• Login
  • Register
Rabu, 17 Agustus 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Akhir Tahun 2021 Kelabu : Potret Suram Kekerasan Seksual pada Anak

Kita belum sepenuhnya merdeka, karena hak hidup aman kita setiap detik terancam di negeri sendiri. Kondisi ini menuntut setiap penyintas kekerasan seksual harus pontang panting menyembuhkan luka fisik dan psikis dalam ruang sunyi

Lizza Laelatul Izzah Zaen Lizza Laelatul Izzah Zaen
16/12/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Child Grooming

Child Grooming

88
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap 25 November merupakan awal dari 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). Puncaknya pada tanggal 10 Desember yang merupakan hari HAM Sedunia. Banyak PR yang harus dikerjakan bersama untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan, khususnya bagi anak-anak sebagai upaya pemenuhan hak dasar. Pasalnya, akhir tahun 2021 diwarnai dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak.

Anak-anak dalam hal ini merujuk definisi WHO yakni usia anak dihitung sejak anak dalam kandungan hingga usia 19 tahun. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk diantaranya yang masih dalam kandungan.

Korban kekerasan seksual dalam beberapa bulan terakhir ini melibatkan anak-anak usia 5 hingga 14 tahun. Saya akan mengawali dengan kasus pemerkosaan yang dialami oleh anak usia 5 dan 7 tahun yang dilakukan oleh anggota keluarga dan tetangganya. Kasus ini pertama kali saya baca dengan judul “Begini Kronologis Pemerkosaan Anak Dibawah Umur oleh Kakek, Paman, Sepupu, Kakak dan Tetangganya.” Kasus ini terjadi di Kota Padang.

Membaca judul beritanya saja sudah membuat hati sakit bukan main. Semua pelakunya orang terdekat di sekitar korban. Ada 6 pelaku kekerasan seksual dan dua diantaranya masih di bawah 12 tahun. Dalam hal ini, pelaku yang masih anak-anak sebenarnya juga merupakan korban dari lingkungan keluarga yang tidak sehat.  Korban yang masih anak-anak ini tentunya mengalami luka fisik dan psikis yang tidak mudah disembuhkan. Orang dewasa di sekitar korban telah memanfaatkan ketidaktahuan anak-anak untuk melancarkan tindakan perkosaan tersebut.

Kasus selanjutnya dialami oleh Melati di Jombang, seorang remaja perempuan berusia 12 tahun korban pemerkosaan yang harus menanggung trauma. Melati diperkosa oleh seorang pria berumur 56 tahun. Melati pun sempat diancam akan ditembak dengan senapan burung jika mengadukan perbuatannya tersebut.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Bagikan Bendera Merah Putih : Tim Mubadalah Ajak Merdeka dari Kekerasan Seksual
  • Bagaimana Menciptakan Ruang Aman Perempuan di Pesantren?
  • Hukum Aborsi bagi Korban Pelecehan Seksual
  • Film Mom 2017 Pencarian Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual

Baca Juga:

Bagikan Bendera Merah Putih : Tim Mubadalah Ajak Merdeka dari Kekerasan Seksual

Bagaimana Menciptakan Ruang Aman Perempuan di Pesantren?

Hukum Aborsi bagi Korban Pelecehan Seksual

Film Mom 2017 Pencarian Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual

Luka fisik dan psikis diderita Melati, ditambah dengan beban kehamilan yang tidak diinginkannya. Meskipun orangtua, psikiater, pendamping dan pengacara menyarankan aborsi, namun permintaan aborsi tersebut ditolak oleh Polres Jombang. Padahal, pada saat usia kandungan aman untuk dilakukan aborsi legal, sudah ada layanan kesehatan yang menyanggupi. Namun, Polres Jombang tetap menolak sehingga usia kehamilan semakin besar dan tidak mungkin dilakukan aborsi.

Masa depan Melati luluh lantak seketika. Dihancurkan oleh pelaku dan sistem hukum yang tidak berpihak padanya. Usia 12 tahun yang harusnya digunakan untuk menikmati dunia pendidikan dan bermain dengan teman sebaya, harus terenggut begitu saja. Seorang anak, harus memiliki anak, lalu apa yang harus dilakukan Melati?

Apa yang terjadi pada Melati merupakan sebuah ironi. Melati sejatinya berhak menjalani aborsi aman sesuai dengan UU Kesehatan Nomor 39 Tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut, aborsi aman dan legal dapat dilaksanakan dalam kondisi darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang menimbulkan trauma psikologis pada korban.

Sayangnya, di Indonesia usia kehamilan yang diperbolehkan untuk aborsi sangat pendek, yakni sebelum usia kandungan genap 6 minggu. Sedangkan rekomendasi WHO batas usia kandungan untuk aborsi aman adalah 12 minggu. Walaupun ketentuan aborsi telah diatur dalam undang-undang, sayangnya penerapannya tidak maksimal.

Pertama, tidak semua korban pemerkosaan mengetahui dan menyadari kehamilannya lebih dini, sehingga biasanya korban tahu bahwa dirinya sedang hamil ketika usia kandungan sudah lebih dari 4 minggu. Sedangkan, prosedur atau proses izin aborsi membutuhkan waktu yang panjang. Kedua, UU Kesehatan ini tidak difasilitasi dengan baik oleh Kementerian Kesehatan RI khususnya perihal layanan kesehatan mana saja yang ditunjuk dalam menangani aborsi aman untuk korban pemerkosaan.

Ketiga, sebagian tenaga medis masih berpegang pada nilai agama bahwa aborsi itu dosa dan haram. Hal ini semakin mempersulit korban pemerksoaan untuk mendapat hak pemulihan dari rasa sakit dan trauma yang dihadapinya. Tidak optimalnya implementasi UU Kesehatan tersebut membuat korban pemerkosaan dan tenaga medis yang membantu aborsi rentan dikriminalisasi.

Kasus selanjutnya yakni kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan (HW), seorang pengasuh sekaligus guru di Ponpes Tahfidz Al-Ikhlas, Madani Boarding School, Cibiru, Kota Bandung. HW telah memperkosa sekitar 21 santrinya yang masih di bawah umur, dalam kurun waktu 2016-2020. Modus yang dilakukan dengan menjanjikan para santri jaminan masa depan pendidikan dan karir yang bagus.

Nikah mut’ah dijadikan media untuk memenuhi hasrat seksualnya semata. HW telah merusak masa depan anak bangsa dengan cara yang halus nan kejam. Ini menjadi catatan, bahwa perkosaan bukan sekedar kekerasan fisik semata. Perkosaan tidak terjadi begitu saja, namun ada manipulasi dalam hubungan antara pelaku dan korban. Perkosaan bisa dengan cara halus berupa iming-iming, rayuan dan janji gombal yang terjadi dalam waktu yang berproses.

Ironisnya, kasus ini disambut dengan perdebatan buntu, bukan solusi menyikapi kondisi darurat kekerasan seksual. Beberapa komunitas pesantren masih denial dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama Islam. Beberapa komunitas pesantren justru memilih memperdebatkan konsep pesantren dan boarding school daripada berbenah melawan kekerasan seksual.

Beberapa masyarakat juga ada yang menyalahkan keluarga korban yang tergiur iming-iming sekolah gratis. Padahal, kita seharusnya memahami kondisi keluarga korban yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kita juga tahu, bahwa mengirim anak ke pondok pesantren butuh banyak biaya dan tidak semua keluarga punya privilese hidup di ‘keluarga santri.’

Kasus kekerasan seksual oleh HW merupakan momentum tepat untuk mengkritisi dan merefleksi mengapa ini bisa terjadi dan apa yang perlu dilakukan dalam memerangi kekerasan seksual. Perlu dipahami bahwa kasus kekerasan seksual di Madani Boarding School bukan satu-satunya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren.

Dalam Lembar Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang dirilis oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 terdapat 51 kasus kekerasan seksual di pesantren. Pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Agama Islam menempati posisi kedua setelah universitas, yakni sebesar 19% jumlah kasus. Dari sisi pelaku, sebanyak 43% pelakunya adalah guru/ustad, yakni terdapat 22 kasus.

Hampir setiap hari kita mendengar berita tentang kasus kekerasan seksual. Berita kekerasan seksual merebak cepat. Sayangnya, suara para korban cenderung direspon lambat oleh pihak berwenang dan pemerintah.  Rap culture masih subur di masyarakat, victim blaming membuat korban kekerasan seksual mengalami kekerasan berulang-ulang oleh komunitasnya sendiri.

Nasib RUU TPKS hingga saat ini terkatung-katung meninggalkan tanda tanya, “kenapa RUU TPKS tak kunjung disahkan?.” Pertanyaan penuh curiga yang akhirnya mengikis kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.

Demikianlah potret suram anak-anak dan perempuan di Indonesia sampai tahun 2021. Kita belum sepenuhnya merdeka, karena hak hidup aman kita setiap detik terancam di negeri sendiri. Kondisi ini menuntut setiap penyintas kekerasan seksual harus pontang panting menyembuhkan luka fisik dan psikis dalam ruang sunyi. Lalu, apa yang akan terjadi di tahun 2022? Apa yang akan kita lakukan? []

Tags: Aborsianak rawan kekerasan seksualCegah Kekerasan SeksualDarurat Kekerasan SeksualJaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan SeksualKampanye 16 HAKTPkejahatan seksualKekerasan seksualRUU TPKSStop Kekerasan Seksual
Lizza Laelatul Izzah Zaen

Lizza Laelatul Izzah Zaen

Ibu rumah tangga anak satu, alumni Antropologi 2011, Universitas Brawijaya. Aktif sebagai anggota komunitas Wadon Dermayu Menulis (Waderlis) tercinta. Alumni Workshop Kepenulisan di Puan Menulis.

Terkait Posts

Melawan Radikalisme

Melawan Radikalisme dengan Merawat Semangat Nasionalisme

17 Agustus 2022
Childfree

Childfree: Hukum, Dalil, dan Penjelasannya dalam Perspektif Mubadalah

17 Agustus 2022
Mother Earth

Membincang Konsep Mother Earth dalam Islam

16 Agustus 2022
Perempuan Bekerja

Sudahkah Kita Merdeka sebagai Perempuan Bekerja?

16 Agustus 2022
Rahmah El Yunusiyyah

Rahmah El Yunusiyyah Mengibarkan Merah Putih di Padang Panjang

15 Agustus 2022
Perempuan Pengawas Pemilu

Indonesia Darurat Perempuan Pengawas Pemilu

15 Agustus 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Childfree

    Childfree: Hukum, Dalil, dan Penjelasannya dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Luluk Farida Mucthar : Perempuan Merdeka itu Dapat Hak Hidup Bahagia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Thoah Jafar : Perempuan Merdeka itu Ikut Berperan di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Radikalisme dengan Merawat Semangat Nasionalisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Umnia Labibah : Perempuan Merdeka itu Memiliki Hak Sebagai Manusia Utuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Thoah Jafar : Perempuan Merdeka itu Ikut Berperan di Ruang Publik
  • Nyai Luluk Farida Mucthar : Perempuan Merdeka itu Dapat Hak Hidup Bahagia
  • Melawan Radikalisme dengan Merawat Semangat Nasionalisme
  • Childfree: Hukum, Dalil, dan Penjelasannya dalam Perspektif Mubadalah
  • Nasehat Para Ulama dan Dokter tentang Hubungan Seksual yang Sehat

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist