Mubadalah.id – Suatu saat, sebelum datangnya risalah Islam, ada seorang laki-laki dari kabilah Zubaid bertandang dari jauh ke Kota Makkah. Ia membawa barang dagangan. Tiba-tiba, barang dagangan itu dirampas oleh seseorang remaja dari pribumi suku Quraisy, bernama Ashi bin Wail.
Orang kabilah Zubaid itu tentu saja tidak terima dan marah. Ia meminta barangnya dikembalikan. Ia juga meminta tolong orang-orang suku Quraisy. Tetapi, tidak ada satu pun yang menolongnya.
Karena Ashi bin Wail termasuk pemuka yang disegani di antara suku Quraisy, orang dari kabilah Zubaid itu tidak patah arang. Di dekat Ka’bah, ia terus menceritakan kasusnya dan meminta tolong kepada publik Kota Makkah. Ia tidak mau berhenti menuntut dan meminta dukungan banyak orang agar barang dagangannya dikembalikan.
Ada satu orang dari suku Quraisy yang tersentuh pada tuntutan tersebut. Ia bernama Zubair bin Abdul Muthalib. Ia tidak terima atas perlakuan Ashi bin Wail terhadap orang dari kabilah Zubaid tersebut.
Namun, ia tidak cukup kuat untuk bisa menuntut sendirian. Lalu, ia ajak beberapa pemuka dan para remaja dari berbagai kabilah Quraisy. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an bin Amr.
Di rumah inilah disepakati sebuah traktat tentang dukungan dan advokasi terhadap korban-korban kezhaliman, Traktat ini disebut sebagai Hilful Fudhul (Perjanjian Orang-orang Mulia) atau bisa juga berarti perjanjian orang-orang yang disisihkan.
Disebut sebagai orang-orang mulia karena yang mengikutinya adalah orang-orang yang berakhlak mulia. Disebut sebagai orang-orang tersisih karena perjanjian ini ingin melindungi orang-orang yang tersisih secara sosial.
Isi Perjanjian
Isi perjanjian ini merespons atas kejadian orang dari kabilah Zubaid tersebut, yaitu melindungi dan menolong siapa pun yang menjadi korban kezhaliman, baik dari suku Quraisy maupun dari kabilah mana pun, yang masuk ke Makkah. Ia harus kita tolong dan kembalikan hak-haknya. Dalam Sirah Ibnu Hisyam, kitab rujukan awal tentang biografi Nabi Muhammad Saw., menjelaskan tentang orang-orang tersebut:
“Mereka (orang-orang yang berkumpul di rumah Jad’an itu) berjanji dan menyepakati untuk tidak boleh ada satu orang pun di Kota Makkah yang menjadi korban kezhaliman, baik dari penduduk pribuminya maupun orang yang masuk dari mana pun, seluruh manusia.”
“(Dan, jika terjadi), mereka akan berdiri di sisinya (mendukungnya) untuk menuntut orang yang menzhaliminya, agar hak-haknya mereka kembalikan. Orang Quraisy menyebut perjanjian ini sebagai Hilful Fudhul”.
Nabi Muhammad Saw, yang pada saat itu masih berusia 22 tahun, ikut menghadiri pertemuan di rumah Ibnu Jud’an dan mendukung hasil traktat advokasi tersebut. `Masih dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam yang sama, tercatat pernyataan kesaksian Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut ini:
“Aku (pada masa Jahiliah) menyaksikan (sebuah pertemuan) di rumah Abdullah bin Jud’an (yang menghasilkan) sebuah kesepakatan. Aku lebih mencintai kesepakatan ini daripada memiliki kekayaan binatang ternak. Jika saja aku kembali kepada kesepakatan ini, pada masa Islam ini, aku pasti akan memenuhinya.” (Hadits dalam Sirah Ibnu Hisyam Juz I: 124).
Kisah ini, sekaligus penegasan teks hadits mengenai hal tersebut, memberi inspirasi yang sangat kuat tentang ajaran Islam dalam membela orang-orang yang terzhalimi, siapa pun dan kapan pun. Termasuk orang-orang non-Muslim yang harus kita lindungi dari segala tindak kezhaliman.
Ajaran Islam, sebagaimana Nabi Muhammad Saw tegaskan, adalah paling berhak untuk memenuhi segala panggilan advokasi dan perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban kezhaliman.
Demikianlah salah satu akhlak yang Nabi Saw praktikkan pada masa Jahiliah dan masa Islam dalam membela orang terzhalimi, sekalipun remaja non-Muslim. []