Mubadalah.id – Dalam pidatonya di acara Kemenag, Cinta Laura Kiehl, seorang pemudi multitalenta, menyatakan bahwa akar dari Indonesia adalah keragaman suku, budaya, dan agama. bahkan secara sadar dia mengatakan bahwa generasi muda-lah yang akan bertanggungjawab dalam beberapa tahun ke depan atas arah yang akan diambil negara ini. Arah untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih maju, modern, sejahtera, dan tentunya terkemuka di mata dunia melalui keragamannya.
Meski menyadari bahwa Indonesia memiliki akar agama dan budaya yang beragam, namun tidak membuat polarisasi opini masyarakat terhindarkan. Ragam opini tentang ketidaksepakatan dalam menentukan apa yang dibutuhkan negara demi terwujudnya kesatuan Indonesia yang kuat. Juga opini tentang keinginan generasi muda Indonesia dalam mengenalkan budaya dan identitas bangsanya di kancah dunia, dimana mereka yakin bahwa penting bagi negara di luar sana untuk mengetahui ragam budaya Indonesia yang hebat, penuh potensi dan unik.
Namun di sisi lain, sampai detik ini masih sering ditemukan masyarakat yang berkelahi dan menjatuhkan satu atas lainnya hanya karena perbedaan budaya, ras, suku, dan terutama agama. Ironis, menurut Cinta. Bukankah pasal 1 UU PNPS menyatakan bahwa ada 6 agama resmi yang diakui Indonesia? Bukankah “Bhinneka Tunggal Ika” adalah semboyan negara kita?
Konflik atas nama agama dan Tuhan, membuat Cinta mengutip pendapat filsuf kenamaan ‘Rene Descartes’ yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang finite (terbatas) sedangkan Tuhan adalah sosok yang infinite (tidak terbatas), oleh karena itu bagaimana mungkin manusia sebagai makhluk yang terbatas merasa mempunyai kemampuan untuk mengerti sesuatu yang jauh di luar kapasitasnya?
Bagaimana manusia sebagai makhluk yang terbatas bisa memahami esensi dari sesuatu yang tidak terbatas? Menurut Cinta, inilah masalah dalam masyarakat, tentang pemahaman yang terbatas dan pemikiran yang tidak kritis. Masyarakat terjebak dalam cara berfikir, dimana mereka telah memanusiakan Tuhan, merasa memiliki hak dalam mendikte kemauan Tuhan, merasa tahu pikiran Tuhan, dan merasa berhak untuk bertindak atas nama Tuhan. Inilah yang menjadi cikal bakal radikalisme.
Cinta mengatakan bahwa terjebaknya cara berfikir masyarakat dikarenakan kurangnya bimbingan dan tools (perangkat) yang dibutuhkan untuk memahami sebuah ajaran dengan akal kritis. Sehingga mereka menjadi tersesat dalam cara berfikir mereka dan lupa pentingnya menyeimbangkan segala ilmu yang dipelajari dan dimiliki dengan nilai-nilai yang ada dalam budaya, ataupun aliran pemikiran lainnya.
Sekali lagi Cinta menyinggung budaya dan agama sebagai akar dari keragaman. Cinta juga berefleksi bahwa ragam literatur dan filsafat mengantarnya untuk memahami keindahan setiap agama dan sadar bahwa pada akhirnya fungsi terbesar agama adalah satu, yaitu sebagai kompas moral manusia, untuk mengingatkan manusia bahwa kita harus memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
Cinta juga menuturkan 4 hal sebagai upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat, yakni (1) kembali mengingatkan masyarakat akan indah, kaya, dan uniknya budaya-budaya yang kita miliki di negara ini, sehingga perlu diinisiasi sejak dini melalui sekolah, media, dan platform digital yang ada. Karena “our culture is cool, not oldschool” (kebudayaan kita keren, tidak kuno).
(2) ajaran agama yang ada dalam sistem pendidikan harus adil dalam merepresentasikan agama-agama yang ada di negara ini. (3) pentingnya critical thinking (berfikir kritis) ajarkanlah adik-adik kita untuk membaca dan mempelajari segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Biarkan mereka bertanya, tumbuhkan rasa ingin tahu mereka sehingga tidak mudah dipengaruhi dan dijajah pikirannya. (4) gunakanlah teknologi yang semakin canggih sebagai alat yang dapat terus menyebarkan nilai-nilai toleransi agar negara ini bisa kembali menjadi Indonesia sejati.
Sebagai penutup dari pidatonya, Cinta Laura mengutip kata-kata bijak dari Marcus Garvey seorang orator dan aktivis politik Jamaika “a people without knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots” yang artinya masyarakat tanpa pengetahuan tentang sejarah masa lalu mereka, asal-usul dan budaya, adalah seperti pohon tanpa akar. “Oleh karena itu, ayo kita bersama-sama menjelmakan lambang garuda dimanapun kita berada. Mari kita taat dalam beragama agar menjadi manusia yang bermoral. Tapi mari kita juga merangkul budaya indonesia untuk membimbing identitas bangsa”, pungkasnya. []