Mubadalah.id – Relasi kerja yang dibangun atas nama kemanusiaan, kesetaraan dan kesalingan tidak hanya dalam konteks PRT dalam ranah keluarga, namun juga bisa ditarik dalam lingkup yang lebih luas, seperti perusahaan besar yang mempekerjakan karyawan hingga puluhan ribu bahkan sampai jutaan orang.
Tepat pada 1 Mei diperingati sebagai Mayday atau hari Buruh Internasional. Dimana pada awal sejarah Mayday, tahun 1806 di Amerika Serikat, para pekerja Cordwainers melakukan mogok kerja memperjuangkan direduksinya jam kerja, yang pada masa itu dari 24 jam mereka bekerja selama 19 sampai 20 jam dalam sehari.
Peristiwa mogok kerja dilakukan secara massif dan berhasil membawanya ke meja pengadilan, dan mengangkat fakta-fakta mengerikan yang terjadi pada nasib buruh. Lalu sejak itu gelombang besar gerakan Hari Buruh terus menghentak dunia, dan menyeluruh di seluruh penjuru negara, menjadi agenda tahunan menuntut hak relasi yang adil antara majikan (pengusaha) dan pekerja.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Sejak era Presiden SBY pada tahun 2013, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional untuk memberikan kesempatan pada para buruh menyampaikan aspirasinya terkait dengan upah yang layak berdasarkan standar yang telah disepakati, hingga peningkatan kualitas kesejateraan buruh.
Masing-masing daerah, terutama yang berbasis industri memiliki kebijakan upah minimum regional (UMR), yang disesuaikan dengan biaya kebutuhan hidup di wilayah tersebut. Tetapi dari sekian hal tentang Mayday yang harus tetap menjadi perhatian kita yakni kesejahteraan pekerja rumah tangga, yang sampai hari ini posisinya masih lemah untuk bisa mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja di sektor informal.
Maka jika menelisik tentang hak pekerja, pada kesempatan momentum Mayday ini, saya ingin mengulas tentang hak PRT yang juga kerap diabaikan oleh majikan. Sebab selama ini ada anggapan keliru tentang makna PRT yang disebut dengan pembantu atau asisten rumah tangga. Padahal PRT dan majikan punya relasi yang sama seperti pekerja dan pemberi kerja.
Bahkan secara kultural, sebagian masyarakat Indonesia masih menilai PRT sekedar pembantu, dalam bahasa Cirebon-Indramayu disebut batur atau rewang. Sedangkan konteksnya, dalam ikatan itu ada relasi kerja pertukaran dari dua pihak yang memberikan sumber daya, yang satu membayar jasa, dan yang lain memberikan jasa.
Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan, posisi PRT yang berada dalam ranah keluarga, bagaimana kita harus memperlakukan peran PRT secara adil bukan atasan dengan bawahan, tetapi memposisikannya sebagai sesama manusia yang saling membutuhkan, keterkaitan, ketergantungan dan terikat perjanjian kerjasama. Sehingga antara dua pihak ini sudah sepantasnya untuk saling menghormati.
Penghargaan yang diberikan keluarga pemberi kerja harus sebanding pula dengan loyalitas kerja yang ditunjukkan PRT, maka diharapkan simbiosis mutualisme itu akan menjadi hubungan yang harmonis dengan memperlakukan dia layaknya anggota keluarga sendiri.
Relasi kerja yang dibangun atas nama kemanusiaan, kesetaraan dan kesalingan tidak hanya dalam konteks PRT dalam ranah keluarga, namun juga bisa ditarik dalam lingkup yang lebih luas, seperti perusahaan besar yang mempekerjakan karyawan hingga puluhan ribu bahkan sampai jutaan orang. Bahwa, pekerja bukan robot yang tak memiliki rasa lelah dan sakit. Karena fisik manusia mempunyai keterbatasan, maka kedepankan sisi manusiawi ketika mempekerjakan orang lain. Agar kita bisa bersikap adil memperlakukan mereka.
Selain itu, para pekerja juga mempunyai keluarga, yang tentu mengharapkan setiap jadwal pemberian upah sesuai kesepakatan, dan mereka akan menunggu upah itu diterima utuh di tangan. Bagi sebagian orang mungkin itu kecil, tetapi menurut mereka hal itu sangat berarti untuk menyambung hidup, membiayai pendidikan anak-anak, memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, hingga hiburan atau piknik keluarga yang hanya bisa dinikmati satu bulan sekali.
Nabi Muhammad SAW mencontohkan perilaku tersebut dengan memberikan upah sebelum keringat pekerja kering. Dari Abdullah bin Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, Shahih). Maksud dari hadits ini adalah agar kita bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian upah setiap bulan.
Terakhir, bagi para pekerja terutama yang masih muda agar terus meningkatkan kemampuan diri, baik secara skill/keahlian juga karakter sikap yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, bagaimana menjaga pola relasi dan komunikasi yang saling menjaga hubungan baik, sehingga siapapun yang bekerja akan selalu merasa riang gembira, sedangkan yang mempekerjakan tak segan-segan untuk memberikan upah lebih dan bonus tambahan, baik karena prestasi kerja maupun melihat santun sikap yang ditunjukkan.
Maka itulah yang diharapkan bagaimana agar produktifitas kerja sebanding dengan upah yang diterima, di antara keduanya akan merasakan kepuasan, bahwa pekerja dan yang mempekerjakan mempunyai nilai dan manfaat yang sama, yakni sebagai manusia yang berdaya dan bermartabat. []