Mubadalah.id – Dalam pertemuan virtual ketiga Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) Muda Tahun 2021, para peserta dihadiahi materi analisis sosial feminis yang diampu oleh Ibu Desti Murdijana, aktifis feminis senior Women’s Crisis Center (WCC) Rifka an-Nisa Yogyakarta. Dengan lihai, ia membuka diskusi yang menampilkan gambar tiga hati berwarna merah muda yang tak jernih.
Dari gambar yang ditampilkan, ia bertanya kepada para peserta untuk menjawab apa yang tersirat dari pesan tersebut. Masing-masing peserta memiliki jawaban yang beragam dalam membaca dan menganalisa gambar yang sama. Lantas pemateri menyimpulkan pengantar tersebut dengan menjawab, ‘Jawaban yang berbeda menggambarkan realitas dalam memandang sesuatu, bahwa setiap orang memiliki persepsi dan pandangan yang beragam dalam satu objek yang sama sekalipun.’
Itulah yang dinamakan analisa, yakni sebuah proses dimana pikiran dan persepsi kita akan masuk dan berpengaruh dalam memandang sesuatu. Analisa selalu menjawab pertanyaan ‘mengapa’. Adapun analisa sosial berarti sebuah proses berfikir yang diawali oleh situasi dan kejadian yang sudah dilalui, direfleksikan, dan ditemukan, kemudian mencari alasan kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Namun proses analisa sosial hanya bisa terjadi jika objek yang dianalisis tersebut dirasakan oleh banyak orang, lantas mereka secara bersama-sama mencari alasan dan akar masalah yang ingin dipecahkan, kemudian mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Sebenarnya kita telah terbiasa melakukan perenungan-perenungan dari setiap permasalahan yang terjadi di kehidupan, seperti saat kita menyadari banyak ketimpangan sosial yang umumnya dirasakan oleh perempuan. Masih ada pandangan yang mengikat pada diri perempuan dan melabelinya sebagai pihak nomor dua yang tidak seharusnya bersaing dan mengungguli laki-laki dalam bidang apapun.
Selain itu, perempuan juga kerap kali rawan menjadi korban kekerasan akibat relasi kuasa yang dimiliki oleh laki-laki, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Bahkan dalam beberapa persoalan, masih ada perempuan yang bersaing dan menjatuhkan sesama perempuan lainnya. Tentu saja hal itu menjadi kendala tersendiri dalam memperjuangan keadilan dan hak seimbang bagi perempuan.
Dalam memperjuangkan hak yang setara, kita perlu melakukan analisa sosial sebagai titik awal pemecahan masalah. Tentu saja ini tidak mudah, tantangan pertama yang dihadapai adalah menjadikan pengalaman, latar belakang, dan masalah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, dan merubahnya agar memiliki nilai dan cara pandang yang sama.
Bahkan tantangan terberat lainnya adalah saat pihak lain tidak menyadari sesuatu sebagai masalah. Seperti saat beberapa perempuan tidak menyadari bahwa stigmatisasi dan pelabelan yang dialaminya adalah sebagai masalah. Lantas dalam hal ini, apa yang bisa dilakukan oleh para aktifis kemanusiaan pada situasi ini?
Tentu saja harus ada strategi yang dilakukan untuk mengatasi hal ini. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, melakukan banyak diskusi di berbagai komunitas. Jika di komunitas laki-laki, selain narasumber perempuan yang menceritakan pengalaman ketimpangan sosial yang dialami, tentu kehadiran narasumber dan fasilitator laki-laki adalah kunci.
‘Seperi analisa yang saya lakukan, laki-laki lebih mudah dipengaruhi oleh sesama laki-laki. Jadi jangan membuang waktu terlalu banyak mempengaruhi laki-laki dengan narasumber perempuan. Hal ini karena betapa sulitnya laki-laki memahami kehidupan perempuan, begitupun sebaliknya’ Ungkap Ibu Desti.
Adapun jika kelompok milenial yang sedang kita hadapi, maka berkampanye melalui media sosial, bisa dijadikan strategi dalam menyebar pengetahuan dan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.
Kedua, dalam memperjuangkan hak yang berkeadilan, memvalidasi pengalaman perempuan sebagai salah satu bukti valid sebuah kebenaran dan pengetahuan itu harus dilakukan. Pengalaman perempuan ini bisa menjadi sumber dari proses perubahan. Maka yang perlu dilakukan adalah menyadarkan para perempuan untuk membagikan pengalamannya sebagai pengetahuan yang berharga dan awal titik perubahan.
Ketiga, mengorganisir perempuan untuk menganalisa pengalaman sosial yang ia alami untuk mencari jalan keluar bersama. Sejarah mencatat banyak sekali perjuangan para wanita melalui komunitas dan organisasinya yang berhasil merubah kebijakan-kebijakan yang membela haknya. Tentu saja ini bukan hal yang mudah dilaksanakan secara singkat, perlu banyak perjuangan yang harus dilakukan untuk mencapai kesetaraan yang berkeadilan. []