• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Ajaran Tasawuf dan Toleransi Beragama Tanpa Diskriminasi

Salah satu ajaran Tasawuf yang mengajarkan bagaimana membangun toleransi atas dasar hubungan kemanusiaan adalah ajaran tentang "al-Futuwwah"

Imam Nakhai Imam Nakhai
05/05/2021
in Featured, Hikmah
0
Tasawuf

Tasawuf

473
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Jika ajaran Fiqih lebih banyak bicara soal “halal-haram”, “sah-batal”, atau lebih tepatnya berbicara soal “Haram, Makhruh Tahrim-tanzih, Mubah, Sunnah, Wajib, , Khilaful Aula”, atau yang lebih dikenal dengan al-ahkam as-sab’ah (tujuh jenis hukum dalam fiqih), maka Tasawuf lebih banyak membicarakan soal baik -tidak baik, pantas-tidak pantas, patut-tidak patut. Jika Fiqih “seringkali” lebih bersifat formalitas yang didasarkan pada terpenuhinya Rukun-Syarat, dan juga didasarkan pada “illat”, maka tasawuf lebih bersifat substansial yang mengedepankan rasa dan etika-moral.

Olehnya, Dalam konteks toleransi baik intra maupun antar agama, ajaran tasawuf lebih sering digunakan dan lebih cocok. Sebab membangun hubungan kemanusiaan dengan siapapun membutuhkan “rasa” dan kesalingan yang bersumber dari kejernihan hati, disamping tentu saja perintah agama. Tasawuf atau al-ahkam al-khuluqiyah di definisikan dengan “ajaran-ajaran yang berkaitan dengan upaya menjernihkan hati dari sifat-sifat yang tercela (التخلي-takhalli), dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (التحلي-tahally).

Salah satu ajaran Tasawuf yang mengajarkan bagaimana membangun toleransi atas dasar hubungan kemanusiaan adalah ajaran tentang “al-Futuwwah-الفتوة “. Menurut Imam al-Qusyairy dalam kitabnya ar-Risalah al-Qusyairiyyah (hlm. 275), Futuwwah bermakna “jika seorang selalu mengabdikan dirinya untuk kepentingan orang lain”. Konsep ini diinspirasi oleh ayat dalam surat al-Kahfi yang menceritakan ashabu al-kahfi, yaitu bahwa mereka itu adalah “إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى “- orang-orang muda pemberani yang beriman kepada Rabbnya dan terus mendapatkan hidayah”.

Ulama Tasawuf mendefinisikan al-Futuwwah dengan pengertian yang beragam terkait dengan “rasa” yang mereka miliki. sebagian mereka mendefinisikan al-Futuwwah adalah memaafkan kesalahan-kesalahan kawan. Sebagian yang lain mengartikan al-Futuwwah adalah “tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain”. Ada juga yang mengartikan ” orang yang tidak memiliki dan menjadi musuh siapapun”.  ada juga definisi yang menarik, ;

وقيل لبعضهم: مَا الفتوة فَقَالَ: أَن لا يميز بَيْنَ أَن يأكل عنده ولى أَوْ كافر.

Baca Juga:

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

Futuwwah adalah orang yang tidak membeda-bedakan  apakah yang makan di sampingnya “seorang wali” ataukah seorang kafir. Jadi jika seorang sudah tidak lagi membedakan siapakah disampingnya, apakah ia seorang kekasih Allah, orang kafir, atau siapapun, maka ia telah sampai pada maqam “Futuwwah”.

Ada juga yang mengartikan;

وقيل: الفتوة ترك التمييز.

Futuwwah adalah tidak diskriminatif (atas nama apapun)

Jadi al-Futuwwah adalah seorang yang seluruh hidupnya diabdikan untuk kepentingan orang lain tanpa membeda-bedakan apa agama dan keyakinannya, jenis kelamin, ras maupun etnisnya (tidak diskriminatif) . Atau bahasa lainnya “mengabdi tanpa syarat”. pengertian ini didukung sebuah kisah sebagaimana dituturkan ulama;

“Suatu hari seorang Majusiy meminta makan kepada Nabiyullah Ibrahim as. Nabi Ibrahim as menjawab, ia saya mau kasih makan dengan syarat masuk Islam. mendengar syarat itu, si Majusiy enggan dan pergi. Ketika itulah Allah SWT berfirman kepada Nabi Ibrahim as, wahai Ibrahim, sejak 50 tahun saya memberi makan orang majusiy itu di atas kekufurannya, dan saya tidak pernah minta syarat. Mengapa engkau tidak kasih saja makan si Majusiy itu tanpa harus memintanya untuk mengubah agamanya?”

Mendapat teguran Allah SWT ini, Nabi Ibrahim segera mengejar Majusiy dan meminta maaf. Justru dengan permintaan maaf Nabiyullah Ibrahim ini, konon si Majusiy masuk Islam. (al-Qusyariyyah, hlm 276)

Apa yang bisa kita petik dari kisah ini? antara lain untuk memenuhi kebutuhan duniawiyah orang lain tidaklah boleh bersikap diskriminatif atas nama apapun. Ini penting bagi pejabat publik (rumah sakit, administrasi kependudukan, pelayanan publik) dan bagi siapapun yang berkuasa, agar tidak membeda-bedakan di dalam menjalankan tugas pelayanan dan tugas konstitusionalnya. []

Tags: HikmahKebijaksanaanKisah NabiSejarah Islamtasawuftoleransi
Imam Nakhai

Imam Nakhai

Bekerja di Komnas Perempuan

Terkait Posts

Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Fikih

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Marital Rape

    Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID