• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Adaptasi Pengamal Tarekat Attijani di Masa Pandemi; Kembali ke Jalan Sunyi

Hijroatul Maghfiroh Hijroatul Maghfiroh
16/10/2021
in Pernak-pernik
0
Pahlawan

Pahlawan

105
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pandemi korona yang menghantam dunia telah mengubah semua tatanan kehidupan manusia, termasuk tatanan praktik keberagamaan umat Islam di Indonesia. Corak keberagamaan muslim Indonesia yang cenderung komunal, mau tidak mau harus berhadapan dengan protokol kesehatan yang diberlakukan secara resmi oleh pemerintah, yang salah satunya adalah larangan berkerumun; termasuk larangan penyelenggaraan kegiatan yang menghadirkan banyak orang.

Peraturan tersebut mendorong muslim Indonesia melakukan adaptasi kegiatan-kegiatan keagamaan, dari yang bersifat komunal menjadi personal, atau paling tidak mengatur ulang jumlah jamaah dalam setiap ritual keagamaan.

Kondisi demikian juga menghampiri jamaah tarekat di Indonesia, termasuk Ibu saya yang tinggal di salah satu desa di pesisir pantai utara Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Ibu saya adalah seorang pengamal tarekat Attijani, salah satu tarekat muktabarah, yaitu tarekat yang memiliki sanad tidak terputus kepada Rasulullah dan karenanya absah untuk diamalkan.

Tarekat dimaknai sebagai cara seseorang untuk memperoleh petunjuk spiritual agar mendapatkan arah jalan kedekatan diri kepada Tuhan lazimnya menawarkan jalan ‘sunyi’ untuk menjumpai Sang Maha Tinggi. Karenanya semenjak Ibu saya bertalqin, sebutan pembaiatan dalam tarekat Attijani, ia memiliki waktu untuk berkhalwat, yakni menyepi seorang diri untuk menjalankan ritual yang harus dipenuhi oleh setiap pengikut Attijani.

Sebelum bertalqin kepada seorang mukodam, sebutan mursyid dalam tarekat Attijani, Ibu saya adalah seorang aktifis Muslimat NU yang hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas pertemuan yang dihadiri banyak orang. Jadwal pertemuannya tidak menentu, dari pengajian satu ke pengajian lain, pertemuan tingkat desa hingga kecamatan, bahkan kabupaten hingga provinsi.

Baca Juga:

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

Peran Media dalam Upaya Resiliensi Perempuan di Tengah Pandemi (2)

Peran Media dalam Upaya Resiliensi Perempuan di Tengah Pandemi (1)

Danone Angkat Bicara, Soal Fatwa MUI Haram Beli Produk Pro Israel

Tetapi semenjak menjadi jamaah Tijaniyah, paling tidak saya dapat memastikan, setiap pagi dan sore hari, ia akan selalu ada di sana, di kamar kecil yang kami sebut musala, dengan posisi duduk dan mengenakan mukena, berdiam diri menghadap ke kiblat, melafalkan wirid lazim atau wirid wajib dalam tradisi Tijani.

Jika Ibu saya tidak ke luar kota atau kabupaten, dipastikan pada waktu-waktu tersebut, saya bisa menjumpainya di rumah meski ketika sedang melaksanakan wirid lazimnya ia tidak boleh diganggu sebab jika lebih dari dua kata terucap selain kalimat zikir yang wajib dilantunkan, ritualnya akan batal, dan harus diulang dari awal.

Ketika awal bergabung menjadi bagian dari jamaah Tijaniyah, tidak banyak aktivitas tarekat di luar rumah yang diikuti oleh ibu saya. Seiring berjalannya waktu,  setelah beberapa lama ketika jamaah tarekat di kabupaten di penghujung barat Jawa Tengah ini mulai berkembang, aktifitas tarekatnya tidak hanya berupa zikir individu dan zikir hailalah (zikir yang diwiridkan setiap hari Jumat dan disarankan berjamaah) yang dilakukan di rumah masing-masing pengikut, tetapi banyak aktivitas rutin lainnya yang menuntut jamaah berkumpul di tempat-tempat yang ditentukan, terutama yang paling sering di pesantren milik mukodam tarekat di Brebes ini.

Adalah Syekh Soleh Basalamah yang saat ini menjadi mukodam di kabupaten Brebes. Ia adalah seorang ulama berpengaruh di wilayah Pantura utamanya di Tegal, Brebes, Pekalongan, dan Pemalang, dan saat ini pengaruhnya semakin luas hingga menjangkau luar Jawa. Ketokohannya tidak hanya karena ia adalah cucu dari khalifah Tijaniyah di Indonesia, Syekh Ali Basalamah, tetapi juga karena kedalaman ilmu keagamaannya yang didapat dari Pondok Pesantren Al-Maliki di Mekah.

Dengan keilmuan dan otoritasnya sebagai pemimpin tarekat, ia kemudian menggelar beberapa pengajian rutin untuk jamaah tarekatnya, dari pengajian rutin mingguan, bulanan hingga tahunan. Setiap Senin pagi misalnya, Ibu saya bersama jamaah Tijani lainnya berbondong-bondong memenuhi pesantrennya yang berjarak puluhan kilometer dari rumah. Di sana, para jamaah akan mendengarkan Mukodam membacakan kitab-kitab klasik terkait ritual keagamaan.

Aktivitas lain yang paling menyedot perhatian adalah pengajian Senen Pon yang dilaksanakan 35 hari sekali pada Senin Pon sesuai penanggalan Jawa. Kegiatan yang dihadiri oleh Mukoddam dan jamaah Tijaniyah dari seluruh kabupaten Brebes ini dilaksanakan secara bergilir dari desa ke desa dan dihadiri puluhan ribu jamaah.

Maka wajar, kegiatan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para tokoh pemerintah maupun politik. Kegiatan puncak tahunan yang ditunggu oleh jamaah Tijaniyah di seluruh Indonesia adalah Idul Khotmi, perayaan hari pengangkatan Syekh Ahmad Attijani sebagai pendiri tarekat, acara ini tidak hanya dihadiri oleh ratusan ribu jamaah dari seluruh Indonesia, tetapi juga para tokoh Tijaniyah di seluruh penjuru dunia.

Ketika pandemi menghantam, aktivitas berjamaah tarekat Tijani pun goncang. Saat pertama kali fatwa MUI terkait penyelenggaraan beribadah di situasi pandemi korona dikeluarkan, gejolak umat beragama, terutama muslim semakin kuat. Fatwa tersebut menjadi kontroversi, banyak ulama mendukung tetapi tidak sedikit pula yang menentang keras.

Termasuk di Kabupaten Brebes, salah satu tokoh ulama yang cukup berpengaruh langsung mengumumkan perlawanannya terhadap fatwa MUI dengan menyerukan agar umat muslim tidak takut menjalankan salat berjamaah, termasuk salat Jumat di masjid-masjid. Beruntung Syech Soleh Basalamah sebagai mukodam tarekat yang memiliki banyak pengikut di Berebes ini menjadi salah satu tokoh kunci pendukung fatwa MUI.

Ketegasan Syekh Soleh dalam mendukung fatwa MUI tersebut ditunjukkan dengan meliburkan seluruh kegiatan yang melibatkan banyak jamaah, dari kegiatan pengajian Senin di pesantrennya hingga kegiatan besar seperti Senen Pon dan Idul Khotmi. Saking seriusnya dalam menindaklanjuti fatwa MUI tersebut, Syekh Soleh mengumumkan langsung baik melalui pesan broadcast di telepon, para koordinator-koordinator jamaah Tijaniyah, maupun saluran Youtube yang diaktifkan kembali ketika awal pandemi.

Keputusan cepat yang diambil Syekh Soleh tersebut sangat berpengaruh besar bagi pengikutnya, termasuk Ibu saya. Ia langsung menghentikan aktivitas pertemuan-pertemuan Muslimat NU-nya, maupun ritual yang berjamaah tarekatnya. Karena bagi pengikut tarekat Tijani, mengikuti mukodam adalah bagian dari tata tertib yang diwajibkan oleh pendiri tarikat ini yang termaktub dalam kitab As-sirr al-Abrar Ahmad Attijani.

Sikap responsif Syekh Soleh terhadap pandemi ini juga menjadi penguat atas kategori yang diberikan Fazlur Rahman, intelektual muslim Pakistan, terhadap tarekat Attijani. Menurutnya model tasawuf yang dikembangkan Attijani adalah model ‘neosufism’, yaitu sufisme yang menyeimbangkan urusan-urusan keduniawian dan keakhiratan.

Selain itu, keputusan besar sang mukodam dalam pelarangan aktivitas-aktivitas yang menghadirkan banyak orang ini juga menjadi jalan bagi Tijaniyah untuk kembali ke jalan sunyi, jalan wajib yang harus ditempuh oleh setiap pengikut tarekat yang menamakan diri sebagai At-Thariqah Muhammadiyah yang langsung bersanad kepada Nabi Muhammad SAW.

Pada dasarnya, ritual utama tarekat ini adalah ritual personal dari wirid lazim/wazhifah dan ikhtiyari yang mensyaratkan kesendirian ketika membacanya. Kalaupun melakukan ritual berjamaah yang sifatnya tidak wajib, seperti wirid hailalah dan salawat jauharah al-kamal, itupun salah satu persyaratannya dilakukan dengan tujuh orang dalam tempat yang luas jadi harus dilaksanakan tanpa bertentangan dengan protokol kesehatan.

Oleh karena itu, pandemi ini tidak hanya mengajarkan pengikut Tijani untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, tetapi justru pandemi ini mengajarkan pengikut Tijani untuk kembali beradaptasi dengan ritual utama yang mensyaratkan kesendirian yang saat ini mulai disibukkan dengan ritual keramaian. []

 

 

 

 

Tags: Fatwa MUIPandemi Covid-19tarekatTarekat Attijani
Hijroatul Maghfiroh

Hijroatul Maghfiroh

Alumni Leiden University Belanda

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version