Mubadalah.id – Membicarakan fikih dan relasinya dengan perempuan mengingatkan saya pada salah satu asumsi besar saat ini. Fikih klasik yang mayoritas umat Islam anut di seluruh dunia sangat bias gender! Alih-alih memberikan perempuan posisi yang sejajar, justru menjadikan perempuan dalam posisi subordinat.
Fikih perempuan yang diamini oleh banyak umat muslim masih sangat dan terpengaruh oleh logika patriarki. Dengan landasan fundamental seperti itu, banyak kemudian pemikir(an) yang mencoba untuk menegosiasi posisi perempuan ini.
Di Indonesia, kita melihat Husein Muhammad yang sangat kental dengan kampanye ihwal kesetaraan gender. Ia bukan satu-satunya dari kalangan pria yang mencoba untuk merundingkan kembali ihwal posisi perempuan, ada juga Faqihuddin Abdul Kodir dengan pembacaan mubaladah-nya yang terkenal itu. Hemat saya, ini adalah salah satu respon dari banyak pemikir muslim belakangan ketika membincang ihwal perempuan dan eksistensinya dalam tesmak Islam.
Artinya, pandangan yang membahas tentang perempuan dan kaitannya dengan Islam, dengan fikih perempuan secara spesifik, sudah tidak asing. Apalagi kampanye tentang kesetaraan gender belakangan sangat marak, mulai dari dunia kampus hingga dunia maya.
Saya punya kelakar, jika ada yang bisa menandingi kegarangan penggemar K-Pop, ya barangkali para pejuang kesetaraan ini. Tentu ini angin segar bagi orang-orang yang merindukan kesetaraan dan juga perempuan yang ingin haknya kita kembalikan.
Sayangnya, terlalu naif jika kita melewatkan salah satu pemikiran tentang perempuan dari Huzaemah Tahido Yanggo. Kendati saya menemukan hal yang secara zahir janggal, namun tetap menarik untuk kita ulik. Setidaknya dapat melihat konstruksi—beserta ambivalensi—fikih perempuan yang dibangun oleh Huzaemah dan termaktub dalam Fikih Perempuan Kontemporer [2010]. Meski bukan satu-satunya buahnya tangannya, namun hanya itu yang terlihat potensial kita diskusikan lebih lanjut.
Biografi Intelektual
Huzaemah Tahido Yanggo lahir di Donggala, Sulawesi Tengah. Ia menamatkan studinya di Universitas al-Azhar Kairo. Sepanjang hidupnya, ia memang terkenal dengan kepakarannya di bidang mazhab komparatif(muqaranah al-mazahib).
Dengan kepakaran inilah, Huzaemah mencoba untuk memberikan pandangan-pandangan tentang perempuan dalam hukum Islam. Ia menghabiskan hayatnya untuk mengabdikan diri di UIN Syarif Hidayatullah. Selain itu ia, juga menjadi dosen di beberapa kampus di Jakarta, di antaranya UI dan IIQ.
Bagi orang-orang yang tidak bergelut di dunia mazhab komparatif (masyhur biasa kita kenal perbandingan mazhab), tentu akan asing. Ia bukan tidak terkenal, hanya saja kemudian kalah telak dalam medan popularitas dibanding pemikir sezaman.
Kita tambah lagi banyaknya pemikir muslim yang yang punya konsentrasi terhadap isu perempuan. Apalagi dibanding pemikir muslim cum feminis dari luar, macam Amina Wadud atau Fatimah Mernissi, tentu jauh. Namun, ketidakmasyhuran bukan hujah untuk tidak menguliknya lebih jauh.
Perempuan dan Pekerjaan
Saya percaya bahwa ada sisi-sisi yang penting untuk kita bahas dan rembukkan kembali. Utamanya di beberapa bagian ketika Huzaemah Tahido Yanggo membahas tentang perempuan dan relasinya dengan pekerjaan domestik.
Di banyak bagian dalam bukunya, ia jelas mengemukakan bahwa Islam tidak pernah membedakan tingkat kesukaran pekerjaan perempuan dan laki-laki. Ini sekaligus antitesis terhadap anggapan umum bahwa pekerajaan domestik perempuan lebih mudah. Pada saat yang bersamaan ia memberikan konklusi ihwal kebolehan perempuan berkarier di luar rumah.
Hanya saja, ini poin penting yang mesti kita garisbawahi bersama, Huzaemah secara implisit memberikan tupoksi perempuan adalah mengurus rumah. Ini dapat kita lihat misalnya pada bagian di mana ia menilik dampak negatif dari perempuan karier.
Di antara sekian banyak dampak negatif yang paling melekat di kepala saya ihwal tugas domestik. Perempuan karier, dalam tesmak Huzaemah, seringkali mengabaikan tugas-tugas pokok di dalam rumahnya. Bantahan saya, yang kosong di bagian ini adalah ketersalingan mengisi antara suami-istri.
Ini sekaligus mempertegas asumsi saya di awal bahwa ia mencoba mendudukkan perempuan setara dengan laki-laki namun dalam ranah pekerjaan ia masih belum beranjak dari perspektif klasik. Demikian juga, pijakan-pijakan yang ia gunakan masih sangat terkesan normatif-klasik alih-alih melakukan pembacaan ulang.
Seandainya tidak dianggap serampangan, saya dapat mengkategorikan ia sebagai feminis yang patriarkis. Artinya, dalam pandangan-pandangannya yang diklaim menyuarakan kesetaraan itu masih kita temukan bumbu-bumbu bias.
Dengan ungkapan lain saya bisa mengatakan bahwa ia membangun argumentasi sendiri yang kemudian runtuh oleh pandangannya sendiri. Antara satu bagian dan bagian lain di dalam karyanya justru memperlihatkan pemikirannya yang ambivalen.
Seminimnya itu yang dapat saya rasakan ketika pertama kali membaca Huzaemah Tahido Yanggo. Meski kita harus apresiatif tentu adalah lelucon jika membiarkan pemikiran-pemikiran lolos begitu saja tanpa uji kritis. Wallahu a’lam. []