Mubadalah.id – Belum lama ini diluncurkan, film Penyalin Cahaya, yang berhasil mengaduk emosi para pecinta film Indonesia. Diawali dengan adegan kesenian teater di sebuah kampus, film ini menampilkan alur cerita yang menegangkan pada adegan selanjutnya. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa cerdas, berkapasitas, multi talent, diberhentikan dari beasiswa karena dirinya menjadi korban kekerasan seksual.
Ialah Suryani, mahasiswi dari keluarga sederhana yang berusaha meraih mimpi melalui beasiswa dari perguruan tinggi. Keinginannya untuk mencari dan menangkap pelaku kekerasan seksual justru tidak mendapatkan dukungan dari keluarga intinya. Meskipun ibu Suryani percaya bahwa anaknya menjadi korban kekerasan seksual, namun dominasi kuasa ayah Suryani membuat Ibu Suryani tak bisa berbuat lebih. Kecuali hanya bisa memeluk dan menangis bersamaan karena kelemahan posisi mereka sebagai perempuan.
Demi Nama Baik dan Citra Lembaga, Begitu Alibinya
Tak hanya di Lembaga Pendidikan Tinggi sebagaimana yang dialami Suryani dalam Film Penyalin Cahaya, korban kekerasan seksual justru dituduh menjelekkan citra lembaga. Sebut saja kasus kekerasan seksual di UGM antara Agni dan HS yang “dipaksa” menempuh jalur damai dengan dalih menjaga nama baik lembaga. Bahkan Agni juga menerima ancaman kriminalisasi dan dinyatakan bahwa kasus yang dialaminya adalah tindakan asusila bukan pelecehan seksual. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47140598)
Belum lama ini, kasus pelecehan seksual di KPI juga berakhir dengan kisah yang menyayat hati. MS sang korban justru dinonaktifkan dari pekerjaan dan mendapat surat penertiban karena dianggap mencemarkan nama baik KPI. (https://megapolitan.kompas.com/read/2021/11/02/05150091/nasib-korban-pelecehan-seksual-kpi-dinonaktifkan-dan-dapat-surat?page=all).
Maka apa yang direpresentasikan oleh tokoh Suryani dalam Film Penyalin Cahaya adalah realitas menyedihkan di negara kita tercinta. Bagaimana korban pelecehan seksual justru mendapatkan stigma bahkan beban ganda. Menjadi korban kekerasan seksual adalah sebuah aib, dan tidak demikian dengan pelakunya. Pun jika identitas pelaku sudah ada di depan mata sekalipun, namun perbedaan kelas sosial membuat korban kekerasan seksual menjadi semakin terpojok.
Hal ini membuktikan bahwa meskipun Indonesia telah merumuskan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam sila ke 5 Pancasila, namun perbedaan kelas sosial sebagaimana analisis Max Weber masih mengakar kuat di Indonesia. Dimana tingkat kesempatan hidup, akses terhadap kekuasaan, akses pendidikan, dan akses untuk berpendapat di muka umum masih didominasi oleh masyarakat kelas atas.
Belum lagi, korban kekerasan seksual saat mulai speak up dan membeberkan kejahatan pelaku, berpotensi untuk dilemahkan secara struktural. Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, ia justru diancam dengan pasal pencemaran nama baik. Sebuah pasal karet yang banyak menguntungkan kalangan borjuis dan kalangan kerah putih (white collar crime).
Sebagaimana Suryani dengan segala bukti-bukti yang ia kumpulkan dengan sepenuh tenaga, justru mendapatkan sanksi pelanggaran kode etik Universitas. Ia diminta untuk membuat pernyataan permohonan maaf di depan publik, dan bersaksi bahwa selama ini tuduhan yang ditujukan kepada pelaku adalah sebuah kebohongan. Suryani adalah korban, yang dilemahkan, yang dikriminalisasi, yang didiskriminasi, oleh sebuah sistem sosial yang sangat tertata rapi.
Yang Dibutuhkan Korban adalah Dukungan dan Support System
Suryani mengalami fase yang disebut dengan betrayal trauma (Freyd, 2005). Yaitu suatu keadaan dimana ia mengalami trauma karena pengkhianatan dari individu dan atau lembaga tempat ia bergantung justru membahayakan dirinya dan bahkan membuat suatu kejahatan. Posisi Suryani dalam kelas sosial sangat lemah, berbeda dengan kondisi pelaku yang kuat baik secara finansial, peran, maupun strata sosial.
Semua pimpinan Universitas yang Suryani percaya mampu mengusut kejahatan seksual ternyata berpihak pada pelaku. Bahkan teman terdekat yang paling ia percaya sekalipun juga menjual foto dirinya pada pelaku kekerasan seksual. Harapan pupus, tak ada lagi yang bisa Suryani lakukan. Keadaan tidak berpihak pada dirinya untuk melanjutkan perjuangan menangkap pelaku.
Hingga datanglah para penyintas kekerasan seksual yang selama ini memilih untuk diam. Diam bukan karena menerima dirinya sebagai korban, namun diam karena tidak siap menerima stigmatisasi dan perlakukan diskriminatif sebagaimana dialami Suryani. Teman-teman Suryani sebagai sesama penyintas mengalami dilematis yang luar biasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Artidjo Alkostar berikut ini:
“Dalam kasus kekerasan seksual posisi perempuan selalu berada pada pihak yang dilematis, karena kalau menuntut melalui jalur hukum pidana mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit, juga dia merasa malu kalau terpublikasi atau diketahui oleh tetangga dan masyarakat banyak. Selain dari itu, sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan, jadi posisi perempuan tetap berada pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban”
Namun karena melihat effort dan kesungguhan Suryani dalam menguak kasus kekerasan seksual yang ia alami, penyintas lainnya memiliki kekuatan dan keberanian untuk menyuarakan hal yang sama. Tak hanya perempuan, laki-laki dalam Film Penyalin Cahaya juga menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan dan tindakan kriminal yang bisa menimpa siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.
Apa yang dilakukan oleh penyintas kekerasan seksual kepada Suryani adalah sebuah dukungan sosial. Dalam pandangan Sarafino (2011) dukungan sosial adalah sebuah bentuk penerimaan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap individu yang menimbulkan persepsi dalam diri bahwa ia disayangi, diperhatikan, dihargai, dan ditolong. Namun yang unik, dukungan sosial ini justru muncul pertama kali dari sesama. penyintas kekerasan seksual.
Menyadari pentingnya memperkuat dukungan sosial dalam mengungkap kasus kekerasan seksual, Suryani dan dua penyintas lainnya bersinergi mencari dukungan sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Feiring (2013) yang menyatakan bahwa dukungan yang diberikan kepada korban kekerasan seksual dapat membantu korban dalam menjalani pemulihan dan me-manage pengalaman traumatic secara bersamaan.
Jika Hukum Susah Ditegakkan, Mari Awali dengan Berdiri Bersama Korban
Dengan menggunakan mural, Suryani dan kedua penyintas lainnya berusaha memberi tahu seluruh civitas akademika bahwa kekerasan seksual itu ada dan nyata. Bahwa pelakunya bebas berkeliaran di lingkungan kampus, sedangkan para korban bergulat dengan rasa bersalah, rasa berdosa, rasa ketidak bernilaian, bahkan betrayal trauma. Sedangkan pihak petinggi lembaga hanya menyaksikan drama kekerasan seksual ini dengan pura-pura menutup mata.
Di akhir film, ditunjukkan bahwa dukungan sosial pada akhirnya mengalir deras pada perjuangan Suryani dan penyintas lainnya. Appraisal support, tangible support, informational support, dan emotional support terus berdatangan. Meskipun di waktu yang sama, pelaku masih tetap berkeliaran.
Pesan moral yang sangat mendalam disampaikan di akhir film Penyalin Cahaya. Bahwa jika memidanakan pelaku kekerasan seksual masih sangat sulit diwujudkan baik dari segi penegakan undang-undang, maupun penghapusan kelas, namun ada hal penting yang bisa dilakukan bersama-sama. Yaitu dengan berdiri di sisi korban, mendukung korban, dan memberikan support terbaik untuk korban. []