• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Andai Kita Semua Kompak Melawan Humor Seksis

Dengan kesadaran ini, kita berhenti merespon dengan ikut tertawa atau memberikan sinyal positif lainnya. Ikut tertawa artinya ikut menyetujui

Sifin Astaria Sifin Astaria
22/01/2024
in Publik
0
Humor Seksis

Humor Seksis

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan santer dibicarakan perkara ujaran seksis dan misoginis oleh Menko Polhukam, Mahfud MD. Ujarannya di publik tentang suami yang korupsi akibat tuntutan istri sontak menjadi trending topik di media sosial. Beberapa tahun lalu, dia juga pernah melontarkan humor dengan nada serupa di masa pandemi covid-19.

“Corona is like your wife. In easily you try to control it, then you realize that you can’t. Than you learn to live with it. Corona itu seperti istrimu, ketika engkau mau mengawini kamu berpikir kamu bisa menaklukkan dia. Tapi sesudah menjadi istrimu, kamu tidak bisa menaklukkan istrimu” kelakar Mahfud di sebuah pertemuan IKA UNS.

Familiar dengan lelucon semacam ini? Tentu sudah jadi makanan sehari-hari. Humor seksis biasa kita temukan dimana-mana, barangkali hingga membuat kita banal dan terbiasa. Perkara lelucon seksis ini sudah jadi barang normal, kadang kita menertawakannya, kadang juga tidak.

Sesungguhnya menertawakan lelucon tentu saja adalah hal yang wajar. Namun, bukankah seharusnya kita merasa tidak nyaman ketika menertawakan perkara yang merendahkan orang lain?

Hegemoni Seksisme “Hanya Bercanda”

Kelakar di atas adalah satu dari bermacam meme dan lelucon seksis yang viral bertebaran di media sosial. Di era digital seperti saat ini, humor tidak hanya kita manifestasikan dalam interaksi langsung. Keberadaan meme di media sosial, sketsa televisi, atau youtube menjadi medium lain dalam ekspresi humor.

Baca Juga:

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

Antara Reels dan Realita: Dilema Orang Tua Gen Z di Tengah Arus Media Sosial

Di era 2000-an, keberadaan stand up comedy mulai mewarnai ruang lingkup industri humor di Indonesia. Dalam perkembangannya, lebih banyak komika laki-laki menjadi wajah dari dunia stand up comedian daripada perempuan.

Tentu saja, humor yang sering mereka mainkan adalah jenis humor yang vulgar, maskulin, dan tentu saja seksis. Pada pertunjukan stand up comedy, barangkali kita masih sering mendengar stand up comedian melontarkan humor seksis yang dinilai lucu.

Perilaku yang menoleransi hal ini tentu saja mereka lakukan dengan menganggapnya “hanya candaan.” Melanggengkan normalisasi terhadap bahasa sehari-hari yang mengobjektifikasi kemanusiaan perempuan.

Humor seksis merupakan kelakar yang berintonasi merendahkan, menyerang bentuk tubuh, dan menempatkan perempuan, laki-laki, atau gender lain sebagai objek seks. Jenis humor ini tidak melulu vulgar bernada seksual, namun terkadang bisa terlontarkan dengan nada halus atau perumpamaan hingga terlihat tidak bermasalah.

Pada praktiknya, yang jelas humor seksis dapat menstigmatisasi dan mengobjektifikasi individu lain hanya dengan alasan gendernya.

Perilaku seksis terjadi sebagai manifestasi dari keyakinan alam bawah sadar yang menganggap satu gender lebih superior dibanding yang lainnya. Dalam konstruksi masyarakat patriarki, seksisme dapat terlahir dalam berbagai bentuk perilaku, mulai dari stereotip, diskriminasi, hingga objektifikasi tanpa sadar. Perilaku ini dapat tercermin dalam humor yang kita normalisasi dan telah menjadi kebiasaan. 

Terlena Karena Terbiasa

Perlu menjadi catatan, ketika membicarakan perilaku seksis yang dinormalisasi, kita perlu menelusuri wadahnya: bahasa dan budaya. Sebagai alat pertukaran ide, pemikiran, dan perasaan individu, bahasa merefleksikan nilai sosial budaya dan pandangan masyarakat.

Bahasa memiliki fungsi vital dalam komunikasi antar individu dan membentuk realita sosial. Oleh karena itu, tidak mengejutkan apabila bahasa juga dapat kita gunakan untuk melanggengkan budaya dominan, sebut saja patriarki.

Beragam studi telah menunjukkan bahwa humor seksis bukan “hanya candaan,” tapi juga bentuk normalisasi kekerasan terhadap perempuan. Humor seksis melanggengkan dominasi perempuan dengan mewajarkan perempuan sebagai manusia kelas dua menjadi objek tertawaan. Dengan normalisasi ini, maka perempuan pun ikut menginternalisasi nilai dominan. Sehingga kekerasan seksual atas nama humor menjadi hal yang lumrah. 

Hal ini selaras dengan gagasan Thomas E. Ford dalam studinya, Thomas membuktikan bahwa seseorang yang sering terekspos humor seksis memiliki level toleransi lebih tinggi terhadap diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sementara itu, dalam gagasannya yang lain juga tersebutkan bahwa laki-laki yang sering terekspos kepada humor seksis juga lebih rentan menjadi pelaku kekerasan seksual.

Humor seksis seringkali menjadi medium untuk memperkuat ikatan antar laki-laki saja, karena perempuan dan minoritas gender lain dinilai sebagai “the other” atau “out-group,” sementara sesama laki-laki dinilai sebagai “the self” atau “in-group”.

Hal ini tentu saja menjadi bentuk marjinalisasi kedirian perempuan. Secara tidak sadar, perempuan kita tempatkan sebagai objek hingga menormalisasi berbagai bentuk seksisme terhadap dirinya, termasuk dalam perkara humor.

Menjadi Suara Korban

Tentu menjadi perkara sulit ketika kita sudah berpikiran bahwa humor seksis adalah hal lumrah. Kebiasaan ini mendorong kepada anggapan bahwa bahasa dan kebiasaan sehari-hari tidak membawa konsekuensi politik secara langsung. Padahal meski terlontarkan “tanpa maksud tertentu,” bahasa dan kebiasaan memberi pengaruh besar tanpa sempat kita sadari.

Pemakluman ini lantas menjadi sebab bagi sebagian orang untuk tetap merespon humor seksis dengan nada positif. Lantas korban pun akan mengabaikan ketidaknyamanannya dan ikut berpikir bahwa perilaku tersebut hanyalah candaan belaka. Saking diwajarkannya barangkali para korban juga sudah merasa banal, kehilangan sensitivitas akibat nilai dominan patriarki yang sudah terhayat dengan erat.

Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap? Mendobrak sebuah nilai yang telah melekat tentu membutuhkan usaha yang tidak sedikit. Pertama, kita harus menyadari bahwa humor seksis bukan hanya sekedar candaan, namun merupakan tindak kekerasan dan diskriminasi.

Maka, dengan kesadaran tersebut kita berhenti merespon dengan ikut tertawa atau memberikan sinyal positif lainnya. Ikut tertawa artinya ikut menyetujui. Dalam hal ini, kita dapat memahami bahwa cara kita merespon menentukan apakah kita sedang ikut berperan melanggengkan tindak kekerasan. []

Tags: Calon Wakil PresidenHumor SeksisKomediKomikaPemilu 2024Ujaran Misogonisviral
Sifin Astaria

Sifin Astaria

Bukan scorpio, apalagi gemini.

Terkait Posts

Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Boys Don’t Cry

    Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID