• Login
  • Register
Kamis, 7 Desember 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Carok: Tradisi Indigenous Berbasis Gender di Madura

Dengan adanya tradisi ini, laki-laki tidak akan sembarangan melecehkan dan mengganggu eksistensi perempuan. Karena sanksi sosial maupun individual dari pihak keluarga perempuan nyata adanya

Wafiroh Wafiroh
05/03/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Kendi Nusantara

Kendi Nusantara

164
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suku Madura adalah salah satu etnis di Nusantara yang memiliki tradisi dan budaya khas. Mulai dari makanan, cara berpakaian, pola perilaku hingga cara menyelesaikan konflik suku ini memiliki cara yang unik dan berbeda dari mayoritas suku lain. Bagi outsider, suku ini dinilai sebagai komunitas yang keras, kaku dan kerap kali berperilaku kasar. Titik balik pandangan ini adalah adanya tradisi-tradisi yang tanpa ampun pada masyarakat Madura. Sebut saja, tradisi carok yang dulunya merupakan tradisi andalan untuk menjaga hak milik, harga diri maupun kehormatan.

Tradisi ini bersemboyankan sebuah pepatah, lebih baik putih mata dari pada putih tulang. Bagi masyarakat Madura, mati lebih baik dari pada harus hidup dengan menanggung malu. Falsafah ini sangat bercokol kuat khususnya bagi generasi tua atau generasi muda yang terdidik dengan budaya yang masih kental. Dengan adanya tradisi ini, orang-orang Madura tidak segan menantang duel lawannya yang dinilai telah mengganggu teritori dan kehormatan dirinya.

Dalam banyak kasus, tradisi carok yang terjadi sering kali berawal dari masalah kehormatan dan harga diri. Sementara dua hal ini bagi masyarakat Madura adalah poin yang seharusnya dijaga dan dijunjung setinggi-tingginya. Mereka, khususnya kaum laki-laki, tidak akan segan menantang duel (baca: carok) lawan yang dinilai telah melecehkan kehormatan dirinya. Yang dimaksud ‘kehormatan’ dalam hal ini secara khusus adalah kehormatan istri, anak perempuan, saudara perempuan atau malah ibu. Bagi laki-laki Madura, kehormatan perempuan dalam keluarga, adalah nilai mutlak yang harus dijunjung tinggi.

ketika seorang perempuan di Madura diganggu atau dilecehkan (secara seksual khususnya) oleh laki-laki, maka ayah, kakek atau saudara laki-laki dari perempuan tersebut akan pasang badan untuk melindungi. Mereka tanpa dikomando akan merasa sangat dilecehkan dan tidak dihargai dan oleh karena itu mereka menuntut balas dan pertanggung jawaban. Sayangnya, pelaku seringkali juga berpegang teguh pada prinsip enggan untuk meminta maaf, terjadilah kemudian tantangan duel dari pihak keluarga, untuk menjaga kehormatan perempuan tersebut.

Sementara perempuan Madura, tentu tidak segan melapor kepada keluarganya yang laki-laki atas pelecehan yang dialami. Ini justru menegaskan adanya nilai keterbukaan dan keberanian perempuan untuk bersuara ketika sedang ada di posisi rentan. Hal ini sering terjadi karena perempuan di Madura, memiliki keyakinan bahwa dia akan dibela hingga pertanggungjawaban diperoleh atau kehormatannya kembali pulih.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Nabi Muhammad Saw: Sosok yang Menyayangi Anak Laki-laki dan Perempuan
  • Akikah Bagi Laki-laki dan Perempuan
  • Islam: Agama yang Menyejajarkan Kemanusiaan Laki-laki dan Perempuan
  • 5 Langkah Pencegahan Kasus KDRT

Baca Juga:

Nabi Muhammad Saw: Sosok yang Menyayangi Anak Laki-laki dan Perempuan

Akikah Bagi Laki-laki dan Perempuan

Islam: Agama yang Menyejajarkan Kemanusiaan Laki-laki dan Perempuan

5 Langkah Pencegahan Kasus KDRT

Walaupun dari sisi lain, kerap kali dia tetap disalahkan karena mungkin saja dia juga ikut andil dalam pelecehan tersebut. Seperti cara berpakaian maupun waktu, dan bagaimana dia merespon gangguan dari lawan jenis. Namun secara umum, perlindungan terhadap kehormatan serta ruang perempuan untuk menyuarakan pelecehan yang terjadi, terbuka cukup lebar dalam komunitas etnis ini.

Dalam kajian hukum Islam, masyhur dikenal adanya klasifikasi maslahat sebagai tujuan puncak dari adanya syariat Islam. Teori tersebut dikenal dengan istilah maqasid syariah. Dalam lingkup teori ini, ulama membuat piramida maslahat yang terbagi menjadi 5 tingkatan. Yaitu hifzud din (memelihara keberagamaan); hifzun nafs (memelihara kehidupan); hifzun nasl (memelihara keberlangsungan keturunan); hifzul aql (memelihara pikiran) dan hifzul mal (memelihara harta).

Sementara sebagian ulama lain menambahkan poin keenam, yaitu hifzul irdl (memelihara kehormatan) sebagai bagian dari maslahat adanya syariat Islam. (baca Al-Fikr al-Maqasidi, Ahmad Ar-Raisuni, 29-31).

Membaca fenomena carok dalam masyarakat Madura yang kerap terjadi dengan alasan menjaga perempuan, penulis tertarik untuk memadukan tradisi tersebut dengan teori maqasid syariah. Berikut 3 poin yang menjadi catatan penulis:

  1. Perlindungan Terhadap Perempuan

Tradisi carok sebagaimana telah dipaparkan, merupakan satu tradisi yang kerap terjadi untuk melindungi perempuan. Jika di media sosial belakangan ini viral tentang diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan penyintas kekerasan seksual, maka dapat dipastikan hal tersebut jarang ditemukan di komunitas Madura. Tidak ada dalam lingkup masyarakat ini honour killing dan semacamnya karena menjaga kehormatan keluarga. Justru sebaliknya, keluarga penyintas dalam komunitas ini akan pasang badan untuk memberikan perlindungan semaksimal mungkin.

Dilihat dari sudut pandang maqasid syariah, maka tradisi ini –disadari atau tidak– mencerminkan nilai masalahat. Pertama, tradisi ini mutlak terjadi karena ingin melindungi kehormatan (hifzul irdl) baik perempuan itu sendiri maupun keluarganya.

Dengan adanya tradisi ini, laki-laki tidak akan sembarangan melecehkan dan mengganggu eksistensi perempuan. Karena sanksi sosial maupun individual dari pihak keluarga perempuan nyata adanya. Kedua, tradisi ini juga mencerminkan adanya nilai perlindungan terhadap keberlangsungan keturunan (hifzun nasl). Artinya, masyarakat Madura sangat menjaga agar proses berketurunan terjadi dengan cara-cara yang terhormat. Alih-alih hamil di luar nikah maupun sejumlah pelecehan lainnya.

  1. Carok: Menjaga Perdamaian bukan justru Intoleransi

Bagi outsider, tradisi carok ini mencerminkan minimnya toleransi. Sering kali, tradisi ini menjadi tolak ukur orang luar untuk menilai komunitas ini tidak ramah, pendendam dan sejumlah stigma negatif lainnya. Padahal jika dilihat secara holistik, tradisi ini memiliki nilai sebagaimana syariat hudud dalam Islam. Hudud, alih-alih sebagai bentuk ‘balas dendam’ dalam agama, justru adalah hukum preventif agar seseorang tidak main-main dengan nyawa orang lain. Justru dalam hudud ditemukan nilai maslahat hifzunnafs (memelihara kehidupan). (baca Maqasid Syariah Islamiyah, Muhammad Thahir bin Asyur, 137).

Begitu pula dalam carok, bukannya ingin menganggap murah nyawa seseorang. Tradisi ini justru menjaga keberlangsungan nyawa dengan baik. Simpelnya, jika ingin nyawa selamat, maka jaga kehormatan dan nyawa orang lain pula. Jauh dari tujuan mengentengkan kehidupan seseoang, tradisi ini justru ingin memelihara kestabilan kehidupan seseorang dengan saling menjaga dan menghargai kehidupan orang lain.

  1. Tradisi Indigenous Berbasis Gender

Terlepas dari beragamnya budaya ‘menjaga kehormatan’ dalam komunitas etnis yang lain, carok adalah salah satu tradisi indigenous masyarakat Madura. Lebih khusus lagi, tradisi indigenous berbasis gender ala Madura. Tradisi ini sangat berkaitan erat dengan letak geografis dan tradisi lain yang melingkupi. Bahkan orang Madura sekalipun, akan melepaskan tradisi ini jika berada di luar wilayah geografis tradisi ini berasal. Tak lain disebabkan adanya akulturasi dengan budaya lain di luar Madura (secara geografis).

Tradisi carok semacam ini, elok kiranya jika dijaga sebaik mungkin. Namun catatan pentingnya, bukan pada tantangan duel dan membunuh pelaku kekerasan seksual. Justru nilai lain yang lebih penting. Yaitu keterbukaan perempuan dalam keluarga, pemberian ruang yang cukup kepada perempuan untuk menyuarakan pikiran dan perasaan, pembelaan dan dukungan fisik maupun psikis terhadap perempuan penyintas kekerasan seksual, serta adanya ‘tanggung jawab’ untuk memberikan perlindungan sebaik mungkin terhadap perempuan: tubuh, pikiran, perasaan dan gerak-geriknya. Dan tentunya, poin cara berpikir bahwa kekerasaan seksual terjadi tidak melulu salah perempuan. Allahu A’lam. []

Tags: CarokGenderMaduraNusantaraperempuanTradisi
Wafiroh

Wafiroh

Alumni Ma'had Aly Situbondo - Perintis Pesantren Anak Tarbiyatul Quran wal Kutub

Terkait Posts

Mencegah Kekerasan Seksual

FGD All About Respect untuk Langkah Awal Mencegah Kekerasan Seksual

6 Desember 2023
Darurat Femisida

Refleksi 16 HAKTP: Indonesia Darurat Femisida

6 Desember 2023
Demokrasi

KUPI dan Posisi Perempuan dalam Demokrasi

5 Desember 2023
Pemilu 2024

Deklarasi Pemilu Damai 2024: Upaya Cegah Konflik, Politisasi SARA dan Hoaks

4 Desember 2023
KDRT

5 Langkah Pencegahan Kasus KDRT

4 Desember 2023
Perempuan Menikah Lagi

Islam Tidak Mengharamkan Perempuan Menikah Lagi

4 Desember 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Darurat Femisida

    Refleksi 16 HAKTP: Indonesia Darurat Femisida

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Perang Israel, dan Sepucuk Surat Wanita Yahudi untuk Pejuang Al-Qassam di Gaza

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • FGD All About Respect untuk Langkah Awal Mencegah Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Konsep Birr Al-Walidain dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Konsep Birr Al-Aulad dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dalil Al-Qur’an Tentang Prinsip Kasih Sayang Kepada Anak
  • Buku Anatomi Perasaan Ibu: Pengalaman Biologis Perempuan yang Tak Mudah
  • Konsep Birr Al-Aulad dalam Islam
  • Refleksi Perang Israel, dan Sepucuk Surat Wanita Yahudi untuk Pejuang Al-Qassam di Gaza
  • Konsep Birr Al-Walidain dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist