Mubadalah.Id– Diskriminasi perempuan langkah mundur peradaban. Bupati Biereun, Aceh, Saifannur mengeluarkan edaran terkait standarisasi pelaksanaan syariat Islam untuk warung kopi, kafe dan restoran tertanggal 30 Agustus 2018. Dalam edaran tersebut ada 14 butir imbauan. Maka saya ingin menuliskan 3 hal terkait dengan perempuan.
Pertama, pekerja perempuan yang bekerja di kafe harus selesai pada pukul 21.00 WIB. Kedua, warung atau kafe tidak boleh melayani pelanggan perempuan di atas pukul 21.00 WIB, kecuali dengan muhrimnya. Ketiga, haram hukumnya laki-laki dan perempuan makan serta minum satu meja kecuali dengan muhrimnya.
Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Biereun Jufliwan mengatakan semua aturan itu dibuat untuk kemaslahatan perempuan, dan menjaganya dari pergaulan bebas.
Jujur, sampai hari ini saya masih penasaran, ketika mereka membuat sekian aturan itu adakah perempuan yang terlibat untuk menyusun draftnya?
Baca juga: Ketika Perempuan Selalu Salah
Saya perempuan, yang merasa sampai hari ini diberi banyak kebebasan dan keleluasan untuk bergerak ke mana saja, dan di mana saja. Seringkali ketika sedang ada pekerjaan di luar kota, saya berhenti di tengah jalan atau rest area untuk sekedar melepas penat perjalanan.
Situasi itu tak melihat waktu, kapan saja kami ingin beristirahat maka berhenti. Pernah di tengah malam, atau jelang dini hari. Pernah sendiri hanya bersama supir laki-laki yang itu bukan muhrim. Tetapi saya merasa aman dan biasa saja.
Bahkan bersama para supir truk yang berhenti di pom bensin Cikampek itu, sikap mereka juga biasa. Para pedagang di area pom bensin yang kebanyakan perempuan, juga bersikap biasa.
Tidak ada yang merasa terancam atau dihinakan. Lalu apakah makna kemaslahatan yang dimaksud dalam aturan pelaksanaan syariat Islam itu, sesuai dengan kemerdekaan bagi perempuan?
Baca juga: Ruang Publik yang Aman bagi Perempuan
Melansir catatan KH Husein Muhammad dalam buku ‘Ijtihad Kyai Husein’, bahwa memerdekakan perempuan dalam kehidupan manusia adalah dengan memberikan hak-hak sosial, ekonomi, budaya, politik tanpa pembatasan yang hanya disebabkan oleh identitas biologis.
Karena Islam dihadirkan Allah SWT untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, maka teks-teks keagamaan juga seharusnya ditafsirkan, dimaknai, dan diarahkan bagi kemerdekaan perempuan dari situasi ketertindasan.
Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi perempuan tidak justru melahirkan pembatasan terhadap gerak, aktualisasi dan ekspresi diri.
Dan saya telah merasakan nikmatnya kemerdekaan itu, sehingga berharap hal yang sama juga dialami oleh seluruh perempuan di manapun berada.
Baca juga: Nabi Mengapresiasi Perempuan Bekerja untuk Keluarga
Ada baiknya aturan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan ditinjau ulang. Ketika sudah melakukan pembatasan terhadap gerak perempuan, maka itu merupakan langkah mundur peradaban kemanusiaan.
Masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pemimpin untuk membangun bangsa ini, misal dengan membuat aturan yang lebih produktif seperti pengentasan kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan dan layanan fasilitas umum yang ramah perempuan dan anak.
Kami membutuhkan inovasi untuk memajukan negeri ini, bukan malah gerak perempuan yang dibatasi. Demikian diskriminasi perempuan langkah mundur peradaban. []