Mubadalah.id – Narasi tentang bidadari surga dalam teks agama telah membawa diskusi yang cukup menarik dalam kajian gender. Di satu sisi keberadaan bidadari surga sangat menguntungkan dalam sudut pandang laki-laki. Namun menjadi problem bahkan polemik dalam sudut pandang perempuan.
Narasi Bidadari Surga dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an narasi tentang bidadari surga diwakili dengan beberapa kata, yaitu Hur’in, Azwajun muthaharatun. Adapun kata yang paling sering kita temukan adalah Hur’in yang bermakna mata indah yang lebar dan hitam pekat. Oleh karena itu imajinasi tentang bidadari surga selalu lekat dengan sosok perempuan bermata jelita yang akan menjadi pasangan laki-laki di surga.
Penggambaran bidadari surga dalam Al-Qur’an mengarah pada sosok perempuan yang memiliki berbagai hal dari sumber-sumber kesenangan laki-laki. Terlebih lagi jumlah mereka sangat banyak. Bahkan dalam sebuah riwayat seorang laki-laki penghuni surga dijanjikan 70 bidadari.
Polemik Bidadari Surga dalam Prespektif Perempuan
Narasi-narasi yang banyak berpihak pada laki-laki tersebut pada akhirnya menimbulkan polemik dalam diri perempuan. Masalah paling umum adalah kegelisahan yang mereka tuangkan dalam beberapa pertanyaan. Misal kenapa harus bidadari surga, bukan bidadara? Apakah kenikmatan surga hanya untuk laki-laki? Apakah perempuan juga mendapat bidadara?
Masalah berikutnya adalah kegelisahan yang sering dialami seorang istri. Seringkali mereka cemburu dan khawatir dengan keberadaan bidadari surga, seandainya kelak akan menggantikan posisinya dengan pasangan. Adanya kecemburuan ini bahkan membuat sebagian perempuan tidak lagi memimpikan surga_(yang penuh bidadari).
Ada juga polemik dari sebagian perempuan yang cenderung kritis terhadap isu-isu gender. Sebagian dari mereka menyayangkan adanya konstruksi pemikiran yang melegitimasi perempuan sebagai mahkluk nomor dua. Bahwa di dunia saja, posisi perempuan seringkali menjadi pelayan laki-laki. Masihkah hal tersebut juga akan terjadi di akhirat, dengan narasi bidadari surga yang melayani laki-laki?
Berbagai pertanyaan di atas, seringkali muncul dalam diskusi bidadari surga. Khususnya pada teks agama dengan prespektif perempuan.
Jawaban Atas Kegelisahan
Uniknya, dalam diskusi tersebut juga selalu menawarkan beberapa solusi (jawaban) yang relatif sama. Jawaban tersebut seringkali mereka gunakan untuk mengcounter protes-protes kaum perempuan tentang narasi bidadari surga yang membuat mereka gelisah.
Jawaban paling umum yang sering kita dengar adalah dihilangkannya rasa cemburu dalam surga. Sehingga sekalipun kelak suami mereka memiliki pasangan lain, para istri tidak lagi menderita karena kecemburuan. Jawaban semacam ini juga terkesan masih memihak laki-laki. Tentu juga tidak dapat diterima oleh perempuan yang masih memiliki fitrah cemburu sebagai manusia.
Jawaban yang kedua sedikit masuk akal, walaupun terkesan bias. Yaitu perempuan dijanjikan sebagai ratu (pemimpin para bidadari). Ada sebagian yang menerima, namun sebagian juga menolaknya. Mereka yang tetap menolak berargumen, walaupun sebagai ratu tetap saja harus melihat suami mereka bersama bidadari.
Adapun mereka yang menerima tawaran ini, juga menggunakan perspektif perempuan. Mereka berpendapat, ratu adalah posisi terhormat dan paling utama. Sehingga ia akan tetap jadi yang utama bagi suaminya, meskipun banyak bidadari di sekelilingnya.
Bukankah perempuan sangat senang jika menjadi prioritas? Justru keberadaan para bidadari (sebagai pelayan) itu yang akan mengangkat derajatnya menjadi ratu. Sebagai ratu, tentu dia akan dilayani juga, dan tidak perlu repot-repot mengurus suaminya lagi seperti di dunia.
Dua jawaban di atas sering mereka gunakan untuk menjawab kegelisahan perempuan yang karena adanya rasa cemburu dan khawatir terhadap pasangannya. Adapun jawaban berikut seringkali mereka lontarkan pada perempuan yang menyoal kenikmatan surga karena terkesan hanya untuk laki-laki. Jawaban ini juga terkesan seperti kompromi menurut saya. Yaitu tawaran akan kenikmatan lain bagi perempuan, berupa pakaian mewah dan perhiasan.
Argumennya sangat sederhana, bukankah saat di dunia perempuan banyak tertarik dengan pakaian dan perhiasan? Sedangkan laki-laki tertarik dengan kecantikan dan tubuh perempuan. “Jika ditimbang secara kenikmatan, bukankah keduanya sama? Oleh karena itu, kenikmatan surga tidak dibuat sama, tapi berdasarkan kecenderungan masing-masing. (Ukuranya adalah kecenderungan di dunia)
Mubadalah Sebagai Alternatif
Sementara itu ada satu tawaran solusi yang lebih ramah gender terkait bidadari surga. Yaitu pembacaan secara mubadalah. Pembacaan ini biasa kita sebut dengan istilah “Qira’ah Mubadalah”. Qira’ah Mubadalah merupakan model pembacaan teks agama yang ditawarkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir. Mubadalah memiliki prinsip untuk sama-sama mengakomodasi laki-laki dan perempuan sebagai subyek dalam teks.
Pembacaan narasi bidadari surga dalam Al-Qur’an secara mubadalah meniscayakan bahwa kata zawj atau azwaj tidak bermakna bidadari atau istri-istri. Tapi bermakna sebagai pasangan (secara umum). Perempuan dan laki-laki di surga sama-sama mendapat pasangan yang baik dan menyenangkan. Pemaknaan tersebut juga mendapat dukungan oleh tokoh mufasir Indonesia Quraish Shihab yang mengatakan bahwa kata “Hur’in” sebenarnya netral gender.
Sampai di sini, kita dapat melihat bahwa narasi bidadari surga yang terbangun oleh teks agama, seakan menjadi sumber polemik tersendiri, khususnya dalam prespektif perempuan. Lantas, apakah kita akan menyalahkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang bidadari surga sebagai problem? Atau jangan-jangan cara pandang kita sendirilah akar masalahnya. Penasaran dengan jawabannya? Tunggu tulisan saya berikutnya. (Bersambung)