• Login
  • Register
Rabu, 8 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Film Penyalin Cahaya: Bukti Bahwa Korban Kekerasan Seksual Dilemahkan Secara Struktural

Ialah Suryani, mahasiswi dari keluarga sederhana yang berusaha meraih mimpi melalui beasiswa dari perguruan tinggi. Keinginannya untuk mencari dan menangkap pelaku kekerasan seksual justru tidak mendapatkan dukungan dari keluarga intinya

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
18/02/2022
in Film
0
Film

Film

240
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belum lama ini diluncurkan, film Penyalin Cahaya, yang berhasil mengaduk emosi para pecinta film Indonesia. Diawali dengan adegan kesenian teater di sebuah kampus, film ini menampilkan alur cerita yang menegangkan pada adegan selanjutnya. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa cerdas, berkapasitas, multi talent, diberhentikan dari beasiswa karena dirinya menjadi korban kekerasan seksual.

Ialah Suryani, mahasiswi dari keluarga sederhana yang berusaha meraih mimpi melalui beasiswa dari perguruan tinggi. Keinginannya untuk mencari dan menangkap pelaku kekerasan seksual justru tidak mendapatkan dukungan dari keluarga intinya. Meskipun ibu Suryani percaya bahwa anaknya menjadi korban kekerasan seksual, namun dominasi kuasa ayah Suryani membuat Ibu Suryani tak bisa berbuat lebih. Kecuali hanya bisa memeluk dan menangis bersamaan karena kelemahan posisi mereka sebagai perempuan.

Demi Nama Baik dan Citra Lembaga, Begitu Alibinya

Tak hanya di Lembaga Pendidikan Tinggi sebagaimana yang dialami Suryani dalam Film Penyalin Cahaya, korban kekerasan seksual justru dituduh menjelekkan citra lembaga. Sebut saja kasus kekerasan seksual di UGM antara Agni dan HS yang “dipaksa” menempuh jalur damai dengan dalih menjaga nama baik lembaga. Bahkan Agni juga menerima ancaman kriminalisasi dan dinyatakan bahwa kasus yang dialaminya adalah tindakan asusila bukan pelecehan seksual.  (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47140598)

Belum lama ini, kasus pelecehan seksual di KPI juga berakhir dengan kisah yang menyayat hati. MS sang korban justru dinonaktifkan dari pekerjaan dan mendapat surat penertiban karena dianggap mencemarkan nama baik KPI. (https://megapolitan.kompas.com/read/2021/11/02/05150091/nasib-korban-pelecehan-seksual-kpi-dinonaktifkan-dan-dapat-surat?page=all).

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan
  • Emak, Ijah tak Ingin Menikah
  • Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual
  • Sosok Nyai Hj. Hindun Anisah; Sosok Ulama Perempuan

Baca Juga:

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

Emak, Ijah tak Ingin Menikah

Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual

Sosok Nyai Hj. Hindun Anisah; Sosok Ulama Perempuan

Maka apa yang direpresentasikan oleh tokoh Suryani dalam Film Penyalin Cahaya adalah realitas menyedihkan di negara kita tercinta. Bagaimana korban pelecehan seksual justru mendapatkan stigma bahkan beban ganda. Menjadi korban kekerasan seksual adalah sebuah aib, dan tidak demikian dengan pelakunya. Pun jika identitas pelaku sudah ada di depan mata sekalipun, namun perbedaan kelas sosial membuat korban kekerasan seksual menjadi semakin terpojok.

Hal ini membuktikan bahwa meskipun Indonesia telah merumuskan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam sila ke 5 Pancasila, namun perbedaan kelas sosial sebagaimana analisis Max Weber masih mengakar kuat di Indonesia. Dimana tingkat kesempatan hidup, akses terhadap kekuasaan, akses pendidikan, dan akses untuk berpendapat di muka umum masih didominasi oleh masyarakat kelas atas.

Belum lagi, korban kekerasan seksual saat mulai speak up dan membeberkan kejahatan pelaku, berpotensi untuk dilemahkan secara struktural. Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, ia justru diancam dengan pasal pencemaran nama baik. Sebuah pasal karet yang banyak menguntungkan kalangan borjuis dan kalangan kerah putih (white collar crime).

Sebagaimana Suryani dengan segala bukti-bukti yang ia kumpulkan dengan sepenuh tenaga, justru mendapatkan sanksi pelanggaran kode etik Universitas. Ia diminta untuk membuat pernyataan permohonan maaf di depan publik, dan bersaksi bahwa selama ini tuduhan yang ditujukan kepada pelaku adalah sebuah kebohongan. Suryani adalah korban, yang dilemahkan, yang dikriminalisasi, yang didiskriminasi, oleh sebuah sistem sosial yang sangat tertata rapi.

Yang Dibutuhkan Korban adalah Dukungan dan Support System

Suryani mengalami fase yang disebut dengan betrayal trauma (Freyd, 2005). Yaitu suatu keadaan dimana ia mengalami trauma karena pengkhianatan dari individu dan atau lembaga tempat ia bergantung justru membahayakan dirinya dan bahkan membuat suatu kejahatan. Posisi Suryani dalam kelas sosial sangat lemah, berbeda dengan kondisi pelaku yang kuat baik secara finansial, peran, maupun strata sosial.

Semua pimpinan Universitas yang Suryani percaya mampu mengusut kejahatan seksual ternyata berpihak pada pelaku. Bahkan teman terdekat yang paling ia percaya sekalipun juga menjual foto dirinya pada pelaku kekerasan seksual. Harapan pupus, tak ada lagi yang bisa Suryani lakukan. Keadaan tidak berpihak pada dirinya untuk melanjutkan perjuangan menangkap pelaku.

Hingga datanglah para penyintas kekerasan seksual yang selama ini memilih untuk diam. Diam bukan karena menerima dirinya sebagai korban, namun diam karena tidak siap menerima stigmatisasi dan perlakukan diskriminatif sebagaimana dialami Suryani. Teman-teman Suryani sebagai sesama penyintas mengalami dilematis yang luar biasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Artidjo Alkostar berikut ini:

“Dalam kasus kekerasan seksual posisi perempuan selalu berada pada pihak yang dilematis, karena kalau menuntut melalui jalur hukum pidana mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit, juga dia merasa malu kalau terpublikasi atau diketahui oleh tetangga dan masyarakat banyak. Selain dari itu, sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan, jadi posisi perempuan tetap berada pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban”

Namun karena melihat effort dan kesungguhan Suryani dalam menguak kasus kekerasan seksual yang ia alami, penyintas lainnya memiliki kekuatan dan keberanian untuk menyuarakan hal yang sama. Tak hanya perempuan, laki-laki dalam Film Penyalin Cahaya juga menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan dan tindakan kriminal yang bisa menimpa siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.

Apa yang dilakukan oleh penyintas kekerasan seksual kepada Suryani adalah sebuah dukungan sosial. Dalam pandangan Sarafino (2011) dukungan sosial adalah sebuah bentuk penerimaan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap individu yang menimbulkan persepsi dalam diri bahwa ia disayangi, diperhatikan, dihargai, dan ditolong. Namun yang unik, dukungan sosial ini justru muncul pertama kali dari sesama. penyintas kekerasan seksual.

Menyadari pentingnya memperkuat dukungan sosial dalam mengungkap kasus kekerasan seksual, Suryani dan dua penyintas lainnya bersinergi mencari dukungan sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Feiring (2013) yang menyatakan bahwa dukungan yang diberikan kepada korban kekerasan seksual dapat membantu korban dalam menjalani pemulihan dan me-manage pengalaman traumatic secara bersamaan.

