Mubadalah.id – Dari sumber-sumber Islam, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw. dan pendapat para ulama diketahui bahwa dimensi pengabdian atau ibadah sosial dan kemanusiaan dalam Islam sesungguhnya jauh lebih luas dimensinya dan lebih utama maknanya dibandingkan dengan dimensi ibadah personal.
Dalam teks-teks fiqh klasik, kita dapat melihat bahwa bidang ibadat (ibadah personal) merupakan satu bagian saja dari sekian banyak bidang keagamaan lain, seperti muamalat madaniyyah (hubungan sosial), munakahat (al-ahwal asy-syakhshiyyah), hukum keluarga, jinayat (pidana), qadha (peradilan), dan imamah atau siyasah (politik). Atau bahkan, al-‘alaqat addawliyyah (hubungan internasional).
Dalam buku-buku hadits, kita juga melihat bahwa bab ibadah personal jauh lebih sedikit dibanding bab-bab yang lain. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, sebuah kitab hadits paling populer. Termasuk misalnya, hanya mengupas persoalan ibadah dalam empat jilid dari dua puluh jilid yang menghimpun bab lainnya.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa perhatian Islam terhadap persoalan-persoalan publik jauh lebih besar dan lebih luas dari pada perhatian terhadap persoalan-persoalan personal. Dan memang persoalan kehidupan manusia sangat luas dan terus menerus berkembang.
Dalam sebuah kaidah fiqh menyebutkan, “Al-Muta’addi afdhal min al-qashir.” (Amal ibadah yang membawa efek lebih luas lebih utama dari pada amal ibadah yang membawa efek terbatas).
Al-Ghazali mengungkapkannya dengan bahasa: “Al-naf’u almuta’addi a’zham min an-naf’ al-qashir.” (Ibadah yang memberi manfaat yang menyebar lebih agung. Hal ini apabila kita bandingkan dengan ibadah yang membawa manfaat kepada diri sendiri).
Terhadap persoalan tersebut, Abu Ishaq asy-Syirazi dan Imam al-Haramain mengatakan bahwa orang yang melaksanakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Bahkan acap kali memiliki nilai lebih tinggi ketimbang melaksanakan kewajiban individual (fardhu ‘ain). Karena kewajiban kolektif dapat membebaskan kesulitan banyak orang. []