• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Fikih Haji Perempuan: Sebuah Pengalaman Pribadi

Saya mengalami bagaimana urutan rukun haji yang biasa kita ketahui (ihram, tawaf, sa’i, wukuf, tahallul) menjadi berantakan. Tapi ketidakteraturan itulah yang menjadi jalan keluar. Sungguh rahmat bukan?

Nur Kholilah Mannan Nur Kholilah Mannan
29/06/2022
in Featured, Hukum Syariat
0
Haji Perempuan

Haji Perempuan

840
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perempuan sangat unik, meski rumit. Saking uniknya ada sekian aturan dalam fikih yang hanya dipahami oleh yang berpengalaman. Seperti fikih haji perempuan, dulu saat belajar fikih haji tak begitu banyak terlintas kesulitan, sekedar mempelajari ada beragam pendapat tentang haji, utamanya pada muslim perempuan. Memang begitulah jika tak mengalami, berkuranglah empati.

Bulan haji 2018 lalu saya memperoleh rezeki ziarah Madinah lalu ke Makkah. Dalam 30 hari pertama perjalananku aman, tidak menstruasi karena sebelum berangkat atas persetujuan dokter saya diperbolehkan mengkonsumsi obat penunda haid. Sebulan pertama berhasil namun memasuki bulan kedua konsumsi obat, kebetulan mendekati hari Tarwiyah-Arafah mulai ada flek tanda permulaan menstruasi. Seakan bendungan darah menstruasi mulai jebol.

Menstruasi Saat Pelaksanaan Haji

Tentu saya panik, pelaksanaan haji tinggal menghitung hari, ibadah langka yang tidak ada jaminan untuk saya ulangi di tahun berikutnya. Tak ingin melewatkan rentetan ibadah istimewa, saya minta jamu herbal dari nenek-nenek yang berangkat dari satu kecamatan sama. Tapi hasilnya nihil, darah itu makin deras keluar.

Hasil konsultasi dengan dokter petugas haji kabupaten, saya disuruh berhenti minum obat dan membiarkan darah haid keluar dulu sampai pelaksanaan rukun haji yang mengharuskan suci dari hadas besar, Tawaf Ifadah di Masjidil Haram.

Kemudian dokter memberikan 2 macam obat penunda haid yang dosisnya lumayan tinggi, masing-masing berisi 3 tablet obat, satu hari satu kali. Pesannya, sekali minum 1 obat ini akan langsung mampat. Dan betul setelah 4 hari saya terpaksa menahan rindu bertemu kakbah padahal jarak hanya 2 KM. Tepatnya malam tanggal 9 Dzul Hijjah saya minum obat itu dan alhamdulillah malam dan hari Arafah saya bisa salat dan ibadah lainnya. Meski dokter tidak menganjurkan minum saat itu karena wukuf di Arafah tidak mengharuskan suci dari hadas besar.

Baca Juga:

Merawat Semangat Haji Sepanjang Hayat: Transformasi Spiritual yang Berkelanjutan

Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

Makna Wuquf di Arafah

Lagi-lagi pikirku, siapa yang rela melewatkan ibadah satu hari yang sebaik-baik doa adalah yang terpanjat di dalamnya? Hari istimewa yang hanya sekali dalam setahun? Tanpa menampik ibadah selain salat, naluriku juga ingin salat tasbih, salat taubat, membaca Alquran seperti yang pesan guru ngajiku. Tapi apalah daya ini pengalaman haji perempuan yang tak dapat terhindari.

Akibat ngeyel, obat itu habis sebelum tawaf ifadah dan sa’i, padahal dua rukun itu yang mengharuskan suci dari hadas besar. Akhirnya setelah semua rukun dan wajib haji saya jalani –kecuali tawaf dan sai- saya berusaha menenangkan diri, beristighfar, mencari jalan keluar yang absah dalam fikih dan tidak membahayakan tubuh saya –fyi, perut saya mulai terasa panas, kemungkinan karena dosis obat yang lumayan tinggi tadi-

Hikmah Pengalaman Haji Perempuan

Dalam kontemplasi itu saya menyadari betul hikmah tersajinya ragam pendapat yang menawarkan problem solving, jalan keluar yang tepat dengan situasi dan kondisi seorang muslim. Sebab situasi kondisi tiap muslim pasti berbeda. Seperti yang saya alami, urutan rukun haji yang biasa kita ketahui (ihram, tawaf, sa’i, wukuf, tahallul) menjadi berantakan. Tapi ketidakteraturan itulah yang menjadi jalan keluar. Sungguh rahmat bukan?

Dalam kasus saya saja ada beberapa klasifikasi. Jika jamaah haji perempuan belum melakukan tawaf ifadah (tawaf rukun) mengalami menstruasi maka kemungkinan beberapa keadaan;

Pertama, Jika bisa menetap di Makkah untuk beberapa hari sampai suci, maka dia bisa menunggu suci dan tawaf ifadah. Kedua, jika tidak memungkinkan menetap beberapa hari di Makkah untuk menunggu suci dari haid dan tawaf, misalnya karena dia berada dalam rombongan yang mengharuskan segera meninggalkan Makkah. Maka apakah perempuan itu boleh melaksanakan tawaf dalam keadaan haid? Ada ragam pendapat lagi dari para pakar fikih.

Ikhtilaf Fikih Haji Perempuan

Ketiga, perempuan yang sedang haid atau nifas haram melaksanakan tawaf. Penyampaian pendapat ini oleh ulama mazhab Syafii dan Hanbali. Oleh karenanya, bagi perempuan sarannya untuk segera tawaf menjaga kemungkinan datangnya haid. (Fiqh Sunnah. 1/631)

Keempat, perempuan itu boleh melakukan tawaf jika khawatir tidak bisa menyempurnakan rukun hajinya. Hanya saja kalangan ahli fikih berbeda pendapat tentang persyaratan suci (darah haid benar-benar berhenti), untuk melaksanakan tawaf dan membayar dam. Menurut pendapat Hanafi dan salah satu riwayat Ibn Hanbal bahwa tawafnya perempuan yang sedang haid adalah sah, meskipun darah haidnya belum berhenti.

Menurut pendapat Maliki, Hanbali dan sebagian Syafii, perempuan haid yang darah haidnya berhenti sementara sudah boleh melakukan tawaf, meski darahnya kembali keluar beberapa saat setelah tawaf. Jadi perempuan yang sedang haid dan tiba-tiba melihat darahnya berhenti hendaknya segera melaksanakan tawaf.

Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, perempuan yang tawaf ketika haid, baik saat itu darah masih keluar maupun berhenti sementara, tetap ada kewajiban membayar dam, yaitu menyembelih seekor unta atau sapi. (Ibadah Haji Perempuan. 116).

Kelima, Imam Nawawi berpendapat bahwa tawaf ifadah tidak ada batas akhir waktunya selama hidup, dan tidak wajib membayar dam karena dilambatkan (al-Majmu’. 161). Keenam, perempuan haid atau nifas tidak boleh tawaf. Jika haid di awal haji ia boleh melakukan rangkaian ibadah haji kecuali tawaf. Jika haid di akhir ibadah haji maka wajib menunggu sampai berhenti haid baru tawaf.

Perempuan boleh menggunakan obat penunda keluarnya darah haid untuk dapat mengerjakan tawaf ifadah berdasarkan riwayat, pada masa Umar ra minum obat penunda haid. Dan beliau berkata boleh dan tidak salah. (yas alunaka fi addīn wal hayāt)

Dan masih banyak pendapat lainnya, masih dalam fikih 4 mazhab, bahkan dalam satu mazhab Syafii minimal ada 2 pendapat. Seluruhnya adalah solusi/jalan keluar yang bebas terpilih jama’ah haji perempuan, dengan  pertimbangan situasi dan kondisi individu. Di fase ini saya benar-benar merasakan kasih sayang Tuhanku. []

 

 

Tags: Fikih PerempuanHaji 2022Hukum SyariatIbadah HajiRukun Islam
Nur Kholilah Mannan

Nur Kholilah Mannan

Terkait Posts

Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Perjalanan Thudong

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

30 April 2025
Nyai Fatmah Mawardi

Nyai Fatmah Mawardi, Mengurai Jejak Ulama Perempuan Madura

26 April 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID