Mubadalah.id – Mempersiapkan kematian dengan bahagia adalah harapan setiap orang. Karena kematian adalah sebuah jembatan yang menghubungkan dua kehidupan, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Abu Marlo menyebutkan bahwa makna kehidupan sebagai pendatang sementara untuk mempersiapkan bekal dengan sungguh-sungguh untuk kehidupan yang kekal, serta menyadari diri untuk hidup saling bahagia membahagiakan dan menjadi manusia yang bermanfaat seluas-luasnya.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Nasaruddin Umar mengingatkan lewat satu ayat, bahwa tujuan akhir manusia adalah satu yaitu kembali kepada Allah SWT. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itulah yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT sebagaimana tercantum dalam penggalan Q.S Ali ‘Imran ayat 185.
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ
Artinya:”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati….” (Q.S Ali ‘Imran: 185)
Karena dunia adalah tempat kita menanam bekal menuju kehidupan yang kekal nan abadi, apa yang akan kita panen di akhirat, merupakan hasil dari apa yang kita tanam selama hidup di dunia.
Nabi menyebut orang yang mempersiapkan dirinya untuk bekal kehidupan setelah mati merupakan orang cerdas. Sebaliknya, orang yang tenggelam dalam nafsu duniawi, disebut Nabi sebagai orang yang lemah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
“Orang cerdas adalah orang yang rendah diri dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, dan orang lemah adalah orang yang mengikutkan dirinya pada hawa nafsunya dan berangan-angan atas Allah,” (HR. al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya).
Semua makhluk hidup, pasti akan melewati satu pintu yang pasti dilewati semua makhluk yang bernyawa. Pintu itu adalah kematian. Karena kematian merupakan hal yang pasti datang. Tak pandang siapa, kapan, di mana, dan bagaimanapun kondisinya, ketika ajal menjemput, tak ada satu pun yang akan bisa menghindar darinya.
Untuk melewati pintu tersebut, tentu ada perbuatan yang harus disiapkan sebagai bekal semasa hidup di dunia. Untuk itu, hendaklah kita mempersiapkan menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh arti dalam kebaikan.
Adapun 3 hal dalam mempersiapkan kematian dengan bahagia yaitu; Pertama, Mengerjakan amal-amal saleh. Menurut Syekh Mu’adz, sebagaimana dikutip al-Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, amal saleh adalah amal yang di dalamnya terdapat empat hal yaitu ilmu, niat, kesabaran dan ikhlas.
Setelah mampu konsisten beramal baik yang bahagia dan membahagiakan, hendaknya tidak terlalu bangga atas amal perbuatan yang dilakukan, misalkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain, merasa amalnya menyelamatkannya di hari kiamat dan sebagainya. Sebab pada hakikatnya, seseorang akan mendapat kenikmatan dan keselamatan di akhirat bukan disebabkan amalnya, namun murni karena anugerah dan kasih sayang dari Allah.
Kedua, Kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan yang bahagia dan membahagiakan di akhirat juga di dunia. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan orang yang benar-benar percaya kepada Allah dan percaya pada balasan-Nya. Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
قَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْعَامِلَ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَّكِلَ عَلَى عَمَلِهِ فِي طَلَبِ النَّجَاةِ وَنَيْلِ الدَّرَجَاتِ لِأَنَّهُ إِنَّمَا عَمِلَ بِتَوْفِيقِ اللهِ وَإِنَّمَا تَرَكَ الْمَعْصِيَةَ بِعِصْمَةِ اللهِ فَكُلُّ ذَلِكَ بِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ “
Al-Rafi’i berkata; Dalam hadits menegaskan bahwa orang yang beramal tidak seyogiayanya berpegangan atas amalnya di dalam mencari keselamatan dan memperoleh derajat-derajat, sebab ia bisa beramal atas pertolongan Allah, mampu meninggalkan maksiat karena penjagaan Allah, maka semuanya atas anugerah dan rahmat-Nya,”
Menjauhi perbuatan-perbuatan tercela. Yang dimaksud perbuatan tercela meliputi keharaman dan kemakruhan. Meninggalkan keharaman adalah wajib, sedangkan meninggalkan kemakruhan adalah sunah. Demikian pula dianjurkan untuk meminimalisasi perkara mubah yang tidak ada manfaatnya, yang membuat hati sedih, gundah, dan galau.
Semakin berhati-hati dalam menjaga diri dari perbuatan yang diharamkan, semakin tinggi pula kedudukan seorang hamba di sisi-Nya.
Ketiga, Determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan baik di dunia maupun di akhirat yang bahagia dan membahagiakan. Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah).
Allah SWT akan membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS Al Ankabut [29] 69).
Sebagai manusia melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. Dan kematian yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya, menuntut seorang manusia agar segera bertobat setiap kali melakukan dosa, untuk menghindari akhir yang buruk dalam perjalanan hidupnya (su’ul khatimah).
Agama menekankan untuk senantiasa memperbarui tobat dari segala perbuatan maksiat. Syekh Ahmad al-Dardiri berkata:
وَجَدِّدِ التَّوْبَةَ لِلْأَوْزَارِ * لَا تَيْأَسَنْ عَنْ رَحْمَةِ الْغَفَّارِ
“Perbaruilah tobat karena beberapa dosa. Janganlah merasa putus asa dari rahmat Allah yang maha pengampun,” (Syekh Ahmad al-Dardiri, Manzhumah al-Kharidah al-Bahiyyah).
Mari menyegerakan tobat baik dari dosa yang berhubungan dengan Allah Swt, serta ada kalanya berhubungan dengan sesama manusia. Semoga dengan bekal yang telah kita siapkan dengan sungguh-sungguh, mampu memuliakan hidup kita semua, baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan yang kekal di akhirat kelak yang bahagia dan membahagiakan. Amin. []