Lalu bagaimana Denny menjawab situasi kontradiktif dan ironis tersebut? Dalam buku ini, ia mencoba menawarkan solusi. Ia menyebutnya Spiritualitas baru. Dalam redaksi lain ia disebut Spiritualitas gelombang ke tiga dan Spiritualutas Universal. Ia bukan agama. “Spiritualitas baru ini tak lagi bersandar pada titah dari langit”. Ia juga tak bertumpu pada permenungan filsafat. Ia harus hasil dari riset panjang yang empiric. Tawaran ini sungguh menggoda, menantang sekaligus menawan.
Merespon tawaran itu, biar clear saya ingin lebih awal memaknai kata “agama” yang menjadi tema kegelisahan Denny. Syams Tabrizi, guru Maulana Rumi, seorang darwish dalam buku “Qawa’id al-‘Isyq al-Arba’un” (40 Kaidah Cinta) mengatakan :
تنبع معظم مشاكل العالم من أخطاء لغوية ومن سوء فهم بسيط. لا تأخذ الكلمات بمعناها الظاهري مطلقًا. وعندما تلج دائرة الحب، تكون اللغة التي نعرفها قد عفى عليها الزمن، فالشيء الذي لا يمكن التعبير عنه بكلمات، لا يمكن إدراكه إلا بالصمت.
Kebanyakan masalah di dunia ini berakar dari kesalahan linguistik dan kesalahpahaman yang sederhana. Jangan kau ambil makna literal sebuah kata. Saat kau mulai menginjak ranah cinta, bahasa yang telah kita pahami menjadi usang. Hal-hal yang tak dapat diungkap melalui kata-kata hanya dapat dipahami melalui keheningan.
Banyak peristiwa, kekeliruan memahami sebuah kata, bisa membuat banyak kekeliruan dan kesalahpahaman yang bisa memunculkan kerentanan sosial. Agama dalam bahasa Arab disebut ” Din”, jamaknya “Adyan”. Kata ini berbeda dengan kata “Al-Syari’ah” yang sering dimaknai oleh kita sebagai sama. Seorang ahli tafsir klasik terkemuka dari kalangan Tabiin, Qatadah mengatakan, “Al-Dîn Wâhid wa al-Syarîah Mukhtalifah” (Dîn hanyalah satu, sedang Syariat berbeda-beda).
Pernyataan ini dikemukakan Qatadah untuk menjelaskan makna Syir’ah (Syariah) dan Minhâj yang terdapat dalam ayat al-Qur`an:
ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Singkatnya “Din” bukanlah Syari’ah atau Thariqah. Syari’ah/ thariqah adalah cara, metode, jalan atau aturan baik legal formal maupun etika tradisi. Sebagai cara ia beragam dan kontekstual. Jika boleh saya ingin mengatakan syariah adalah kebudayaan, produk sejarah. Dan “al-Dîn” adalah keyakinan tentang Ke-Esa-an Tuhan. Dan alam Eskatologis. Seluruh agama sama dalam hal ini. Dan semua manusia beragama bercita-cita menempuh jalan spiritual menuju Dia melalui cara dan jalan yang berbeda-beda.
Tafsir serupa atas ayat di atas juga dikemukakan oleh mufassir besar, Ibn Katsir (w. 774 H). Ia mengutip sebuah pernyataan Nabi yang valid (sahîh), “Nahnu maâsyir al-Anbiyâ` Ikhwah liallat. Dînunâ wâhid” (Kami para Nabi adalah saudara. Agama kami satu). Menurut Ibn Katsir, Agama yang satu tersebut adalah “Tauhid”, sebuah prinsip ke-Esa-an Tuhan yang dibawa semua nabi-nabi dan diberitakan dalam kitab-kitab/dokumen-dokumen suci agama-agama.[]