Mubadalah.id – Barangkali kisah memotong senja dan mengirimkannya dalam sebuah surat terdengar utopis dan imajinatif. Tapi bagaimana jika ternyata kisah sepotong senja karangan Seno Gumira Ajidarma ini turut merepresentasikan keadaan sosial dan kondisi lingkungan di suatu masyarakat?
Pembaca mestinya akrab dengan romantika era 90an, yakni dengan surat atau puisi. Hal tersebut ditunjukkan dalam cerita ini, yang mana Sukab mengirimkan surat, dengan sepotong senja pula, dengan bahasa yang indah dan mendayu-dayu.
Sepotong Senja untuk Pacarku adalah sekumpulan cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan dan wartawan yang juga pernah mengangkat topik Tragedi Santa Cruz dalam bukunya Trilogi Insiden.
Berbeda dengan Trilogi Insiden, Sepotong Senja untuk Pacarku, khususnya pada bagian Trilogi Alina, cenderung mengangkat romantisme seorang lelaki terhadap senja, dan ambisinya untuk mengirimkan sepotong senja itu kepada pujaannya.
Memahami Dekonstruksi
Trilogi Alina tak hanya membahas tentang cinta dan senja. Namun dengan melakukan proses pembacaan dekonstruksi, kita dapat menjauhkan diri dari pemahaman mayoritas tentang suatu teks. Yang mana hal tersebut dapat menambah kekayaan sudut pandang pembaca ketika berhadapan dengan bahan bacaan.
Dekonstruksi, oleh Jacques Derrida sebagai tokoh pencetusnya, adalah sebuah peristiwa pembacaan teks yang menghadirkan kemungkinan seluas-luasnya. Teks tak lagi terjebak pada satu kebenaran absolut, melainkan membuka peluang munculnya kebenaran yang lain yang dapat memungkinkan adanya perkembangan dari teks tersebut.
Realitas Sosial dalam Romantisme Senja
Dengan perspektif dekonstruksi, pembaca dapat sedikit mengambil beberapa poin realitas sosial yang penulis tunjukkan dalam kumpulan cerita pendek ini. Adanya tokoh-tokoh pendukung seperti gelandangan dan anak-anak yang tergambarkan sebagai tokoh yang bernasib buruk adalah potret realitas sosial yang ditunjukkan penulis secara samar, misalnya dalam kutipan di bawah ini.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku. … Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. (Ajidarma, 2016:10)
Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagiaan. (Ajidarma, 2016:11)
Di bukit kapur, tempat Alina berada, juga menunjukkan kondisi suatu daerah yang jauh dari pusat kota. Penulis juga menunjukkan realitas sosial melalui anak-anak kota dan anak-anak desa yang kontras, seperti pada kutipan berikut ini.
Kau tahulah Sukab, anak-anak di daerah bukit kapur begini tidak punya mainan yang aneh-aneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing dan kerbau, ikan dan belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang mereka sentuh. Anak-anak yang tidak pernah tahu mainan robot berjalan dengan cahaya di dadanya yang berkedip-kedip pasti akan penasaran sekali dengan cahaya senja yang memancar berkilauan, merah dan keemas-emasan itu Sukab. (Ajidarma, 2016:20)
Senja dan Kondisi Alam Akibat Tangan Manusia
Melalui sudut pandang tukang pos yang terjebak dalam amplop, Seno Gumira Ajidarma mengungkap pula kondisi alam yang rusak oleh ulah manusia. Dengan meletakkan perspektif dekonstruksi pada bagian ini, kita dapat melihat juga menyinggung kehidupan pascamanusia. Pada kehidupan ini, manusia mencoba memperbaiki peradaban alam yang telah hancur oleh ulah sesamanya.
Kepada keturunanku kuriwayatkan sejarah manusia di muka bumi, yang dengan segala kelebihannya dari segenap makhluk lain tak pernah mampu menahan dirinya sebagai penghancur. Bangsa kami terheran-heran tak mengerti jika mendengar kisah manusia. Mereka tidak bisa membayangkan betapa mungkin manusia menghancurkan hutan, mengotori laut, menyantap makhluk-makhluk lain, dan membantai sesamanya tanpa perasaan; mereka tak mengerti betapa mungkin manusia menjadi begitu jahat, dan dengan kecerdasannya hanya merusak semesta yang suci. (Ajidarma, 2016:38)
Pada kutipan di atas, sang tokoh menceritakan tentang sifat-sifat manusia yang suka merusak hutan. Alam semesta yang awalnya indah dan suci itu menjadi rusak dan tereksploitasi untuk kepentingan pribadi.
Dalam awal kisah ini pun, perbuatan tokoh Sukab yang mencuri senja adalah representasi keegoisan manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Akibatnya, surat berisi senja yang ia kirimkan ke kekasihnya, Alina, malah menimbulkan bencana.
Kutipan di atas mengingatkan kita dengan QS. Ar Rum ayat 41. Pada ayat tersebut, jelas bahwa adanya kerusakan alam yang terjadi karena ulah manusia.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Pada akhirnya, akan selalu banyak nilai yang dapat kita temui ketika membaca suatu teks dengan perspektif dekonstruksi. Dalam cerita pendek seperti Sepotong Senja untuk Pacarku pun, kita dapat menemukan berbagai representasi keadaan sosial dan kerusakan lingkungan akibat perbuatan manusia. []