Mubadalah.id – Ramadan bagi umat Islam di Indonesia identik dengan melakukan lebih banyak ibadah dan kumpul bersama. Di kampung-kampung maupun di daerah perkotaan, masyarakat dengan semarak bergembira menggelar berbagai kegiatan, dari pasar Ramadan, beduk sahur keliling hingga tradisi buka bersama.
Untuk kegiatan terakhir, yakni tradisi buka bersama, penyelenggaraannya selalu dinanti. Entah itu dibingkai dengan keperluan keluarga, acara kantor, ataupun reuni sekolah. Semua dipersiapkan dengan antusias, tak kalah gempitanya dengan ibadah puasa itu sendiri.
Tradisi buka bersama sejatinya adalah akulturasi budaya lokal dengan perpaduan nilai-nilai Islami. Menurut Devie Rahmawati, pengamat sosial vokasi Universitas Indonesia, karakteristik masyarakat Indonesia yang sejak dulu sudah bersifat komunal, kemudian mendorong akulturasi budaya Islam dengan tradisi asli daerah yang telah terbiasa melakukan kegiatan secara berkelompok.
Tak heran, hingga sekarang kegiatan tradisi buka bersama terus mendarah daging di masyarakat kita. Meski belum ada data pasti kapan kegiatan tradisi buka bersama pertama dalam sejarah Islam Nusantara, namun hal ini diasumsikan bahwa kegiatan berkumpul untuk buka puasa bersama telah dilakukan ketika Islam mulai banyak dipeluk oleh warga. Ketika sebelumnya mereka hanya kumpul dan makan-makan saja, setelah memeluk Islam, kegiatan tersebut tetap berlanjut di bulan Ramadan dengan landasan yang berbeda.
Dalam Islam, tradisi buka bersama atau ifthar jamaah nyatanya berkorelasi erat dengan semangat kebersamaan. Terlebih, prinsip jemaah atau berkelompok sangat dianjurkan dalam beberapa ibadah ritual, seperti shalat yang perolehan pahalanya jauh lebih besar ketika dikerjakan bersama daripada sendiri. Perbandinganya bahkan cukup jauh, dua puluh tujuh banding satu.
Kembali ke makna tradisi buka puasa bersama, selain mengingatkan kita akan nilai-nilai integritas, menurut Gus Baha, ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari Rembang, tradisi tersebut juga menganjurkan kita untuk terus bersyukur dan banyak berbagi dengan sesama. Bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Lebih rincinya, syukur itu menerima yang sedikit dan menganggapnya banyak, memberi yang banyak dan menganggapnya sedikit. Dari sana, kita sebagai makhluk akan terus membiasakan untuk bersikap rendah hati dan terus ingat bahwa sejatinya rezeki serta nikmat kita sangat bergantung pada Yang Maha Kuasa.
Tradisi Buka Bersama dan Melestarikan Budaya Srawung
Pada konteks budaya lokal Jawa, buka bersama juga berkelindan dengan tradisi srawung. Dikutip dari hasil riset Setiawan dan Sibarani (2020), srawung yang mengandung arti kumpul atau pertemuan besar, biasanya melibatkan lebih dari satu orang. Pada masyarakat pedesaan, istilah ‘srawung’ sudah menjadi aktivitas keseharian.
Sebab, inilah cara mereka untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan. Srawung juga diartikan sebagai kontak sosial, dimana satu sama lain bertemu, saling sapa dan ngobrol bareng dengan waktu yang tidak sebentar dalam suasana keakraban di dalamnya. Tak heran, saat Islam datang, budaya srawung tak lantas ditinggalkan begitu saja. Justru kebiasaan lokal setempat berpadu manis dan lestari sampai saat ini.
Di luar Ramadan sendiri, budaya srawung memiliki banyak tujuan positif, tak hanya menjadi sarana untuk saling belajar dan mencari inspirasi dari orang lain, tapi juga momen tepat untuk membahas isu-isu aktual di Indonesia, dari membahas program-program kegiatan daerah hingga topik tentang lingkungan hidup maupun aksi sosial kemanusiaan.
Dari prinsip-prinsip tadi, sangat terlihat jelas bahwa akulturasi srawung dan buka bersama ternyata saling terkait. Bahkan realitanya, konten buka bersama jauh melebihi batas srawung. Dilihat dari fakta di lapangan, implementasi srawung saat buka bersama nyatanya tak eksklusif pada internal umat muslim semata.
Di Sukoharjo, kegiatan buka bersama diadakan oleh komunitas lintas agama. Tak hanya makan bersama, mereka jugaa berbagi takjil kepada para pengguna jalan. Agus Widanarko, salah satu penggagas gerakan, mengatakan bahwa kegiatan yang melibatkan sejumlah pemuda lintas agama ini merupakan upaya menumbuhkembangkan rasa persatuan kesatuan dan kebersamaan antar umat beragama.
Selain itu, kegiatan ini juga mengkampanyekan pentingnya toleransi antar umat beragama. Ia menambahkan juga, “komitmen menjaga persatuan dan persaudaraan antar anak bangsa perlu digelorakan secara terus menerus. Tanpa menghilangkan perbedaan, jiwa toleran setiap pemuda perlu dipupuk sejak dini.”
Sepakat dengan apa yang disampaikan oleh koleganya, Nandi Dwi, perwakilan pemuda dari Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Sukoharjo, berpendapat bahwa bulan puasa adalah momen yang tepat untuk menunjukkan semangat toleransi dan tenggang rasa. Lewat acara bagi-bagi takjil kepada umat Islam yang sedang berpuasa, Nandi dan pemuda lintas agama lainnya berharap bisa berbagi kasih dan memupuk jiwa saling menghargai antar umat beragama.
Dari apa yang dicontohkan oleh Agus dan komunitasnya, terlihat jelas bahwa nilai-nilai dalam srawung saat tradisi buka bersama melintas batas, tak hanya awet dari goncangan globalisasi, tapi juga membawa banyak manfaat yang perlu terus dirawat hingga anak cucu kita nanti. []