Jika Hukum Susah Ditegakkan, Mari Awali dengan Berdiri Bersama Korban

Dengan menggunakan mural, Suryani dan kedua penyintas lainnya berusaha memberi tahu seluruh civitas akademika bahwa kekerasan seksual itu ada dan nyata. Bahwa pelakunya bebas berkeliaran di lingkungan kampus, sedangkan para korban bergulat dengan rasa bersalah, rasa berdosa, rasa ketidak bernilaian, bahkan betrayal trauma. Sedangkan pihak petinggi lembaga hanya menyaksikan drama kekerasan seksual ini dengan pura-pura menutup mata.

Di akhir film, ditunjukkan bahwa dukungan sosial pada akhirnya mengalir deras pada perjuangan Suryani dan penyintas lainnya. Appraisal support, tangible support, informational support, dan emotional support terus berdatangan. Meskipun di waktu yang sama, pelaku masih tetap berkeliaran.

Pesan moral yang sangat mendalam disampaikan di akhir film Penyalin Cahaya. Bahwa jika memidanakan pelaku kekerasan seksual masih sangat sulit diwujudkan baik dari segi penegakan undang-undang, maupun penghapusan kelas, namun ada hal penting yang bisa dilakukan bersama-sama. Yaitu dengan berdiri di sisi korban, mendukung korban, dan memberikan support terbaik untuk korban. []

 

 

 

Tags: Film IndonesiaFilm Penyalin CahayaKekerasan seksual
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Film Noktah Merah Perkawinan

Melihat Relasi Pernikahan Menurut Buya Hamka dalam Film Noktah Merah Perkawinan

6 Februari 2023
Film Troll

Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

1 Februari 2023
Film Gangubai Kathiawadi

Film Gangubai Kathiawadi: Siapapun Bisa Menjadi Pembela Hak Perempuan

17 Januari 2023
Cek Toko Sebelah 2

Review Film Cek Toko Sebelah 2: Makna Hubungan Orangtua-Anak

12 Januari 2023
Relasi Mubadalah

3 Potret Relasi Mubadalah dalam Film Enola Holmes 2

26 Desember 2022
Film Dokumenter

Film Dokumenter Muda Buka Suara: Upaya Mendokumentasikan Rahim Alam Melalui Suara Marginal

22 Desember 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Childfree

    Childfree: Hukum, Dalil, dan Penjelasannya dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Party Pooper, Melihat Perilaku Para YouTuber

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lagu We Will Rock You dalam Satu Abad NU

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Muhammad Saw Memuji Orang Kafir Karena Karyanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Umm Hisyam Ra Menghafal Al-Qur’an Langsung dari Lisan Nabi Saw

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bagaimana Hukum Suami Mengasuh Anak?
  • Kampung Adat Kranggan, Masih Eksis di Pinggiran Ibu Kota
  • Umm Hisyam Ra Menghafal Al-Qur’an Langsung dari Lisan Nabi Saw
  • Mengenal Party Pooper, Melihat Perilaku Para YouTuber
  • Kisah Saat Nabi Muhammad Saw Memuji Orang Kafir Karena Karyanya

Komentar Terbaru

  • Pemikiran Keislaman di Malaysia dan Indonesia pada 6 Tips Berdakwah Ala Nyai Awanilah Amva
  • Menghidupkan Kembali Sikap Saling Melindungi pada Impak Islamisasi di Malaysia: Tudung sebagai Identiti Muslimah Sejati dan Isu Pengawalan Moraliti Perempuan
  • Harapan Lama kepada Menteri PPPA Baru - Mubadalah pada Budaya Patriarki Picu Perempuan Jadi Mayoritas Korban Kekerasan Seksual
  • Menjadi Perempuan Pembaru, Teguhkan Tauhid dalam Kehidupan pada Bagaimana Hukum Menggunakan Pakaian Hingga di Bawah Mata Kaki?
  • Wafatnya Mbah Moen Juga Dirasakan Semua Umat Beragama - Mubadalah pada Fahmina Institute Terapkan Prinsip Mubadalah dalam Organisasi
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist