Mubadalah.id – Ada semacam “keributan” tahunan di bulan Ramadan. Salah satunya sebagian kecil dari umat Muslim yang misalnya menolak dan lalu mengganti do’a berbuka puasa. Konon, do’a berbuka puasa yang lazim kita baca itu keliru, tidak sesuai dengan sunah Nabi Saw dan karena itu harus kita ganti.
Demikian juga mengenai fadilah salat tarawih yang setiap harinya dishare dengan menukil keterangan yang ada di dalam kitab Durratun Nashihin. Kitab yang banyak orang yakini mengandung hadis-hadis palsu.
Islam senantiasa menghendakinya kemudahan, bukan kesulitan. Hampir tidak akan kita temukan segala tuntunan Islam yang tujuannya untuk menyulitkan umatnya. Ada kalanya dirasakan sulit itu bisa jadi karena tidak memahami dan belum terbiasa.
Termasuk segala tuntunan dalam menjalankan ibadah puasa selama Ramadan. Umat Muslim sebaiknya tidak terjebak pada sikap saling menyalahkan, paling benar sendiri dan tidak mempertimbangkan tradisi sebuah bangsa atau daerah.
Dalam ayat 185 QS. Al-Baqarah menjelaskan:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Oleh karena itu, kalau pun punya pandangan yang berbeda tentang hal apa pun dalam berbagai tuntunan Islam, harus kita pertimbangkan baik-baik dan tersampaikan dengan bijak. Terlebih kepada para ulama, Kiai, ustadz dan lainnya, agar dalam menyampaikan pandangan yang berbeda sekaligus disertai dengan pilihan (kesempatan) untuk pihak lain yang berbeda.
Membincang Keutamaan Salat Tarawih
Harus kita pahami bahwa umat Muslim di Indonesia punya sensitivitas ketersinggungan yang luar biasa. Tak terkecuali manakala hendak membahas kajian seputar Ramadan, terlebih soal do’a saat berbuka dan berbagai keutamaan salat Tarawih.
Nabi Saw., bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ ؛دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Ada tiga macam do’a yang mustajab, yaitu do’a orang yang sedang puasa, do’a musafir dan do’a orang yang teraniaya.”
Hadis ini cukup untuk menjadi dasar, bahwa yang menjadi prinsip adalah kebaikan do’a atau do’a yang baik yang kita panjatkan sepanjang Ramadan. Oleh karena itu, bagaimana spesifikasi redaksinya, itu tidak lagi jadi soal.
Sebab dalam berdo’a, kita diperbolehkan menggunakan bahasa apa pun, tidak terbatas menggunakan bahasa Arab. Sehingga manakala kita hendak berbuka puasa, lalu mau berdo’a, sebetulnya mau bagaimana pun redaksi do’anya, semuanya boleh-boleh saja.
Berikutnya berkenaan dengan keutamaan salat Tarawih.
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Sudah jelas bahwa salat tarawih mengandung banyak keutamaan. Itulah kenapa kemudian, orang Muslim yang di luar Ramadan tidak pernah salat fardu sekali pun, tetapi di saat Ramadan mendadak mau pergi ke Masjid, untuk ikut salat Tarawih berjamaah.
Menyikapi Fenomena Euforia Ramadan
Dalam menyikapi fenomena euforia Ramadan dan salat Tarawih ini, tidak bijak apabila kita dengan gampang meremehkan. Sebaiknya kita tetap berhusnuzan dan mendo’akan, jangan sampai meremehkan dan menganggapnya sia-sia, kepada saudara-saudara Muslim kita yang tiba-tiba mau ikut salat berjamaah meskipun karena terdorong hanya oleh salat Tarawih.
Semoga dengan begitu, justru hidayah dari Allah turun kepada yang bersangkutan sampai nanti menjadi hamba Allah yang ahli ibadah. Saking istimewa dan banyaknya kandungan fadilah di bulan Ramadan dan Tarawih, ada ulama yang dengan rinci menjelaskan berbagai keutamaan harian salat Tarawih di dalam kitab Durratun Nashihin.
Saya tetap berhusnuzan, bahwa kitab tersebut bisa jadi merupakan motivasi bagi orang-orang awam agar mau melaksanakan salat, betapa pun mereka mulai dengan saalat Tarawih. Ada yang setuju dengan berbagai penjelasan keutamaan itu silakan, yang tidak setuju juga silakan. Kita umat Muslim tidak perlu membuang energi untuk saling berseteru.
Masih banyak umat Muslim, terlebih juga para tokoh agamanya yang belum bisa menerima perbedaan. Manakala berpendapat masih seenak sendiri. Apalagi sampai-sampai membawa-bawa nama Al-Qur’an dan hadis.
Padahal setiap satu pendapat akan sangat berpotensi memunculkan pendapat-pendapat lain yang berbeda. Terlebih perbedaan pendapat itu muaranya dari sumber Al-Qur’an dan hadis yang sama. Dalam kondisi seperti ini, mendesak kita membutuhkan juru agama yang memahami setiap perbedaan dan psikologi beragama. []