Mubadalah.id – Jika kita membayangkan Plato, salah satu filsuf terbesar sepanjang masa, berbicara tentang hak perempuan. Konteks sejarah dan filosofis menjadi kunci untuk memahami dinamika percakapan ini.
Pada zamannya, peran perempuan dalam filsafat dan politik sangat terbatas. Bahkan di Athena, kota yang dianggap sebagai pusat intelektual Yunani Kuno. Namun, Plato sendiri memiliki pandangan yang lebih progresif tentang perempuan dibandingkan kebanyakan tokoh di eranya.
Ketika Plato bicara tentang perempuan, bayangan kita mungkin langsung mengarah pada bagaimana seorang filsuf besar seperti Plato mengatasi batasan budaya dan pandangan patriarkal di zamannya.
Dalam konteks filsafat Yunani Kuno, perempuan sering kali mereka tempatkan di posisi subordinat, baik dalam tatanan sosial maupun wacana intelektual. Namun, dalam hal ini apakah Plato pernah benar-benar melibatkan perempuan dalam dialognya, baik secara nyata maupun konseptual?
Plato tidak secara langsung menulis dialog-dialog yang melibatkan perempuan sebagai tokoh utama. Meski demikian, konsep-konsepnya dalam Politeia (atau The Republic) memberikan secercah harapan mengenai kesetaraan gender.
Dalam karyanya itu, Plato menyatakan bahwa perempuan yang memiliki kemampuan setara dengan laki-laki harus kita izinkan memegang posisi sebagai penjaga (guardian) dalam negara idealnya. Ia berargumen bahwa perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan tidak menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai kebajikan atau keunggulan intelektual yang sama.
Namun, pandangan ini bukan tanpa kontroversi. Plato, meskipun tampak mendukung kesetaraan, masih menempatkan perempuan dalam kerangka yang terikat pada fungsi negara ideal. Bukan sebagai individu bebas yang memiliki hak dan aspirasi personal di luar kepentingan negara.
Mengubah Pandangan Masyarakat
Menyadari tantangan untuk mengubah pandangan masyarakat yang telah terbelenggu oleh tradisi, Plato mencoba menggugah pemikiran melalui serangkaian pertanyaan. Ia membandingkan peran anjing jantan dan betina milik penjaga sebagai analogi. Ia bertanya, apakah anjing betina tidak mampu melakukan tugas penjagaan seperti anjing jantan?
Plato menyimpulkan bahwa anjing betina dapat melakukan apa pun yang anjing jantan lakukan. Termasuk berburu dan menjaga kawanan. Analogi ini ia gunakan untuk menunjukkan bahwa secara alamiah, perempuan mampu menjalankan peran yang sama dengan laki-laki, termasuk dalam tanggung jawab publik dan negara.
Plato berpendapat bahwa jika perempuan kita minta menjalankan peran yang sama seperti laki-laki, maka mereka harus kita berikan pendidikan dan pelatihan yang sama.
Ia menyatakan, “Bila kita hendak memanfaatkan para perempuan untuk hal-hal yang sama sebagaimana para laki-laki, kita harus mengajarkan mereka hal-hal yang sama pula.” Tidak ada satu pun pelajaran yang kita kecualikan bagi perempuan. Mereka harus belajar musik, ilmu pengetahuan, olahraga, bahkan keterampilan perang seperti menunggang kuda, menggunakan pedang, dan perisai.
Dalam negara ideal yang Plato bayangkan, perempuan tidak hanya kita berikan hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan, tetapi juga kita latih untuk menjadi pemimpin yang kompeten. Ia menegaskan, “…perempuan dan laki-laki memiliki sifat dasar yang sama yang pantas untuk menjaga negara.”
Perbedaan Gender Menurut Plato
Menurut Plato, perbedaan gender tidak boleh menjadi alasan untuk membatasi peran seseorang dalam masyarakat. Selama kemampuan alami mereka sesuai dengan tugas yang kita berikan. Oleh karena itu, perempuan dalam idealisasi Plato dilatih dalam seni perang dan filosofi, sebagaimana laki-laki. Pandangan ini mencerminkan ide meritokrasi, di mana seseorang terpilih berdasarkan kemampuan, bukan identitas biologis.
Meskipun gagasan Plato mengenai kesetaraan gender terdengar progresif pada masanya, motivasinya lebih berfokus pada kebermanfaatan perempuan bagi negara. Bukan sekadar memperjuangkan hak individu mereka.
Dalam Politeia (Republik), Plato mengusulkan agar perempuan kita berikan kesempatan untuk berperan setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan sosial, seperti dalam kepemimpinan dan peran militer. Namun, pandangannya tentang kesetaraan ini tidak terdorong oleh keinginan untuk membebaskan perempuan atau mengakui hak-hak individu mereka.
Dalam filsafat modern dan feminisme, membayangkan kembali dan mengkritik pemikiran filsafat klasik menjadi upaya penting untuk memperluas perspektif yang sering kali terjebak dalam paradigma patriarkal. Simone de Beauvoir, misalnya, dalam karya monumental The Second Sex. Dia menekankan bagaimana perempuan sering kali terdefinisikan sebagai “yang lain” (the Other) oleh laki-laki dalam sejarah filsafat.
Pemikiran Plato dan Wacana Kesataraan Gender
Ini menunjukkan bahwa perempuan tidak pernah dipandang sebagai subjek yang setara. Melainkan selalu ditempatkan dalam posisi subordinat, hanya sebagai pelengkap atau refleksi dari laki-laki yang dianggap sebagai “yang utama.”
Namun demikian, pemikiran Plato menjadi landasan awal yang penting dalam wacana kesetaraan gender. Ia memberikan inspirasi untuk melihat perempuan sebagai individu yang memiliki potensi setara dengan laki-laki, membuka jalan menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Bagi Plato, menertawakan perempuan yang menjalankan peran seperti laki-laki adalah tindakan yang mematikan hikmat dan kearifan. Pandangan ini relevan hingga hari ini, mengingat perjuangan kesetaraan gender masih terus berlangsung di berbagai belahan dunia.
Meski begitu, pandangan Plato tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap pemikiran tentang kesetaraan gender, karena ia menantang norma sosial dan membuka jalan bagi gagasan-gagasan lebih lanjut tentang kesetaraan dan keadilan yang terus berkembang hingga saat ini. Jika dibandingkan dengan banyak filsuf dan pemimpin pada masanya, ia sudah melangkah lebih jauh dalam menghargai peran perempuan di luar batasan yang sempit. []