Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu di twitterland sempat viral kultwit tentang nikah muda. Anak twitter mungkin sudah mendengar tentang kultwit tersebut? Meskipun pada akhirnya, entah apa sebab kultwit itu telah dihapus.
Kultwit itu dibuat pada 26 Maret 2018 oleh salah satu warganet dengan akun bernama @sasisudibyo. Ia menceritakan tentang dua saudaranya yang menikah muda, alih-alih bahagia justru banyak drama di rumah tangganya.
Kasus saudaranya yang pertama, nikah muda dengan tujuan memperbaiki ekonomi keluarga tetapi justru berujung dengan perceraian.
Sedangkan kasus saudaranya yang kedua, ini berbeda dengan kasus pertama. Kali ini saudaranya yang menikah muda karena wasiat almarhum ayahnya si laki-laki untuk segera menikahi perempuan jika merasa sudah cocok.
Keduanya masih sama-sama kuliah di kampus yang sama dan belum berpenghasilan. Dengan kata lain cinlok alias cinta lokasi, namun pada akhirnya mereka bercerai juga.
Kesamaan dari kedua kasus tersebut ialah ketidaksiapan pasangan muda dalam menjalani kehidupan pernikahan.
Dari situ, kita bisa melihat bahwa rumah tangga itu bukan sekadar relationship seperti masa pacaran.
Setelah menikah, jangan sampai relationship malah menjadi relationshit. Hubungan kandas di tengah jalan.
Kehidupan rumah tangga ialah saling berinteraksi, berdiskusi, bersepakat dan berkomitmen antar keduanya. Itu kenapa menikah perlu persiapan yang matang, bukan setengah matang apalagi mentah nanti bisa sakit perut. Eh.
Bicarakan tentang kehidupan ke depan, tentang kesiapan masing-masing pihak. Contohnya kesiapan memiliki anak, siapkah kalian menambah satu anggota baru di kehidupan kalian berdua?
Kesiapan ini tentu tidak dari materi saja, tetapi juga dari segi fisik, mental, dan sosial.
Misalnya segi materi, untuk kontrol hamil, beli vitamin dan obat-obatan, beli baju hamil, biaya melahirkan, beli perlengkapan bayi, belum lagi kalau-kalau anak sedang sakit perlu biaya untuk ke dokter.
Itu semua kan perlu biaya, beruntung jika keduanya atau salah satunya terlahir dari orang tua yang mapan secara finansial.
Tetapi sebaiknya jika sudah menikah ya jangan terlalu membebani orang tua.
Dari segi fisik, calon ibu harus cukup sehat untuk hamil dan melahirkan. Usia ideal perempuan untuk hamil antara 20-35 tahun.
Sebelum dan sesudahnya bukan tidak boleh hamil tapi kemungkinan mendapat risiko akan lebih tinggi.
Tidak kalah penting kesehatan calon ayah, dalam arti ia tidak memiliki riwayat penyakit yang dapat menular ke bayinya.
Segi sosial, apakah lingkungan kita memungkinkan untuk hadirnya anggota baru.
Apakah cukup tempat, sehingga jika bayi menangis di malam hari tidak mengganggu anggota keluarga lain? Apakah yakin akan mempunyai cukup waktu untuk mengasuh bayi?
Nah terakhir, dari segi mental, seberapa siapkah kita untuk menjadi orang tua?
Jangan sampai salah satunya ada yang merasa dirugikan karena harus mengasuh bayi. Sehingga tidak mau merawatnya dengan baik dan menelantarkannya.
Hal semacam itu menurut saya penting untuk dibicarakan sebelum mengambil keputusan untuk menikah.
Sebab menikah itu hidup bersama untuk mencapai tujuan yang sama pula, bukan bertujuan untuk menguntungkan salah satunya agar tercipta kehidupan yang sempurna. Ini bukan drama korea.
Apalagi jika ada yang berpikiran menikah adalah jalan memperbaiki kehidupan secara ekonomi.
Masih banyak jalan untuk memperbaiki ekonomi selain dengan cara menikah.
Lalu pentingkah konseling pra nikah? Menurut saya penting.
Karena calon pengantin sangat butuh pengetahuan tentang kehidupan berumah tangga, tentang sejauh mana kesiapan untuk menjalaninya, tentang bagaimana mengatasi persoalan-persoalan rumah tangga.
Beberapa waktu lalu saya iseng bertanya melalui Snap WhatsApp terkait konseling pra nikah, mengejutkan, pertanyaan saya itu mendapat respon yang baik dari beberapa teman saya.
Mereka banyak yang menjawab bahwa konseling pra nikah itu sangat dibutuhkan oleh para calon pengantin, terutama mereka yang berusia muda.
Konseling pra nikah juga sebaiknya dilakukan secara mendalam dan perlu dilakukan secara berkala.
Sialnya, menurut informasi yang saya dapat dari beberapa teman, masih banyak Kantor Urusan Agama (KUA) yang tidak begitu serius merealisasikan program konseling pra nikah.
Program yang seharusnya direalisasikan secara masif, justru hanya sekadar wacana yang realisasinya hanya sebatas formalitas belaka.[]