• Login
  • Register
Minggu, 27 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Beruntungnya Menjadi Anak Sulung

Tuhan seakan membisikkan sesuatu, bahwa di saat aku merasa hidup ini berat, nyatanya aku masih sangat beruntung.

Uus Hasanah Uus Hasanah
27/07/2025
in Sastra
0
Menjadi Anak Sulung

Menjadi Anak Sulung

18
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menjadi anak sulung tentu bukanlah sebuah pilihan. Ini adalah takdir yang harus ku terima dengan lapang dada.

Dimasa kecilku, ini adalah sebuah keberuntungan, menjadi anak dari pasangan muda yang sukses dengan penghasilan lebih dari cukup tentu menyenangkan, sebab apa-apa yang ku kenakan dan miliki, nyaris semuanya baru. Satu lagi, segala perhatian dan kasih sayang mereka tentu, hanya padakulah, satu-satunya!

Namun keadaan itu berangsur berubah ketika satu persatu adikku lahir, hingga sampai pada adik yang ke 4 semuanya luluh lantak. Usaha mereka bangkrut dan perlahan kami menjadi keluarga yang patut dikasihani. Aku tidak menyalahkan kelahiran adik-adikku atas kedaan ini, tapi bahwa kehidupan itu seperti roda yang berputar,  memang  nyata adanya.

Pertengkaran

“Arum! Lihat itu!” Teriak ibu sambil membopong adikku yang nomor empat menuju kamar mandi. “Nanti kalau punya suami jangan kayak bapakmu, kerjaannya malas-malasan terus, sudah tau usaha bangkrut bukannya cari usaha lain, kerja kek, apa kek, tidur-tiduran melulu!” omelan ibu di pagi buta, menghiasi hari-hari kami, seperti halnya nasi kuning pada saat sarapan pagi ketika aku masih tunggal. Ku ingat, waktu itu  setiap pagi suapan demi suapan yang diberikan ibu terasa nikmat dalam suasana keluarga yang hangat.

“Arum! kalau bapakkmu tidak gampang percaya dengan orang lain, kita gak akan mungkin terus-terusan ditipu. Sampai hidup sudah susah begini masih saja kena tipu” omelan ibu di hari yang lain setelah bapak kena tipu saat menjadi calo penjualan sebidang tanah. “Bukannya malah untung, kita malah buntung karena harus bayar denda ganti rugi” bentak ibu dengan nada kesal sambil membanting cucian baju yang hendak di jemur.

Baca Juga:

Anak Bukan Milik Orang Tua

Perjalanan Penerimaan dari Film Sore: Istri Masa Depan

Para Suami, Jangan Biarkan Kembang Layu di Atas Ranjang

Mengapa Zina dilarang Agama?

Aku yang sedang membantu Juni,adik nomor 3 memakai baju seragam TK hanya diam sambil menelan ludah dan berusaha mengalihkan perhatian  agar Juni tak terlalu mendengarkan omelan ibu. Sementara dua adikku yang lain masing-masing sibuk menyiapkan diri untuk segera berangkat sekolah ; satu kelas 2 SMP dan satu lagi kelas 4 SD.

“Arum! ibu mu itu egois, maunya menang sendiri! Tidak tau suami sedang pusing ! kerjaannya ngomel-ngomel terus setiap hari” bentak ayah dikesempatan lain.

Perceraian

Menangkap kembali sinyal-sinyal penrtengkaran aku pun bergegas menuntun Juna untuk segera mengantarkannya ke sekolah. kedua adiku yang lain mengikutiku keluar dari rumah, kami pun menuju sekolah masing-masing.

Ketika akhirnya perceraian itu benar-benar terjadi, arah hidup kami seolah hilang. Yang lebih menyakitkan bukan perceraiannya, tapi sikap mereka yang terus memperebutkan ‘pembelaan’ dari kami.

“Kalau saja ayahmu tidak begitu…”

“Andai  saja ibumu tidak egois…”

“Kalau saja… kalau saja…”

Entahlah, parahnya lagi mereka memkasa kami memilih mau ikut ayah atau ibu. Lebih perduli ayah atau ibu, lebih sayang ayah atau ibu. Hingga akhirnya nama-nama kami terbelah di dua kartu keluarga. Layaknya harta gono-gini kami diperlakukan seperti barang tak bernyawa.

Sebagai anak sulung, akulah yang sering ditanya orang soal perceraian itu. Bahkan ada yang dengan enteng menjelaskan sebab-musababnya secara rinci, seolah aku perlu tahu semuanya. Sejak saat itu,. Sejak itu aku mulai belajar  menghindari pertemuan dengan banyak orang.

Beberapa waktu kemudian, dua adikku yang ikut ayah memilih pulang ke ibu karena ayah telah menikah lagi. Sementara ayah bahagia dengan istri barunya, ibuku berjibaku mencari nafkah untuk kami berlima.

Hidup dalam Keterbatasan

Pernah terlintas dalam benakku: kenapa dulu ibu tidak menggunakan alat kontrasepsi? Haruskah kami menanggung susah begini? Namun belakangan aku tahu, ibu memiliki riwayat darah tinggi yang membuatnya tidak bisa menggunakan alat kontrasepsi. Oh, ibu… lengkap sudah bebanmu.

Kami hidup dalam keterbatasan. Melihat adik-adikku yang tak bisa memiliki apa yang kudapatkan dulu ketika seusia mereka tentu membuatku semakin pedih. dan aku sebagai anak sulung, yang tadinya mengutuki keadaan kini lebih merasa beruntung karena mengalami bagaimana rasanya hidup berkecukupan.

Menyaksikan ibu yang bekerja membabi buta aku semakin tak tega. Maka selepas SMA aku berininisiatif untuk menjadi tulang punggung, membantu ibu, menggantikan ayah. Ternyata menjadi dewasa itu berat,  tidak hanya sebatas ‘enak menjadi orang dewasa, bisa berbuat  apa saja, main ke mana saja dan melakukan apa saja sesuai kehendak hati tanpa harus diantar,dibuntuti atau sekedar menunggu persetujuan orang tua’ sebagaimana yang kupikirkan sewaktu kecil. Nyatanya, beban tanggung jawab jauh lebih berat dari kebebasan itu sendiri.

Aku sempat mondar-mandir cari kerja. Tawaran apa saja kuambil selagi halal, pernah menjadi pengasuh anak, penjaga toko, antar jemput anak sekolah hingga hingga sekarang menjadi pencari dan penagih nasabah di bank mingguan keliling.

***

Siang ini, matahari menyengat tanpa ampun. Nyeri datang bulan yang sejak tadi kurasakan kini makin tak tertahankan. Adel, rekan kerjaku yang sedari tadi mengomel soal perlakuan nasabah, tampak sadar kalau aku sedang tidak baik-baik saja.

“Arum, di warung depan kita berhenti, ya. Kamu perlu rebahan. Istirahat dulu,” ujarnya sambil mengendarai motor.

“Ya, Del… aku udah nggak kuat,” jawabku.

Kami pun berhenti di sebuah warung yang berada di tengah sawah. Begitu turun dari motor, aku langsung menaruh ranselku dan meminta izin untuk rebahan. Adel memesankan air hangat dan obat pereda nyeri.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tangisan. Sayup-sayup, tapi lama-lama menjadi raungan. Aku dan Adel saling pandang, bertanya-tanya. Ibu pemilik warung dan beberapa petani yang sedang istirahat pun ikut keluar mencari sumber suara.

“Itu dia di sana, Pak! Tolongin, Pak! Cepat susul!” teriak ibu pemilik warung. Beberapa petani segera melangkah ke petakan sawah tempat suara berasal. Adel ikut menyusul mereka, sementara aku tetap di tempat, menahan nyeri.

Pantulan Nasib

Tak lama kemudian, mereka kembali sambil menuntun seorang bapak. Badannya kurus, langkahnya lemas, matanya merah karena menangis, dan tampak malu. Ibu warung segera memberinya segelas air putih dan gorengan pisang.

Setelah tenang, ia pun mulai bercerita.

“Maaf saya merepotkan… Sawah ini dulu milik orang tua saya, H. Darkam.”

“Oh… Bapak ini anak Wa Kaji Darkam yang dulu kaya itu?” sahut seorang bapak yang lebih sepuh.

“Iya, Pak. Dulu tanah ini 5 hektar, sampai ujung jalan perbatasan desa… milik orang tua saya.”

Ia terisak lagi. Aku yang sudah merasa lebih baik, memilih duduk dan mendengarkan.

“Dulu aku anak orang kaya. Uang bukan masalah. Semua bisa kudapat dengan mudah. Tapi setelah orang tuaku meninggal, semua warisan kujual satu persatu untuk memenuhi kesenanganku mabuk dan berjudi. Empat tahun setelah mereka tiada, habis sudah segalanya. Bahkan rumah warisan terakhir kujual untuk judi sabung ayam. Istriku menceraikanku. Sekarang aku jadi pengemis di lampu merah. Kalau musim panen begini, aku memunguti padi sisa panen. Tak kusangka, hari ini aku tiba di sawah milik orang tuaku sendiri.”

Ia kembali menangis. Dan saat itu, aku merasa sedang menatap pantulan nasibku sendiri. Tuhan seakan membisikkan sesuatu, bahwa di saat aku merasa hidup ini berat, nyatanya aku masih sangat beruntung. []

 

Tags: cerita pendekkeluargaMenjadi Anak SulungperceraianRelasiSastra
Uus Hasanah

Uus Hasanah

Guru di MA GUPPI Terisi Indramayu

Terkait Posts

Surat

Surat yang Kukirim pada Malam

6 Juli 2025
Kapan Menikah

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

29 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

15 Juni 2025
Abah dan Azizah

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

8 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT yang

    PRT Bukan Budak: Hentikan Perlakuan yang Merendahkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Disabilitas Netra dan Ironi Aksesibilitas Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menikmati Proses, Karena yang Instan Sering Mengecewakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PRT Juga Manusia, Layak Diperlakukan dengan Baik dan Bermartabat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mari Membahas Bersama Fomo Trend S-Line

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Reinterpretasi Hadis Fitnah Perempuan dalam Perspektif Mubadalah
  • Beruntungnya Menjadi Anak Sulung
  • Refleksi Tren S-Line: Bagaimana Jika Dosa Kita Terlihat Jelas Atas Kepala?
  • Upah: Hak Pekerja, Kewajiban Majikan
  • Mari Membahas Bersama Fomo Trend S-Line

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID