Setiap tahun, kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia masih mengalami peningkatan. Kurun 12 tahun ini, Komnas Perempuan juga telah mencatat adanya kenaikan kasus hingga delapan kali lipat. Pada 2019, kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 431.471 kasus, angka yang lebih tinggi dibandingkan dari tahun sebelumnya yang masih di angka 406 ribu sekian kasus.
Dari data yang berhasil dihimpun dan diterbitkan dalam catatan tahunan pada Maret 2020 oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang menimpa perempuan menempati urutan pertama dengan persentase kasus sebanyak 58% pada ranah publik dan komunitas (Komnas Perempuan, 2020).
Kekerasan seksual sendiri merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang bersifat merendahkan, menyerang dan tindakan-tindakan sejenis, yang ditujukan kepada tubuh orang lain dengan nafsu dan hasrat seksual. Kekerasan seksual dilakukan secara paksa, tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, baik secara bebas maupun karena ketimpangan relasi kuasa dan gender. Kekerasan tersebut juga berakibat pada penderitaan seseorang secara fisik, psikis maupun seksual, termasuk yang juga berdampak pada kerugian dari segi ekonomi, sosial dan lain sebagainya. (Komnas Perempuan, 2017).
Sesuai dengan naskah akademik yang disusun oleh Komnas Perempuan beserta tim perumus, setidaknya ada 15 jenis kekerasan seksual yang sampai sekarang masih menjadi momok bagi perempuan. Namun minimnya pengetahuan, akses dan regulasi yang jelas terkait perlindungan terhadap korban, membuat banyak kasus kekerasan seksual tenggelam begitu saja.
Hal ini juga kerap ditemukan pada kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik, termasuk di kampus perguruan tinggi. Kasus kekerasan seksual di ruang akademik seperti menjadi rahasia umum yang tidak pernah serius ditanggapi oleh pemerintah. Dibuktikan hingga saat ini belum ada lembaga yang memiliki data pasti mengenai total kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Tirto.id sempat berkolaborasi dengan beberapa media pada 2019, membuat seri laporan mendalam terkait dugaan kekerasan seksual di perguruan tinggi dengan hashtag #NamaBaikKampus. Hasil dari sebaran formulir testimoni tersebut menyebutkan setidaknya ada 174 penyintas yang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual, baik dilakukan oleh dosen, dokter klinik, staf maupun sesama mahasiswa. Adapun dari total tersebut, hanya 29 korban yang berani melaporkan kasus yang dialaminya dengan alasan yang beragam (Zuhra & Adam, 2019).
Kasus yang baru saja terjadi di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di Jawa Timur juga makin membuktikan ketiadaan perlindungan hukum tersebut. Melansir dari laman IDN Times, pada September lalu kasus pelecehan seksual terjadi di salah satu kampus di Tulungagung. Penyintas yang telah memberikan kesaksian dan laporan, justru dimentahkan oleh pihak kampus karena dianggap tidak membawa bukti yang cukup atas pelecehan yang menimpanya. Bahkan hingga terduga pelaku pelecehan telah dinyatakan lulus dan diwisuda oleh pihak kampus, kasus yang dilaporkan oleh korban belum juga mendapat titik terang.
Merebaknya laporan kasus kekerasan seksual di kampus akhir-akhir ini tidak lepas dari tuntutan banyak pihak agar perguruan tinggi segera membuat regulasi khusus untuk menangangi kasus kekerasan seksual yang memiliki beragam wajah dan modus. Meski ditetapkannya Surat Keputusan oleh Dirjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama terkait Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam pada 23 Oktober 2019 lalu menjadi angin segar dan bisa sedikit menjawab kegelisahan.
Akan tetapi keputusan yang merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman antara Kementerian Agama dengan Komnas Perempuan tersebut belum bersifat mengikat, sehingga tetap membutuhkan tindak lanjut dari para rektor untuk mengimplementasikan pedoman tersebut dan membuat prosedur atau regulasi khusus yang sesuai (Alaidrus, 2019).
Selain itu, kampus juga perlu memerhatikan advokasi terhadap perempuan selaku korban kekerasan seksual, agar tidak menjadi korban untuk kedua kali sekaligus dapat pulih baik fisik dan psikisnya. Kerjasama antara stakeholder dengan lembaga internal kampus, seperti Pusat Studi Gender dan Anak di masing-masing perguruan tinggi perlu digalakkan dalam rangka pendampingan korban sampai mendapatkan perlindungan hukum dan penanganan yang memadai.
Namun hingga detik ini, mekanisme regulasi semacam itu agaknya urung terbentuk sehingga para penyintas tidak memiliki ruang yang jelas ketika ingin mencari keadilan. Bisa dihitung baru berapa perguruan tinggi yang telah membentuk sebuah unit pelayanan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus dan melengkapinya dengan Standart Operasional Procedure (SOP) yang ketat.
Menurut saya, lambannya kampus menangani kasus pelecehan seksual yang terjadi pada mahasiswa maupun civitas akademik yang lain, merupakan buntut dari urungnya pengesahan RUU P-KS. Pelecehan seksual di mana pun tempatnya seharusnya bisa segera ditangani apabila ada payung hukum yang menaunginya. Hal inilah yang kemudian membuat pembahasan RUU P-KS menjadi penting, tidak hanya masuk dalam prolegnas 2021, akan tetapi juga segera disahkan sebagai undang-undang. []