Mubadalah.id – Belakangan ini isu tentang mental health atau kesehatan mental kian ramai diperbicangkan. Kondisi di mana individu mampu menjaga keseimbangan emosi, mengenali potensi, dan merespons situasi ini memang begitu penting. Hal tersebut karena kesehatan mental yang terganggu dapat berujung pada depresi, stress, dan hal-hal lain yang dapat berakibat buruk bagi keseimbangan psikis seseorang.
Pada akhir tahun 2022, berdasarkan survei yang Populix lakukan terhadap 1.005 responden usia 18-54 tahun menyatakan bahwa 52% dari mereka menyadari punya masalah kesehatan mental. Kebanyakan dari mereka mengalami perubahan suasana hati, kualitas tidur, nafsu makan, rasa cemas yang meningkat, mudah lelah, pemarah, maupun pelupa.
Sedangkan dalam waktu yang sama, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyebutkan, tiga dari remaja Indonesia yang berusia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental dan satu dari dua puluh remaja mengalami gangguan mental. Adapun permasalahan kesehatan mental yang sering mereka alami adalah gangguan cemas (fobia sosial) 3,7%, gangguan depresi mayor 1,0%, gangguan perilaku 0,9%, PSTD (gangguan stress pasca trauma) 0,5% dan ADHD (gangguan fokus dan hiperaktivitas) 0,5%.
Mengapa Remaja Mudah Terkena Isu Kesehatan Mental?
Usia remaja memang rentan terpapar isu kesehatan mental. Pada fase tersebut seorang remaja cenderung memiliki rasa penasaran yang besar, menyukai tantangan, dan berani mengambil keputusan. Remaja pada usia ini memang mengalami perkembangan serta pertumbuhan yang pesat, mulai dari segi fisik, psikis, hingga intelektualitasnya. Hanya saja jika hal ini tidak mendapat pengarahan yang baik dapat berisiko pada munculnya masalah kesehatan, baik fisik maupun psikososial.
Penelitian oleh Noveri Aisyaroh, Isna Hudaya, dan Ratna Supratdewi (2022), “Trend Penelitian Kesehatan Mental Remaja di Indonesia dan Faktor yang Memengaruhinya: Literature Review” dalam Scientific Proceeding of Islamic and Complementary Medicine menyebutkan setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi maraknya isu kesehatan mental di Indonesia.
Faktor gaya hidup menempati posisi yang pertama. Faktor ini meliputi kasus bullying, cyberbullying, regulasi emosi, disiplin dan motivasi. Sedangkan faktor yang kedua dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan komunitas seperti support system, media sosial, game online, serta konseling teman sebaya. Sedangkan yang ketiga berupa faktor sosial ekonomi, budaya, dan religiusitas. Ketiga faktor ini turut berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja sehingga diperlukan penanganan yang tepat dan bijaksana sejak dini.
Era Media Sosial
Hidup di era media sosial menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat. Khususnya bagi generasi yang sering kita sebut dengan Gen Z yang lahir sekitar tahun 1997-2012. Hal ini karena media sosial telah masuk dalam dunia keseharian mereka baik dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi. Bahkan Indonesia sendiri menempati posisi kesepuluh sebagai masyarakat dengan penggunaan media sosial terlama, yakni 3,2 jam per hari menurut laporan dari We Are Sosial pada tahun 2022. Jika kita mengamati sekitar tentu angka ini mungkin sekali untuk mengalami peningkatan.
Padahal di era post-truth di mana kebenaran objektif tidak dianggap terlalu penting dalam membentuk opini kerap kali memunculkan berita hoaks. Terlebih hadirnya media sosial menjadi ladang di mana hoaks tumbuh subur di sana. Belum lagi dengan informasi yang overload yang bisa memunculkan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) di mana masyarakat akan merasa takut jika ketinggalan tren. Tentu hal ini dapat menjadi ancaman psikologis, khususnya bagi remaja yang cenderung memiliki rasa ingin tahu lebih.
Tidak berhenti di situ saja, beragam fenomena baru seperti flexing, cyberbullying,dan hate speech mudah sekali bertebaran di media sosial. Pada akhirnya remaja yang mengalami kecanduan terhadap media sosial juga rentan terkena krisis identitas, tidak percaya diri, dan masuk dalam belenggu quarter-life crisis.
Terlepas dari semua itu, media sosial bukan berarti tidak memiliki dampak positif. Justru di dalamnya banyak sekali kebermanfaatan yang dapat kita rasakan. Namun juga harus kita sadari pula bahwa dampak negatifnya juga tidak sedikit. Maka dari itu, bersikap bijaksana dalam pemakaian media sosial merupakan cara yang tepat untuk kita laksanakan.
Bagaimana Peran Agama?
Dalam Podcast Gita Wirjawan bersama Habib Husein bin Ja’far al-Haddar edisi Sehat Mental Isu Spiritual? Rethinking Ramadhan #2,di sana Habib Ja’far mengungkapkan bahwa faktor utama problem kesehatan mental adalah rendahnya kesadaran terhadap diri sendiri. Betapa banyak masyarakat modern sekarang ini melakukan sesuatu kegiatan hanya karena sedang tren, bukan karena kebutuhan. Oleh karena itu, lanjut Habib Ja’far, manusia sekarang sering merasa hampa terhadap apa yang mereka kerjakan.
Agama mengajarkan bahwa mengenali diri sendiri itu sangat penting. Bahkan setiap agama pun tentu menganjurkan pengikutnya untuk melakukan instropeksi diri dan muhasabah melalui meditasi sesuai caranya masing-masing. Masyarakat perlu memberi ruang kepada dirinya sendiri dan mengelaborasi makna dari setiap rutinitas yang mereka lakukan.
Ketika masyarakat bisa memahami kadar dirinya, ia pun juga akan mengetahui mana kebutuhan dan mana keinginan, mana yang memang kita perlukan dan mana yang hanya sekadar hawa nafsu belaka. Kita juga tidak akan mudah membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Karena kita tahu bahwa setiap orang memiliki belief, value, purpose yang berbeda-beda. Sehingga kita hanya perlu membandingkan diri kita sekarang dengan diri kita yang dulu. Sudahkah lebih baik?
Selain itu, menurut Habib Ja’far, masyarakat sekarang juga terlalu mencemaskan masa depan. Padahal belum tentu kita menjumpai masa tersebut, bahkah hari esok saja kita juga tak mampu mengetahuinya. Kecemasan terhadap masa depan yang berlebihan ini sering kali membuat masyarakat terlena terhadap kehidupan sekarang, di mana seharusnya mereka lalui dan kehidupan masa lalu, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari sana.
Refleksi
Sampai sini saya sendiri mulai paham mengapa setiap kiai pesantren itu sering kali menasihati, “Ojo kuwatir sesok arep dadi opo, ojo kuwatir yen sesok ora bakal dadi opo-opo (jangan khawatir besok mau jadi apa, jangan khawatir kalau besok tidak akan jadi apa-apa)”.
Memang hal tersebut juga terlihat kontras saat saya mengikuti beberapa sesi coaching. Di mana setiap coach yang pernah saya temui mengatakan kalau kita harus merencanakan masa depan hingga sepuluh tahun nanti. Hal tersebut juga tidak salah supaya aktivitas-aktivitas kita juga semakin terarah.
Namun satu hal yang dapat saya pahami bahwa semua itu ada batasnya. Kiai pesantren tadi menasihati seperti itu supaya kita tidak terlalu menggebu-gebu terhadap masa depan yang belum kita ketahui. Dalam arti kita harus fokus untuk belajar saat ini.
Sedangkan sang Coach tadi menasihati demikian supaya kita tidak terlena terhadap masa depan yang seharusnya kita persiapkan sejak dini. Sehingga aktivitas belajar kita pun juga lebih terarah dan kita bisa lebih semangat. Pada intinya semua tergantung kepada kemampuan kita untuk mengenali kadar diri, menyelami makna kehidupan yang sejati. []