Mubadalah.id – Rabi’ah al-Adawiyyah lahir di Basra, tepatnya di ujung Teluk Persia, pada tahun 714 atau 717 M. Ia meninggal di bekas kota garnisun tersebut pada tahun 801 M.
Rabi’ah merupakan puncak tradisi Sufisme Basrah dan sufi perempuan terbesar dalam Islam.
Dalam Sufisme, ia merupakan salah satu (jika bukan satu-satunya) eksponen awal “mistisisme cinta.” Catatan paling awal mengenai legenda dan kisah-kisah kehidupan Rabi’ah terkristalisasi dalam karya Farid al-Din Attar berjudul ‘Tadhkirat al-Awliya’.
Tradisi menyatakan bahwa orang tua Rabi’ah meninggal saat ia masih kecil. Anak yatim piatu itu tertangkap dan dijual sebagai budak namun kemudian dimerdekakan. Kemungkinan besar karena keluarganya yang merupakan muallaf dan/atau karena kesalehannyalah yang menjadi alasan mengapa Rabi’ah terbebaskan dari statusnya sebagai seorang budak.
Sufi yang Tidak Mementingkan Dunia
Rabi’ah al-Adawiyah tergambarkan sebagai seorang “sufi yang tidak mementingkan dunia.” Dalam hidupnya, Rabi’ah melakukan tiga rangkaian praktik Sufisme, yaitu doa, praktik kemiskinan (faqr) dan pengasingan yang mencakup tiga hal: “sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara.” Aturan Sufismenya yang tak kenal kompromi ini mengharuskannya untuk sering bepergian ke padang pasir dan membangun gubuk sederhana di sana.
Ia menganjurkan kepada para sufi untuk menempuh jalan pelepasan keduniawian, yang alasan mendasarnya adalah cinta yang tulus dan sepenuh hati (mahabbah) kepada Tuhan.
Meskipun ia secara fisik lemah dan sering sakit-sakitan, Rabi’ah terkenal karena kerasnya praktik mistisisme yang ia jalani. Ia konon menolak banyak lamaran dengan alasan lebih memilih hidup selibat.
Meskipun tidak ada aliran atau tarikat yang didirikan atas namanya seperti Tarikat Akbariyah milik Ibn Arabi, banyak orang yang datang untuk meminta nasihat-nasihat spiritualnya, baik itu sesama sufi dan orang biasa, laki-laki maupun perempuan.
Yang terkenal di antara mereka yang mencari bimbingannya adalah Sufyan ibn Sa’id ath-Thawri (w. 777–8). Dia adalah seorang fuqaha yang disegani dan tokoh penting dalam fiqih Islam awal. Selain itu, ada juga Abu al-Qasim al-Qushayri (w. 1073), Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dan Suhrawardi (w. 1191 ).
Konsep Tobat Menurut Rabi’ah
Gambaran seorang “sufi yang tegang dan emosional” yang terlukiskan oleh beberapa penulis biografi awal nampaknya kurang cocok jika kita bandingkan dengan gambaran Rabi’ah yang terdeskripsikan oleh as-Sulami di dalam kitabnya ‘Dhikr an-Niswa al-Muta’abbidat as-Sufiyyat’ bahwa Rabi’ah adalah “seorang guru yang rasional dan disiplin, yang menunjukkan penguasaannya terhadap hal-hal mistik. Seperti kejujuran (sidq), kritik diri (muhasabah), mabuk spiritual (sukr), cinta kepada Tuhan (mahabbah), dan gnosis (ma’rifat).”
Baginya, betapapun menakjubkannya dunia, ciptaan-ciptaan Tuhan hanyalah tabir yang menutupi keindahan dan hakikat Tuhan.
Menurut Rabi’ah al-Adawiyyah, pernak-pernik dunia adalah hambatan dalam jalan menuju penyatuan antara sang pencinta (manusia) dengan Sang Kekasih (Tuhan). Ini berhubungan dengan konsep tobat menurut Rabi’ah. Ia berpendapat bahwa tobat lebih dari sekadar penyesalan atas dosa atau tekad agar tidak berbuat dosa; tobat adalah tekad untuk berpaling dari semua hal kecuali Tuhan.
Dengan demikian, tobat adalah awal atau kondisi yang kita perlukan untuk mencapai kebajikan-kebajikan spiritual lainnya (maqam); tetapi yang terpenting adalah tobat memungkinkan penyangkalan atau penolakan atas keinginan pribadi dan membiarkan diri melebur pada kehendak Tuhan, yang secara logis merupakan implikasi ketauhidan—keesaan Tuhan.
Cinta yang Tulus pada Tuhan
Di samping kerinduan sang pecinta terhadap Yang Dicintai—atau kerinduan jiwa yang dibersihkan dari nafs (nafsu rendah, keinginan egois) untuk mengalami keintiman dengan Tuhan—Sufisme Rabi’ah juga memerlukan kepatuhan penuh seorang hamba terhadap keinginan Tuhan (ridho).
Seperti Tuhan di dalam al-Qur’an atau kitab suci lainnya, Tuhan Rabi’ah adalah Tuhan yang Maha Pecemburu “yang tidak akan membiarkan siapa pun berbagi cinta yang seharusnya hanya untuk-Nya.”
Menurut Rabi’ah, cinta yang tulus kepada Tuhan bermakna bahwa ibadah seorang hamba tidak akan dimotivasi oleh harapan akan pahala (Surga) maupun rasa takut terhadap hukuman (Neraka). Rabi’ah bertanya, “Bahkan meskipun Surga atau Neraka itu tidak ada, bukankah kita tetap wajib menaati-Nya?”
Dengan demikian, cintalah (mahabbah) yang, pada akhirnya, memungkinkan seorang hamba mencapai penyatuan dengan Tuhan. Bagi Rabi’ah, praktik Sufisme bertujuan untuk meningkatkan rasa keterpisahan dari, dan mengintensifkan kerinduan kepada Tuhan.
Meskipun cinta kepada Sang Kekasih (Tuhan) menjauhkannya dari cinta kepada makhluk ciptaan-Nya, Rabi’ah menghadapi perpisahannya dari Sang Kekasih dengan kesabaran (sabr) dan rasa syukur (shukr) yang melampaui perasaan suka dan duka. []
Referensi
Smith, Margaret. ‘Muslim Women Mystics: The Life and Work of Rabi’ah and Other Women Mystics in Islam’. Oxford: OneWorld, 2001.