Mubadalah.id – Abu Syuqqah, dalam kitab Kaukab Siddique, mengartikan naqisat aql itu bukan kurang akal, tetapi kurang berpikir atau kurang nalar. Kalau kurang akal itu soal sumber daya yang terberi. Laki-laki dan perempuan sama saja dari sisi keutuhan sumber daya akal.
Sementara kurang berpikir atau kurang nalar adalah kekurangan yang terkait kerja sumber daya akal untuk dibiasakan dan dilatih berpikir. Kekurangan perempuan dalam hal ini bisa saja terjadi karena struktur sosial yang tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar dan berlatih berpikir.
Jika perempuan kita berikan kesempatan, maka perempuan akan mampu berpikir secara baik. Sebagaimana laki-laki jika tidak belajar dan berlatih, akan kurang kemampuannya dalam berpikir.
Artinya, ungkapan ini bukan soal akal perempuan yang kurang dan rendah, melainkan soal kebiasaan berpikir yang bisa kurang dan bisa kuat tergantung pada latihan. Bukan tergantung pada jenis kelamin. Sebagaimana banyak perempuan yang lebih pintar dari laki-laki, jika ada kesempatan belajar. Dan tidak sedikit juga laki-laki yang jauh lebih bodoh dari perempuan.
Pernyataan Nabi Saw. selanjutnya, bahwa kekurangan akal perempuan karena kesaksian mereka separuh dari laki-laki juga praktiknya tidak mutlak. Ini lagi-lagi penjelasan simbolik, kontekstual, dan parsial.
Isu kesaksian dalam ibadah ritual, perdata perdagangan, pidana, politik, persusuan, keluarga, kepemilikan, ada perdebatan di antara ulama fikih, yang tidak melulu merujuk pada pernyataan “kesaksian dua banding satu”.
Sebagaimana dijelaskan dalam Ilmu Hadis, kesaksian satu perempuan dalam hal mendengar dan meriwayatkan Hadis, diterima sama persis dengan satu laki-laki. Banyak pernyataan ulama yang menegaskan bahwa hampir tidak ditemukan perempuan yang dituduh bohong atau salah meriwayatkan Hadis. Sementara banyak sekali laki-laki yang ditolak periwayatannya karena kebohongan dan kekurangan akal mereka dalam menghafal teks Hadis.
4000 Perawi Hadis Laki-laki dan Perempuan
Imam al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Abdullah, (w. 748 H/1348 M), ahli Hadis yang cukup populer, penulis kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal tentang para perawi Hadis, menulis biografi lebih dari 4000 perawi Hadis, terdiri atas laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks perawi perempuan, dia menyatakan: “Aku tidak mengetahui dari para perawi perempuan yang dituduh (bohong, bid’ah, atau salah hafalan), dan tidak ada satu pun yang ditolak (periwayatannya).”
Pernyataan yang serupa, tentang penerimaan seluruh ulama terhadap periwayatan perempuan. Tanpa terpengaruh oleh narasi setengah akal), juga bisa kita temukan dalam Nail al-Authar karya Imam al-Syaukani (1759-1834 M) dan kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad al-Azhim Abadi (1857-1911 M).
Abu Syuqqah menegaskan bahwa naqasat din bukan berarti secara esensi perempuan adalah kurang agama. Ini hanya pernyataan simbolik saja dari kurangnya aktivitas perempuan terkait shalat dan puasa, yang ia tinggalkan pada saat menstruasi, seperti Nabi Saw jelaskan, meninggalkan shalat dan puasa saat menstruasi juga telah Islam perintahkan.
Adalah aneh, seseorang yang diperintah Islam untuk meninggalkan shalat dan puasa saat menstruasi. Pada saat yang sama dianggap kurang agama, karena melaksanakan perintah Tuhan.
Jika persoalannya pada pahala dari aktivitas ibadah, seperti Abu Syuqqah tegaskan. Maka perempuan bisa melakukan banyak aktivitas lain untuk mengumpulkan pahala pada saat menstruasi. Baik aktivitas ibadah ritual, seperti berzikir dan membaca doa. Maupun ibadah sosial, seperti menolong orang, melayani keluarga, menulis, mengembangkan ilmu pengetahuan, memberdayakan masyarakat, dan banyak yang lain. []