Mubadalah.id – Culinary Class Wars, acara memasak yang terselenggara di Korea Selatan dan menjadi salah satu serial Netflix popular belakangan ini. Hampir sama dengan kompetensi-kompetensi memasak lainnya. Kontestan yang mengikuti kompetensi ini adalah seratus chef dengan kemampuan yang sudah tidak diragukan dari berbagai kalangan, baik laki-laki maupun perempuan.
Di babak delapan besar, para kontestan diminta untuk memasak dengan tema ‘Ceritakan Hidupmu’. Kemudian Jung Ji Sun sebagai salah satu kontestan perempuan yang tersisa memasak hidangan Tiongkok dengan cerita di baliknya.
Jung Ji Sun memasak olahan ikan yang begitu cantik dengan keterampilan pisau yang luar biasa. Kemudian ia bercerita kisah hidup di balik masakan yang dia buat adalah karena kerap merasa kesepian di dapur professional tempat ia bekerja yang seringnya didominasi oleh laki-laki.
Hal ini menarik perhatian, sebab urusan dapur seolah memiliki dualisme identitas yang berbeda. Jika dalam rumah tangga seolah urusan dapur adalah urusan marginal yang remeh sehingga menjadi tanggung jawab tunggal perempuan.
Namun, urusan dapur kemudian kita anggap menjadi pekerjaan berat dan mewah di dapur professional, sehingga perempuan tidak mampu melakukannya. Mengapa bisa sebaliknya? Seolah-olah ada saja alasan di manapun peran perempuan selalu menjadi pihak yang terpinggirkan?
Menilik Segregasi Peran
Segregasi peran antara laki-laki dan perempuan seiring berkembangnya zaman memang sudah memudar. Namun tidak kita pungkiri hal tersebut masih ada dalam beberapa bidang. Di dunia memasak professional salah satunya. Menjadi ironi memang, seolah kehadiran perempuan hanyalah kaum figuran. Tidak boleh menjadi peran utama dengan berbagai alasan.
Dalam urusan rumah tangga, masih banyak yang beranggapan bahwa memasak adalah tanggung jawab tunggal perempuan sebagai seorang istri dan seorang ibu. Lebih aneh lagi ketika ada laki-laki yang dalam keseharian rumah tangganya mau dan mampu berkontribusi mengurus dapur, maka akan selalu saja kita anggap sebagai sesuatu yang ‘wahhh’ di mata sebagian besar orang.
Sedangkan jika perempuan yang melakukannya, hanya kita anggap biasa saja seolah memang itu kewajiban yang meleket pada gender yang ia bawa. Di dapur professional justru sebaliknya, kebanyakan laki-laki yang mendominasi, dan lagi-lagi perempuan terpinggirkan. Beberapa alasan turut menyertai fenomena ini, salah satunya adalah alasan konsistensi sensorik.
Ada anggapan kemampuan konsistensi sensorik perempuan lebih labil daripada laki-laki karena adanya pengaruh hormonal pada saat menstruasi maupun kehamilan. Terlepas dari hal tersebut, kemampuan memasak seseorang sesungguhnya tidaklah terpengaruhi gender. Melainkan keterampilan yang dapat kita asah dengan latihan.
Menurut pakar pula, sesungguhnya kemampuan sensorik perempuan cenderung lebih sensitif. Yakni perempuan dapat mendeteksi rasa manis pada konsentrasi yang lebih rendah jika dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, perempuan harusnya memiliki kesempatan yang sama untuk kita hargai dan diberi ruang di manapun mereka berada.
Narasi Perempuan dalam Sejarah Dunia
Entah sejak kapan anggapan perempuan sebagai kaum subordinasi ini lahir. Namun beberapa menyebutkan bahwa anggapan ini mulai lahir sejak zaman manusia purba. Tepatnya pada era paleolitikum di mana manusia belum mengenal bercocok tanam.
Mata pencaharian manusia purba pada zaman itu masih berada dalam fase berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering). Dalam dua tugas besar ini, kemudian berkembanglah sebuah narasi asal-usul manusia bahwa laki-laki adalah pemburu (hunting). Sedangkan perempuan bertanggung jawab dalam urusan mengumpulkan makanan.
Narasi ini kemudian berkembang bahwa dalam sebuah keluarga inti (nuclear family), perempuan menunggu di rumah untuk mengolah makanan hasil buruan para laki-laki. Hal inilah cikal bakal yang mempertegas pemisahan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki seringkali kita asosiasikan bertugas di luar rumah. Sementara perempuan memiliki tanggung jawab di dalam rumah, yang salah satunya adalah tanggung jawab mengolah makanan atau memasak.
Hakikatnya, memasak merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus setiap orang miliki untuk bertahan hidup. Sering kita jumpai video-video pendek di media sosial yang memperlihatkan kebodohan laki-laki dalam urusan dasar sehari-hari. Misalnya memasak, dan membersihkan rumah, namun selalu kita anggap hal wajar bahkan lucu oleh sebagian besar masyarakat.
Sebaliknya jika yang berbuat demikian adalah perempuan, maka berbeda lagi reaksi yang muncul, perempuan akan kita anggap tidak berguna atau bahkan ‘cewek kosong’. Sebagai kemampuan dasar, sudah seharusnya memasak kita ajarkan sejak kecil tanpa memandang gender sebagai salah satu bagian latihan kemandirian seseorang.
Kontestan Perempuan dalam Culinary Class Wars
Kenyataannya, meskipun dapur professional kebanyakan masih didominasi oleh laki-laki, namun tak sedikit pula perempuan yang berhasil menjadi chef hebat dan ternama. Jung Ji Sung yang tampil sebagai kontestan di acara Culinary Class Wars tersebut misalnya. Dia berhasil menjadi tujuh besar dan mengalahkan puluhan chef hebat lainnya.
Kemampuannya terakui oleh lawan-lawannya. Bahkan menurut beberapa kontestan, dia dianggap sebagai ‘petarung tangguh’. Pada salah satu babak, di mana kontestan diminta untuk bermanifestasi mengelola restoran, olahan dimsum saus mala buatannya menjadi menu yang paling laris. Menu itu disukai creator mukbang Korea Selatan yang mereka undang.
Tak hanya sampai di situ, olahan ini kemudian ramai untuk di re-cook orang-orang yang penasaran dengan betapa enaknya, bahkan ramai hingga di Indonesia. Di tanah air kita sendiri, tentunya sudah tidak asing dengan beberapa nama chef perempuan terkenal. Seperti Ibu Sisca Soewitomo, sebagai chef senior yang kerapkali menghiasi layer televisi di awal tahun 2000-an.
Kemudian ada juga Chef Renatta dan Chef Marinka yang sempat menjadi juri MasterChef Indonesia. Selain itu tentu masih banyak lainnya. Kemampuan mereka jelas tak kalah dengan para chef laki-laki, dan berhasil mewakili para perempuan di dapur professional. Kemajuan zaman sudah selayaknya kita ikuti dengan kemajuan peradaban.
Pemahaman bahwa memasak bukanlah kegiatan yang terpagar dengan gender harusnya menghapus pula hierarki antara laki-laki dan perempuan di dapur. Pemahaman yang baik akan melahirkan kehidupan kesalingan yang harmonis. Baik di dapur rumah tangga maupun di dapur professional. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan berhak memiliki kesempatan dan penghargaan yang sama di manapun tempatnya. []