• Login
  • Register
Minggu, 26 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bagaimana Para Feminis Memandang Kecantikan Perempuan?

Bagi para feminis, hal utama adalah perempuan merasa “utuh” terhadap dirinya sendiri dengan fisik yang dimiliki saat ini terlepas dari wacana standar kecantikan yang kerap menekan perempuan.

Andi Nur Faizah Andi Nur Faizah
09/02/2021
in Personal
0
Kecantikan Perempuan

Kecantikan Perempuan

205
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Gambaran kecantikan perempuan kerap dijadikan standar. Misalnya, bertubuh langsing, berwajah glowing, berkulit putih nan cerah, dan lain-lain. Ini bisa dilihat dari media, baik produk iklan maupun film dengan citra ideal perempuan. Tokoh utama perempuan masih memperlihatkan perempuan dengan kulit putih, bertubuh langsing, berambut lurus.

Coba kalau kita nonton film, si tokoh perempuan misalnya yang dulunya dianggap “tidak menarik/ tidak cantik” kemudian bertransformasi menjadi “cantik”. Gambaran apa yang ditayangkan? Yang tadinya tidak bisa pakai make-up jadi bisa pakai make-up.

Sebelum itu rambutnya keriting, kemudian jadi lurus. Sebelumnya pakai kacamata tebal, jadi pake softlense. Tadinya bajunya jadul (out of date), jadi berubah menjadi feminin nan stylish. Bayangkan, itu kita tonton itu dari kecil sampai besar. Kita akhirnya punya imaji terhadap standar kecantikan perempuan.

Sekarang muncul juga standar kecantikan perempuan baru dengan style Korea. Mulai dari wajah glowing sampai make-up ala Korea. Bahkan skin care dan make-up Korea jadi laku keras di Indonesia. Tapi dari dulu sampai sekarang yang belum berubah adalah kulit putih yang masih dijadikan patokan kecantikan. Produk kecantikan masih menggunakan “whitening” sebagai jargon untuk menjual kecantikan maksimal bagi pemakainya.

Standar kecantikan perempuan kemudian menuntut perempuan untuk menjadi sosok sebagaimana standar kecantikan yang berlaku. Tuntutan itu bisa dari orang terdekat seperti keluarga maupun lingkungan pertemanan. Keluarga, teman, maupun orang di sekitar perempuan bisa saja melontarkan komentar ataupun candaan (body shaming) apabila perempuan tidak memenuhi standar kecantikan yang berlaku.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Beauty Privilege: Mengapa Kecantikan Diistimewakan?
  • Asma Barlas: Membaca Al-Qur’an dalam Semangat Pembebasan
  • Sejauh Mana Pemahaman Feminisme Kita?
  • Feminis-NU-isme: Ketika “NU Merangkul Feminisme”

Baca Juga:

Beauty Privilege: Mengapa Kecantikan Diistimewakan?

Asma Barlas: Membaca Al-Qur’an dalam Semangat Pembebasan

Sejauh Mana Pemahaman Feminisme Kita?

Feminis-NU-isme: Ketika “NU Merangkul Feminisme”

Beberapa komentar yang kerap dihadapi perempuan misalnya, “jadi perempuan tuh dandan dong. Masa’ kayak gitu tampilannya” atau “itu muka dirawat dong, jadi perempuan kok cuek banget”. Masih banyak lagi komentar lainnya yang harus dihadapi oleh perempuan akibat standar kecantikan.

Tidak berhenti di situ, apabila perempuan melakukan perawatan, mereka juga kerap dihadapkan pada situasi yang sulit. Misalnya, ada komentar yang mengatakan “dih, dandanannya menor banget! Tebel! Norak!” atau “lipstiknya merah banget, kayak tante-tante” atau “cewek lama kalo mau keluar rumah. Dandan lama banget!” dan masih banyak lagi komentar dan label yang tidak menyenangkan yang dihadapi oleh perempuan.

Standar kecantikan perempuan juga akhirnya diinternalisasi oleh perempuan itu sendiri. Perempuan yang terinternalisasi terhadap standar kecantikan akan mengusahakan dirinya untuk mencapai standar tersebut. Mereka berupaya dengan mengonsumsi berbagai produk bahkan yang dapat membahayakan tubuh. Hal ini dilakukan karena perempuan merasa dituntut untuk memenuhi segala standar kecantikan yang ada. Standar yang dianggap ideal.

Hal yang patut ditelurusi adalah ada apa di balik itu? Bagaimana alur kehidupan perempuan? Mengapa perempuan terdorong untuk memenuhi standar kecantikan perempuan yang ada? Sejak kecil perempuan disosialisasikan untuk menjadi feminin, bermain boneka, dandan, masak-masakan.

Beranjak remaja, mulai merasa tidak percaya diri karena melihat teman perempuannya yang dianggap menarik dan populer. Beranjak dewasa, mereka dituntut untuk menjaga penampilan, merawat tubuh, dan lain-lain. Media dan tayangan yang hanya memperlihatkan tokoh utama yang bertubuh langsing dan berkulit putih semakin memperkuat standar kecantikan perempuan. Internalisasi terhadap standar kecantikan tersebut terbentuk oleh proses yang sangat panjang dan dapat saja menjadi false consciousness atau kesadaran semu.

Ada banyak hal yang memengaruhi perempuan sejak kecil hingga dewasa. Bahkan sebelum lahir perempuan sudah disiapkan berbagai peralatan yang feminin, baju berwarna pink, mainan yang dianggap “mainan perempuan” seperti masak-masakan, main boneka dengan perlatan make up seperti bedak, lipstick, dan sebagainya.

Setelah lahir dan menjadi anak-anak, perempuan melihat tayangan kartun/ film dengan tokoh perempuan berwajah jelita (secara konstruksi: berambut lurus panjang, berkulit putih, dan lain-lain). Belum lagi kalau dibandingkan dengan saudaranya atau teman yang dianggap “cantik”. Maka perempuan yang dibandingkan tadi akan merasa kecil hati dan semakin menganggap bahwa perempuan cantik itu seperti perempuan tadi yang mendapat pujian.

Apalagi lagi kalau sedang menaksir seseorang, baik dalam film maupun dunia nyata, pasti ada saja komentar “kalau mau disukain laki-laki ya dandan dong”. Konstruksi dan tekanan terhadap perempuan terhadap kecantikan bisa jadi mendorong mereka untuk berupaya dalam menyesuaikan diri pada keinginan sosial.

Make-up itu menjadi bagian identitas diri tapi tidak menjadi indikator utama. Karena yang terpenting adalah perempuan mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, di dalam hatinya, di dalam pikirannya secara “sadar”.

Hal yang paling penting bagi diri perempuan adalah bagaimana bisa mendefinisikan dirinya dengan ‘penuh kesadaran’. Maksudnya begini, kita sadar bahwa standar kecantikan perempuan itu dibuat dan dikonstruksi untuk berbagai kepentingan, tetapi kita punya otoritas penuh untuk mendefinisikan diri sendiri.

Perempuan itu adalah subjek penuh kehidupan di tengah standar kecantikan perempuan yang mengopresi mereka. Penguatan kesadaran kritis perempuan terhadap definisi diri dan tidak menjadi objek adalah hal penting yang perlu dilakukan.

Apabila perempuan punya kesadaran kritis, maka perempuan akan menganggap pemakaian make-up sebagai satu-satunya value diri. Perempuan juga tidak memaksakan diri untuk membeli peralatan make-up yang mahal di luar kemampuan finansial. Atau merasa make-up yang “wah” itu hanya produk impor. Tidak percaya dengan make-up produk lokal karena “murahan”. Atau menggunakan peralatan make-up mahal untuk mendapatkan pengakuan. Ini adalah persoalan mental dan kognisi yang perlu dibenahi.

Oleh sebab itu, membangun kesadaran kritis menjadi poin penting. Perempuan perlu sadar bahwa kecantikan itu dibuat standar, maka tidak perlu untuk memaksakan diri agar diterima dengan mengubah penampilan yang tidak menjadi dirinya sendiri. Sekarang sudah banyak wadah edukasi yang bisa dijadikan rujukan, mulai dari media sosial, film, artikel, buku, dan sebagainya.

Banyak bacaan juga tentang feminisme yang bisa dipelajari. Kalau kita punya kesadaran kritis, maka sesama perempuan akan saling mendukung. Sesama perempuan akan membuat support system. Tidak mengomentari fisik melulu, tetapi membangun ruang aman.

Make-up sebagai identitas diri sebetulnya tidak menjadi persoalan. Beauty vlogger sudah pasti menjadikan make-up sebagai bagian identitas dirinya. Atau make-up artist sudah pasti menjadikan make-up sebagai bagian identitas diri. Atau mahasiswi sekalipun. Tidak ada masalah selama perempuan memiliki kesadaran penuh terhadap dirinya sebagai subjek.

Make-up itu menjadi bagian identitas diri tapi tidak menjadi indikator utama. Karena yang terpenting adalah perempuan mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, di dalam hatinya, di dalam pikirannya secara “sadar”. Sebab bagi para feminis, hal utama adalah perempuan merasa “utuh” terhadap dirinya sendiri dengan fisik yang dimiliki saat ini terlepas dari wacana standar kecantikan yang kerap menekan perempuan. []

 

 

Source: https://www.perempuanpeduli.com/bagaimana-para-feminis-memandang-make-up-part-1/
Via: https://www.perempuanpeduli.com/bagaimana-para-feminis-memandang-make-up-part-2/
Tags: feminismeKecantikan PerempuanSelf LoveStandar Kecantikan
Andi Nur Faizah

Andi Nur Faizah

Bekerja di Swara Rahima Jakarta

Terkait Posts

Target Ibadah Ramadan

3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan

25 Maret 2023
Memilih Childfree

Salahkah Memilih Childfree?

24 Maret 2023
Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadan

23 Maret 2023
Menjadi Minoritas

Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

21 Maret 2023
Rethink Sampah

Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

20 Maret 2023
Perempuan Bukan Sumber Fitnah

Ingat Bestie, Perempuan Bukan Sumber Fitnah

18 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Puasa dan Intoleransi

    Puasa dan Intoleransi: Betapa Kita Telah Zalim Pada Sesama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Pernah Menyalahkan Agama Seseorang yang Berbeda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Muhammad Saw Berpesan Jika Berdakwah Sampaikan Dengan Tutur Kata Lembut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ramadan Tiba, Kesehatan Gigi dan Mulut Harus Tetap Terjaga
  • Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan
  • 3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist