• Login
  • Register
Rabu, 1 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Akhir Tahun 2021 Kelabu : Potret Suram Kekerasan Seksual pada Anak

Kita belum sepenuhnya merdeka, karena hak hidup aman kita setiap detik terancam di negeri sendiri. Kondisi ini menuntut setiap penyintas kekerasan seksual harus pontang panting menyembuhkan luka fisik dan psikis dalam ruang sunyi

Lizza Laelatul Izzah Zaen Lizza Laelatul Izzah Zaen
16/12/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Child Grooming

Child Grooming

97
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap 25 November merupakan awal dari 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). Puncaknya pada tanggal 10 Desember yang merupakan hari HAM Sedunia. Banyak PR yang harus dikerjakan bersama untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan, khususnya bagi anak-anak sebagai upaya pemenuhan hak dasar. Pasalnya, akhir tahun 2021 diwarnai dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak.

Anak-anak dalam hal ini merujuk definisi WHO yakni usia anak dihitung sejak anak dalam kandungan hingga usia 19 tahun. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk diantaranya yang masih dalam kandungan.

Korban kekerasan seksual dalam beberapa bulan terakhir ini melibatkan anak-anak usia 5 hingga 14 tahun. Saya akan mengawali dengan kasus pemerkosaan yang dialami oleh anak usia 5 dan 7 tahun yang dilakukan oleh anggota keluarga dan tetangganya. Kasus ini pertama kali saya baca dengan judul “Begini Kronologis Pemerkosaan Anak Dibawah Umur oleh Kakek, Paman, Sepupu, Kakak dan Tetangganya.” Kasus ini terjadi di Kota Padang.

Membaca judul beritanya saja sudah membuat hati sakit bukan main. Semua pelakunya orang terdekat di sekitar korban. Ada 6 pelaku kekerasan seksual dan dua diantaranya masih di bawah 12 tahun. Dalam hal ini, pelaku yang masih anak-anak sebenarnya juga merupakan korban dari lingkungan keluarga yang tidak sehat.  Korban yang masih anak-anak ini tentunya mengalami luka fisik dan psikis yang tidak mudah disembuhkan. Orang dewasa di sekitar korban telah memanfaatkan ketidaktahuan anak-anak untuk melancarkan tindakan perkosaan tersebut.

Kasus selanjutnya dialami oleh Melati di Jombang, seorang remaja perempuan berusia 12 tahun korban pemerkosaan yang harus menanggung trauma. Melati diperkosa oleh seorang pria berumur 56 tahun. Melati pun sempat diancam akan ditembak dengan senapan burung jika mengadukan perbuatannya tersebut.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan
  • Emak, Ijah tak Ingin Menikah
  • Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual
  • Sosok Nyai Hj. Hindun Anisah; Sosok Ulama Perempuan

Baca Juga:

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

Emak, Ijah tak Ingin Menikah

Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual

Sosok Nyai Hj. Hindun Anisah; Sosok Ulama Perempuan

Luka fisik dan psikis diderita Melati, ditambah dengan beban kehamilan yang tidak diinginkannya. Meskipun orangtua, psikiater, pendamping dan pengacara menyarankan aborsi, namun permintaan aborsi tersebut ditolak oleh Polres Jombang. Padahal, pada saat usia kandungan aman untuk dilakukan aborsi legal, sudah ada layanan kesehatan yang menyanggupi. Namun, Polres Jombang tetap menolak sehingga usia kehamilan semakin besar dan tidak mungkin dilakukan aborsi.

Masa depan Melati luluh lantak seketika. Dihancurkan oleh pelaku dan sistem hukum yang tidak berpihak padanya. Usia 12 tahun yang harusnya digunakan untuk menikmati dunia pendidikan dan bermain dengan teman sebaya, harus terenggut begitu saja. Seorang anak, harus memiliki anak, lalu apa yang harus dilakukan Melati?

Apa yang terjadi pada Melati merupakan sebuah ironi. Melati sejatinya berhak menjalani aborsi aman sesuai dengan UU Kesehatan Nomor 39 Tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut, aborsi aman dan legal dapat dilaksanakan dalam kondisi darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang menimbulkan trauma psikologis pada korban.

Sayangnya, di Indonesia usia kehamilan yang diperbolehkan untuk aborsi sangat pendek, yakni sebelum usia kandungan genap 6 minggu. Sedangkan rekomendasi WHO batas usia kandungan untuk aborsi aman adalah 12 minggu. Walaupun ketentuan aborsi telah diatur dalam undang-undang, sayangnya penerapannya tidak maksimal.

Pertama, tidak semua korban pemerkosaan mengetahui dan menyadari kehamilannya lebih dini, sehingga biasanya korban tahu bahwa dirinya sedang hamil ketika usia kandungan sudah lebih dari 4 minggu. Sedangkan, prosedur atau proses izin aborsi membutuhkan waktu yang panjang. Kedua, UU Kesehatan ini tidak difasilitasi dengan baik oleh Kementerian Kesehatan RI khususnya perihal layanan kesehatan mana saja yang ditunjuk dalam menangani aborsi aman untuk korban pemerkosaan.

Ketiga, sebagian tenaga medis masih berpegang pada nilai agama bahwa aborsi itu dosa dan haram. Hal ini semakin mempersulit korban pemerksoaan untuk mendapat hak pemulihan dari rasa sakit dan trauma yang dihadapinya. Tidak optimalnya implementasi UU Kesehatan tersebut membuat korban pemerkosaan dan tenaga medis yang membantu aborsi rentan dikriminalisasi.

Kasus selanjutnya yakni kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan (HW), seorang pengasuh sekaligus guru di Ponpes Tahfidz Al-Ikhlas, Madani Boarding School, Cibiru, Kota Bandung. HW telah memperkosa sekitar 21 santrinya yang masih di bawah umur, dalam kurun waktu 2016-2020. Modus yang dilakukan dengan menjanjikan para santri jaminan masa depan pendidikan dan karir yang bagus.

Nikah mut’ah dijadikan media untuk memenuhi hasrat seksualnya semata. HW telah merusak masa depan anak bangsa dengan cara yang halus nan kejam. Ini menjadi catatan, bahwa perkosaan bukan sekedar kekerasan fisik semata. Perkosaan tidak terjadi begitu saja, namun ada manipulasi dalam hubungan antara pelaku dan korban. Perkosaan bisa dengan cara halus berupa iming-iming, rayuan dan janji gombal yang terjadi dalam waktu yang berproses.

Ironisnya, kasus ini disambut dengan perdebatan buntu, bukan solusi menyikapi kondisi darurat kekerasan seksual. Beberapa komunitas pesantren masih denial dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama Islam. Beberapa komunitas pesantren justru memilih memperdebatkan konsep pesantren dan boarding school daripada berbenah melawan kekerasan seksual.

Beberapa masyarakat juga ada yang menyalahkan keluarga korban yang tergiur iming-iming sekolah gratis. Padahal, kita seharusnya memahami kondisi keluarga korban yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kita juga tahu, bahwa mengirim anak ke pondok pesantren butuh banyak biaya dan tidak semua keluarga punya privilese hidup di ‘keluarga santri.’

Kasus kekerasan seksual oleh HW merupakan momentum tepat untuk mengkritisi dan merefleksi mengapa ini bisa terjadi dan apa yang perlu dilakukan dalam memerangi kekerasan seksual. Perlu dipahami bahwa kasus kekerasan seksual di Madani Boarding School bukan satu-satunya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren.

Dalam Lembar Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang dirilis oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 terdapat 51 kasus kekerasan seksual di pesantren. Pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Agama Islam menempati posisi kedua setelah universitas, yakni sebesar 19% jumlah kasus. Dari sisi pelaku, sebanyak 43% pelakunya adalah guru/ustad, yakni terdapat 22 kasus.

Hampir setiap hari kita mendengar berita tentang kasus kekerasan seksual. Berita kekerasan seksual merebak cepat. Sayangnya, suara para korban cenderung direspon lambat oleh pihak berwenang dan pemerintah.  Rap culture masih subur di masyarakat, victim blaming membuat korban kekerasan seksual mengalami kekerasan berulang-ulang oleh komunitasnya sendiri.

Nasib RUU TPKS hingga saat ini terkatung-katung meninggalkan tanda tanya, “kenapa RUU TPKS tak kunjung disahkan?.” Pertanyaan penuh curiga yang akhirnya mengikis kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.

Demikianlah potret suram anak-anak dan perempuan di Indonesia sampai tahun 2021. Kita belum sepenuhnya merdeka, karena hak hidup aman kita setiap detik terancam di negeri sendiri. Kondisi ini menuntut setiap penyintas kekerasan seksual harus pontang panting menyembuhkan luka fisik dan psikis dalam ruang sunyi. Lalu, apa yang akan terjadi di tahun 2022? Apa yang akan kita lakukan? []

Tags: Aborsianak rawan kekerasan seksualCegah Kekerasan SeksualDarurat Kekerasan SeksualJaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan SeksualKampanye 16 HAKTPkejahatan seksualKekerasan seksualRUU TPKSStop Kekerasan Seksual
Lizza Laelatul Izzah Zaen

Lizza Laelatul Izzah Zaen

Ibu rumah tangga anak satu, alumni Antropologi 2011, Universitas Brawijaya. Aktif sebagai anggota komunitas Wadon Dermayu Menulis (Waderlis) tercinta. Alumni Workshop Kepenulisan di Puan Menulis.

Terkait Posts

Akhlak Manusia

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

1 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Pemakaman Muslim Indonesia

5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

30 Januari 2023
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

30 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • keluarga

    7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Mengetahui Kesehatan Calon Pasangan Sebelum Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist