• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Akhir Tahun 2021 Kelabu : Potret Suram Kekerasan Seksual pada Anak

Kita belum sepenuhnya merdeka, karena hak hidup aman kita setiap detik terancam di negeri sendiri. Kondisi ini menuntut setiap penyintas kekerasan seksual harus pontang panting menyembuhkan luka fisik dan psikis dalam ruang sunyi

Lizza Zaen Lizza Zaen
16/12/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Child Grooming

Child Grooming

166
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap 25 November merupakan awal dari 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). Puncaknya pada tanggal 10 Desember yang merupakan hari HAM Sedunia. Banyak PR yang harus dikerjakan bersama untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan, khususnya bagi anak-anak sebagai upaya pemenuhan hak dasar. Pasalnya, akhir tahun 2021 diwarnai dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak.

Anak-anak dalam hal ini merujuk definisi WHO yakni usia anak dihitung sejak anak dalam kandungan hingga usia 19 tahun. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk diantaranya yang masih dalam kandungan.

Korban kekerasan seksual dalam beberapa bulan terakhir ini melibatkan anak-anak usia 5 hingga 14 tahun. Saya akan mengawali dengan kasus pemerkosaan yang dialami oleh anak usia 5 dan 7 tahun yang dilakukan oleh anggota keluarga dan tetangganya. Kasus ini pertama kali saya baca dengan judul “Begini Kronologis Pemerkosaan Anak Dibawah Umur oleh Kakek, Paman, Sepupu, Kakak dan Tetangganya.” Kasus ini terjadi di Kota Padang.

Membaca judul beritanya saja sudah membuat hati sakit bukan main. Semua pelakunya orang terdekat di sekitar korban. Ada 6 pelaku kekerasan seksual dan dua diantaranya masih di bawah 12 tahun. Dalam hal ini, pelaku yang masih anak-anak sebenarnya juga merupakan korban dari lingkungan keluarga yang tidak sehat.  Korban yang masih anak-anak ini tentunya mengalami luka fisik dan psikis yang tidak mudah disembuhkan. Orang dewasa di sekitar korban telah memanfaatkan ketidaktahuan anak-anak untuk melancarkan tindakan perkosaan tersebut.

Kasus selanjutnya dialami oleh Melati di Jombang, seorang remaja perempuan berusia 12 tahun korban pemerkosaan yang harus menanggung trauma. Melati diperkosa oleh seorang pria berumur 56 tahun. Melati pun sempat diancam akan ditembak dengan senapan burung jika mengadukan perbuatannya tersebut.

Baca Juga:

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Hukuman Bagi Pelaku dan Penyebab Aborsi

Bagaimana Hukum Aborsi Akibat Perzinaan?

Luka fisik dan psikis diderita Melati, ditambah dengan beban kehamilan yang tidak diinginkannya. Meskipun orangtua, psikiater, pendamping dan pengacara menyarankan aborsi, namun permintaan aborsi tersebut ditolak oleh Polres Jombang. Padahal, pada saat usia kandungan aman untuk dilakukan aborsi legal, sudah ada layanan kesehatan yang menyanggupi. Namun, Polres Jombang tetap menolak sehingga usia kehamilan semakin besar dan tidak mungkin dilakukan aborsi.

Masa depan Melati luluh lantak seketika. Dihancurkan oleh pelaku dan sistem hukum yang tidak berpihak padanya. Usia 12 tahun yang harusnya digunakan untuk menikmati dunia pendidikan dan bermain dengan teman sebaya, harus terenggut begitu saja. Seorang anak, harus memiliki anak, lalu apa yang harus dilakukan Melati?

Apa yang terjadi pada Melati merupakan sebuah ironi. Melati sejatinya berhak menjalani aborsi aman sesuai dengan UU Kesehatan Nomor 39 Tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut, aborsi aman dan legal dapat dilaksanakan dalam kondisi darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang menimbulkan trauma psikologis pada korban.

Sayangnya, di Indonesia usia kehamilan yang diperbolehkan untuk aborsi sangat pendek, yakni sebelum usia kandungan genap 6 minggu. Sedangkan rekomendasi WHO batas usia kandungan untuk aborsi aman adalah 12 minggu. Walaupun ketentuan aborsi telah diatur dalam undang-undang, sayangnya penerapannya tidak maksimal.

Pertama, tidak semua korban pemerkosaan mengetahui dan menyadari kehamilannya lebih dini, sehingga biasanya korban tahu bahwa dirinya sedang hamil ketika usia kandungan sudah lebih dari 4 minggu. Sedangkan, prosedur atau proses izin aborsi membutuhkan waktu yang panjang. Kedua, UU Kesehatan ini tidak difasilitasi dengan baik oleh Kementerian Kesehatan RI khususnya perihal layanan kesehatan mana saja yang ditunjuk dalam menangani aborsi aman untuk korban pemerkosaan.

Ketiga, sebagian tenaga medis masih berpegang pada nilai agama bahwa aborsi itu dosa dan haram. Hal ini semakin mempersulit korban pemerksoaan untuk mendapat hak pemulihan dari rasa sakit dan trauma yang dihadapinya. Tidak optimalnya implementasi UU Kesehatan tersebut membuat korban pemerkosaan dan tenaga medis yang membantu aborsi rentan dikriminalisasi.

Kasus selanjutnya yakni kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan (HW), seorang pengasuh sekaligus guru di Ponpes Tahfidz Al-Ikhlas, Madani Boarding School, Cibiru, Kota Bandung. HW telah memperkosa sekitar 21 santrinya yang masih di bawah umur, dalam kurun waktu 2016-2020. Modus yang dilakukan dengan menjanjikan para santri jaminan masa depan pendidikan dan karir yang bagus.

Nikah mut’ah dijadikan media untuk memenuhi hasrat seksualnya semata. HW telah merusak masa depan anak bangsa dengan cara yang halus nan kejam. Ini menjadi catatan, bahwa perkosaan bukan sekedar kekerasan fisik semata. Perkosaan tidak terjadi begitu saja, namun ada manipulasi dalam hubungan antara pelaku dan korban. Perkosaan bisa dengan cara halus berupa iming-iming, rayuan dan janji gombal yang terjadi dalam waktu yang berproses.

Ironisnya, kasus ini disambut dengan perdebatan buntu, bukan solusi menyikapi kondisi darurat kekerasan seksual. Beberapa komunitas pesantren masih denial dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama Islam. Beberapa komunitas pesantren justru memilih memperdebatkan konsep pesantren dan boarding school daripada berbenah melawan kekerasan seksual.

Beberapa masyarakat juga ada yang menyalahkan keluarga korban yang tergiur iming-iming sekolah gratis. Padahal, kita seharusnya memahami kondisi keluarga korban yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kita juga tahu, bahwa mengirim anak ke pondok pesantren butuh banyak biaya dan tidak semua keluarga punya privilese hidup di ‘keluarga santri.’

Kasus kekerasan seksual oleh HW merupakan momentum tepat untuk mengkritisi dan merefleksi mengapa ini bisa terjadi dan apa yang perlu dilakukan dalam memerangi kekerasan seksual. Perlu dipahami bahwa kasus kekerasan seksual di Madani Boarding School bukan satu-satunya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren.

Dalam Lembar Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang dirilis oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 terdapat 51 kasus kekerasan seksual di pesantren. Pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Agama Islam menempati posisi kedua setelah universitas, yakni sebesar 19% jumlah kasus. Dari sisi pelaku, sebanyak 43% pelakunya adalah guru/ustad, yakni terdapat 22 kasus.

Hampir setiap hari kita mendengar berita tentang kasus kekerasan seksual. Berita kekerasan seksual merebak cepat. Sayangnya, suara para korban cenderung direspon lambat oleh pihak berwenang dan pemerintah.  Rap culture masih subur di masyarakat, victim blaming membuat korban kekerasan seksual mengalami kekerasan berulang-ulang oleh komunitasnya sendiri.

Nasib RUU TPKS hingga saat ini terkatung-katung meninggalkan tanda tanya, “kenapa RUU TPKS tak kunjung disahkan?.” Pertanyaan penuh curiga yang akhirnya mengikis kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.

Demikianlah potret suram anak-anak dan perempuan di Indonesia sampai tahun 2021. Kita belum sepenuhnya merdeka, karena hak hidup aman kita setiap detik terancam di negeri sendiri. Kondisi ini menuntut setiap penyintas kekerasan seksual harus pontang panting menyembuhkan luka fisik dan psikis dalam ruang sunyi. Lalu, apa yang akan terjadi di tahun 2022? Apa yang akan kita lakukan? []

Tags: Aborsianak rawan kekerasan seksualCegah Kekerasan SeksualDarurat Kekerasan SeksualJaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan SeksualKampanye 16 HAKTPkejahatan seksualKekerasan seksualRUU TPKSStop Kekerasan Seksual
Lizza Zaen

Lizza Zaen

Ibu-ibu doyan nulis yang tergabung dalam Wadon Dermayu Menulis

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version