban pengeluaran rumah tangga.

Memilih keluar dari pekerjaan juga bukan hal yang mudah. Sebab, ketika memiliki anak, anggaran yang harus mereka keluarkan akan semakin banyak. Sehingga bertumpu pada satu sumber penghasilan akan kian menyulitkan. Apalagi standar kompetisi sosial di Korea Selatan sangatlah tinggi.

Sekolah negeri bukan tujuan utama, sekolah swasta dengan iuran mahal justru yang mereka incar. Jika anak sudah selesai dengan sekolah, ekspektasi terhadap anak bisa mengikuti berbagai kegiatan penunjang yang biaya bulanannya tak kalah mahal. Bila tidak mengikuti standar sosial, siap-siap menjadi cibiran tetangga dan lingkungan sekitar.

Lebih dari itu, ibu yang memiliki anak tidak serta merta bebas mengekspresikan diri. Seperti standar patriarki yang ditulis Ester Lianawati dalam bukunya “Dari Rahim ini Aku Bicara”, seorang perempuan meski telah menjadi ibu dan berumur dituntut untuk tetap menjaga bentuk tubuh dan kulitnya.

Tak peduli ia berjuang habis-habisan untuk hamil dan menyusui, setelah selesai bergelut dalam perjalanan fisik tadi, kulitnya harus kencang seperti anak gadis di usia 20-an. Bila tidak, perempuan ditakut-takuti bahwa pasangannya akan selingkuh.

Selingkuh Dianggap Tindakan Legal

Yang miris, selingkuh sejak enam tahun lalu mereka anggap sebagai tindakan legal. Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan menyatakan bahwa perselingkuhan mereka nyatakan sebagai perilaku biasa dan bukan kriminal.

Padahal menurut aturan lama yang telah berlaku selama 62 tahun, ada aturan jika seseorang berselingkuh dari suami atau istri di Korea Selatan, maka warga lokal bisa mereka penjara sampai dua tahun tetapi hukuman itu sudah tidak lagi pemerintah terapkan.

Penghapusan regulasi tadi diterapkan seiring dengan semakin drastisnya angka perselingkuhan di sana. Pada tahun 2016, sebuah survei yang Heyday lakukan melibatkan 1090 pria dan wanita yang berumur mulai 20 tahun menunjukan lebih dari 53,7 persen pria sampai di umur 50 tahun pernah berselingkuh. Angka yang cukup tinggi dibandingkan wanita yang hanya mencapai 9,6 persen.

Dengan persentase tadi dan betapa kompleksnya menjadi ibu di Korea Selatan, akhirnya banyak perempuan di sana memutuskan untuk menghindari pernikahan dan memiliki anak. Bagi mereka beban domestik, pekerjaan, dan ekspektasi sosial yang tinggi membuat mereka kian sulit untuk menghadapi hidup yang telah berat. Tak heran, pernikahan dan menjadi ibu mereka anggap seperti ‘penjara’, bukan lagi cita-cita yang mereka mimpikan.

Yang miris, kompleksitas isu yang banyak perempuan alami di negeri gingseng justru pemerintah setempat acuhkan. Mereka masih saja menganggap persoalan penurunan kelahiran hanya sebatas isu keuangan.

Bagi pihak yang berwajib, pemberdayaan perempuan akibat feminisme justru menjadi biang kerok mengapa perempuan enggan memiliki anak. Tanpa memperhatikan lapisan permasalahan yang kaum hawa hadapi. Kalau sudah begitu, tanpa perbaikan kebijakan komprehensif, krisis populasi Korea Selatan akan semakin nyata di masa depan. Dan, gambaran perempuan bahagia hanya bisa kita nikmati sebatas di layar kaca semata. []

Tags: ChildfreeGenderKorea SelatanLajangmenikahPerempuan Korea Selatanpernikahan
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Nikah atau Mapan Dulu

Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial

20 Juli 2025
Kepemimpinan Perempuan

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

19 Juli 2025
Penindasan Palestina

Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

18 Juli 2025
Kehamilan Perempuan

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

18 Juli 2025
eldest daughter syndrome

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

17 Juli 2025
Love Bombing

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

16 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Karakter Anak yang

    Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Biarkan Fondasi Mental Anak Jadi Rapuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nikah atau Mapan Dulu? Menimbang Realita, Harapan, dan Tekanan Sosial
  • Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial
  • Yamal, Mari Sadar!
  • Meneladani Nabi Muhammad Saw dalam Mendidik Anak Perempuan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID