Mubadalah.id – Sekitar akhir tahun 2020 tepatnya di bulan Desember, sebuah akun media sosial sekelompok penggiat budaya desa ramai dibagikan hingga memenuhi beranda media sosial saya. Unggahan didalamnya berisi rangkaian kegiatan yang mereka namai dengan “Festival Hujan”. Dengan diiringi rasa penasaran, saya berkesempatan mengunjungi lokasi kegiatan sekaligus berbincang dengan salah satu inisiatornya.
Festival Hujan merupakan rangkaian kegiatan petunjukan seni budaya yang terselenggara di tengah masyarakat Kampung Piji Wetan desa Lawu kabupaten Kudus Jawa Tengah. Berlatar suasana musim hujan, kegiatan ini terselenggara selama 5 hari diakhir bulan Desember dengan 10 tema acara meliputi Performace Art (Video Production), Sekapur Sirih Festival Musim Hujan, Dolanan Musim Hujan, Banyu Bunyi, Kelas dan Hunting Bareng, Ritual Doa Hujan, Haul Gus Dur, Pantomime, Teater Rakyat serta Wedangan.
Salah satu inisiator kegiatan ini adalah seorang pemuda desa bernama Muhammad Zaini yang juga penggiat teater. Keterlibatnnya dengan kegiatan masyarakat sepulangnya merantau kuliah di Semarang mendorong ia dan beberapa pemuda lain berinisiatif mengadakan kegiatan budaya di desanya.
Dengan background keahlian bidang seni teater, Zaini dan kawan-kawan berhasil melahirkan pertunjukan seni budaya yang diangkat dari cerita rakyat seputaran desa Piji Wetan. Dari karyanya ini, beberapa penghargaan akhirnya didapatkan. Pengharagaan tersebut mendorong mereka mengembangkan pertunjukan seni budaya yang tidak hanya sebagai sebuah tontonan yang sekali duduk, melainkan sebagai sarana penggerak masyarakat desa untuk sadar akan budaya.
Selain itu, Zaini juga berangkat dari sebuah keresahannya terhadap keluhan masyarakat tentang musim hujan yang dianggap sebagai pemicu lahirnya longsor dan datangnya banjir. Lewat kegiatan “Festival Hujan” ini, Zaini dan kawan-kawan ingin mematahkan stigma tersebut. Hujan merupakan aktivitas normal alam yang membawa keberkahan sehingga bukan menjadi alasan menghalangi manusia untuk beraktivitas. Dari sinilah ide kesatuan pelestarian budaya dan lingkungan muncul.
Selanjutnya, Zaini mengungkap kesadaran akan lingkungan didapatkan dari pengamatannya terhadap sekitar. Banjir terjadi tidak serta merta datang secara an sich. Banyak faktor yang memicu kedatangannya. Bagaimanapun manajemen pengendalian banjir harus ditata dari hulu ke hilir. Kampung Piji Wetan yang berada di kaki Gunung Muria memiliki tugas besar sebagai salah satu perwakilan dari wilayah hulu. Oleh sebab itu, masyarakat Kampung Piji Wetan harus sadar diri akan isu banjir ini.
Kesadaran akan pelestarian lingkungan dan budaya melalui seni ini menjadikan Zaini dan kawan-kawan terpacu menggali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah ada. Dari hasil penggalian inilah, Zaini menemukan benang merah ketersambungan kearifan lokal di Kampung Piji Wetan secara khusus hingga kearifan lokal wilayah Kudus secara umum. Nilai kearifan ini oleh Zaini dan kawan-kawan kemudian diangkat dalam rangkaian pertunjukan seni dalam “Festival Hujan” yang melibatkan pemuda kampung Piji Wetan.
Dalam statemennya, Zaini mengatakan bahwa pertunjukan seni budaya yang diangkat dari kearifan dan keterlibatan pemuda ini adalah upaya internalisasi ajaran-ajaran luhur para pendahulu. Masih terlalu dini untuk menjadikan Piji Wetan sebagai sebuah desa wisata. Jika lantas semua itu dilembagakan dalam sebuah nomenklantur “Desa Wisata”, semua orientasi akan fokus pada nilai materi saja.
Zaini lebih memilih fokus kepada pembentukan SDM dan SDA di desa Piji Wetan melalui internalisasi kearifan lokal. Jika keduanya sudah terbentuk, Zaini optimis Kampung Piji Wetan akan menjadi daya tarik wisatawan dengan sendirinya.
Sebagai representasi dari generasi muda, Zaini dan kawan-kawan berupaya melakukan persiapan matang dan branding sedemikian rupa terhadap Kampung Piji Wetan. Penamaan “Festival Hujan” diadopsi dari budaya negara-negara lain. “Jika disana ada Festival di setiap musim, mengapa tidak kita buat juga di Indonesia”, begitu tutur Zaini.
Selain dari sisi tema kegiatan yang menjual, kesiapan branding juga terlihat dari isi konten yang disuguhkan dari akun media sosial Kampung Budaya Piji Wetan baik berupa Instagram maupun Youtube. Kesuksesan branding ini sangat nyata ia rasakan dari banyaknya wartawan dan lembaga-lembaga yang menghubunginya pasca peluncuran “Festival Hujan”. Beberapa dari mereka berkepentingan untuk meliput kegiatan dan beberapa yang lain menawarkan kerjasama.
Di akhir perbincangan, Zaini mengatakan bahwa pada dasarnya semua desa memiliki kearifan masing-masing yang berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka pembentukan karakter masyarakat. Dengan nada merendah, Zaini mengutarakan bahwa kesuksesan “Festival Hujan” Kampung Piji Wetan tidak terlepas dari keterlibatan banyak pihak meskipun ia juga tidak menampik bahwa gerakan yang sedang dirintis ini menghadapi banyak kendala dari pihak internal maupun eksternal. Namun hal itu tidak menyurutkannya untuk terus menggali nilai-nilai kearifan bersama pemuda desa dalam kemasan festival-festival dengan tema berbeda berikutnya. []