• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Bias Gender dalam Media Pembelajaran Kontemporer

Pendidikan di Indonesia belum mampu mendorong perubahan atas dikotomi peran gender yang patriarkal secara merata dan konsisten. Risetnya, yang ditayangkan oleh The Conversation tahun lalu, menyimpulkan bahwa bias gender dalam buku-buku pelajaran di Indonesia masih kuat mengakar.

Masithoh Azzahro Lutfiasari Masithoh Azzahro Lutfiasari
13/04/2021
in Publik
0
Gender

Gender

338
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam melaksanakan proses belajar-mengajar daring sejak tahun lalu, banyak guru mengandalkan internet sebagai sumber materi pelajaran untuk anak didik mereka. Saya pun termasuk dalam golongan guru-guru ini, dan merasa sangat terbantu dengan tersedianya beragam materi pelajaran melalui mesin pencarian Google dan media sosial.

Format materi penunjang yang paling sering saya gunakan adalah video dari kanal-kanal YouTube. Biasanya saya akan memilih video-video animasi yang berisi percakapan dalam bahasa Inggris untuk digunakan sebagai starter. Dari video-video inilah saya menemukan satu isu gender yang perlu dikritisi.

Setelah melakukan pengamatan selama beberapa minggu, saya menyadari bahwa peran gender yang ada dalam video-video yang saya gunakan sangat stereotipikal. Contohnya, dalam sebuah video tentang house chores, hanya ada karakter seorang ibu yang menjelaskan beberapa jenis pekerjaan rumah kepada anak perempuannya. Dari mulai memasak hingga mengoperasikan vacuum cleaner, semua pekerjaan rumah dipraktekkan oleh si ibu tanpa ada sosok ayah yang muncul untuk memberikan penjelasan juga.

Pola yang sama akan dengan mudah ditemukan dalam video-video pembelajaran Bahasa Inggris yang juga bertemakan house chores dari channel lain. Pesan implisitnya tersampaikan, seolah hanya sosok ibu yang paling memahami ranah pekerjaan rumah.

Karakter ayah atau laki-laki dalam video-video sejenis baru akan muncul ketika materi yang disampaikan berkaitan dengan urusan publik. Salah satu contohnya adalah video yang berisikan penjelasan tentang profesi dalam bahasa Inggris, di mana hampir semua ragamnya digambarkan bergender laki-laki, dari mulai doctor hingga police officer. Penggambaran-penggambaran seperti ini mengingkari kenyataan bahwa dokter perempuan dan polwan sudah umum kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

Bias gender dalam media pembelajaran sendiri sebetulnya bukan isu baru, khususnya di Indonesia. Isu yang sama dalam media pembelajaran konvensional, yakni buku paket sekolah, sudah lama dikritisi oleh pemerhati pendidikan. M. Niaz Asadullah dari Initiative on Education, Gender, and Growth in Asia (Integgra) mencatat bahwa kurikulum dan materi sekolah adalah salah satu penyebab mengapa pendidikan di Indonesia belum mampu membawa perubahan yang masif untuk pembangunan perempuan.

Pendidikan di Indonesia belum mampu mendorong perubahan atas dikotomi peran gender yang patriarkal secara merata dan konsisten. Risetnya, yang ditayangkan oleh The Conversation tahun lalu, menyimpulkan bahwa bias gender dalam buku-buku pelajaran di Indonesia masih kuat mengakar.

 

Gender

Dalam penjelasan bab profesi di sebuah buku paket Bahasa Inggris, misalnya, perempuan lebih banyak disebutkan memiliki profesi dengan capaian atau pendapatan yang lebih rendah. Profesi yang dipandang ‘kurang serius’ seperti penari dan penyanyi juga lebih sering disematkan pada sosok perempuan.

Meskipun gender bukan merupakan isu yang terbilang ‘segar’ dalam dunia pendidikan, dampaknya berpotensi lebih mudah meluas ketika ia muncul dalam media pembelajaran kontemporer. Video-video edukasi yang bertebaran di media sosial dapat diakses dengan lebih cepat, sebab ponsel kini lebih akrab di tangan kita daripada buku.

Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah idealisasi dini sebuah peran publik maupun privat berdasarkan gendernya. Maka dari itu, pendidik dan orang tua harus semakin jeli dalam menyikapi wujud ketimpangan gender yang menyasar generasi penerus secara langsung ini.

Contoh upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi dampak dari masalah ini adalah penanaman konsep bahwa semua peran publik maupun privat dapat ditentukan berdasarkan keahlian dan keterampilan seseorang (merit-based), dan bukan berdasarkan gender atau jenis kelaminnya.

Orang tua dan guru perlu meyakinkan anak-anak dan murid-muridnya bahwa semua keterampilan dan kemampuan dapat dikuasai oleh siapapun yang gigih belajar dan berlatih. Tujuan kita adalah mencegah kalimat-kalimat seperti, “Ih, jadi chef di hot kitchen kan susah. Perempuan nggak bakal mampu!”, atau, “Kok, ayahnya yang jemur baju, ibunya ke mana?” menjadi norma di masyarakat.

Selain itu, penting halnya untuk kita membiasakan anak-anak dan murid-murid untuk berpikir kritis terhadap apa yang mereka lihat atau baca. Mungkin kita bisa menukar peran karakter laki-laki dan perempuan dalam sebuah konten video atau narasi bacaan, contohnya: “Bagaimana jika kita ganti ibunya yang jadi menonton televisi sementara ayahnya yang memvacuum karpet di video itu?” Pembiasaan pola pikir kritis sejak usia sekolah bisa menjadi pondasi yang kuat untuk anak-anak dan murid-murid agar dapat menilai ketimpangan yang terjadi di sekitar mereka dan bereaksi dengan bijak.

Dua upaya yang telah disebutkan di atas harus dilakukan terus-menerus, di samping perlunya evaluasi dan revisi konten media pembelajaran konvensional maupun kontemporer. Pengulangan adalah salah satu metode belajar yang efektif, sehingga ia menjadi poin penting di sini. Anak-anak di usia sekolah masih mudah untuk dibiasakan menerima pemahaman baru, tentunya dengan dukungan dari orangtua yang juga harus peduli dengan isu gender dan pendidikan. []

 

 

Tags: GenderIndonesiakeadilanKesetaraanpendidikanperempuan
Masithoh Azzahro Lutfiasari

Masithoh Azzahro Lutfiasari

Terkait Posts

COC

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

18 Juli 2025
Sirkus

Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

17 Juli 2025
Disabilitas dan Kemiskinan

Disabilitas dan Kemiskinan adalah Siklus Setan, Kok Bisa? 

17 Juli 2025
Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Zakat Profesi

Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

16 Juli 2025
Representasi Difabel

Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

16 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID