• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kim Soo Hyun, Relasi Kuasa, dan Luka Child Grooming yang Tak Terlihat

Cinta yang sehat lahir dari relasi yang setara, bukan hasil manipulasi atau eksploitasi.

Fatwa Amalia Fatwa Amalia
17/03/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Kim Soo Hyun

Kim Soo Hyun

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial ramai membahas dugaan hubungan antara aktor terkenal Korea Selatan, Kim Soo Hyun, dan aktris Kim Sae Ron. Kabarnya, mereka menjalin kedekatan saat Kim Sae Ron masih berusia 15 tahun, sementara Kim Soo Hyun sudah 27 tahun. Bedanya 12 tahun.

Banyak yang syok, termasuk saya. Sebagai guru, tentu hal ini membuat saya teringat dengan anak-anak remaja saya di sekolah. Saya pikir semua geram ketika mendengar kasus ini. Tapi ternyata banyak juga yang santai aja. Ada yang komentar, “Selama suka sama suka, kenapa enggak?” atau “Kalau udah direstui keluarga, sah-sah aja kan?”

Nah, justru di sinilah masalahnya. Ketika kita menormalisasi hubungan seperti ini, kita sedang menutup mata dari fakta bahwa relasi kuasa yang timpang tidak bisa disebut cinta. Ini namanya child grooming. Fenomena yang kelihatannya cinta-cintaan, padahal sebenarnya ada proses manipulasi tersembunyi yang merugikan anak-anak.

Apa Itu Child Grooming?

Child grooming adalah proses manipulatif ketika orang dewasa menjalin hubungan dekat dengan anak atau remaja, dengan tujuan mengeksploitasi mereka, baik secara emosional, psikologis, atau seksual. Relasi semacam ini sering dimulai dari rayuan lembut, pemberian perhatian, hadiah, sampai akhirnya menciptakan ketergantungan emosional pada si anak. Dari luar tampak seperti kasih sayang, padahal ini cara pelaku untuk menundukkan korban.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), child grooming menjadi pintu masuk bagi kekerasan seksual terhadap anak. Masalahnya, prosesnya halus sekali, korban sering tidak sadar sedang dimanipulasi, bahkan setelah mereka dewasa.

Baca Juga:

Perkosaan: Kekerasan Seksual yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Di dalam relasi grooming, ada yang disebut relasi kuasa. Ini bukan sekadar hubungan antara dua orang yang saling suka. Ini soal siapa yang lebih berkuasa, siapa yang lebih rentan. Anak-anak dan remaja berada dalam posisi rentan karena secara psikologis, mereka belum punya kapasitas penuh untuk membuat keputusan yang matang.

Pelaku grooming biasanya memiliki kontrol lebih karena usia, pengalaman, dan status sosial. Mereka memanfaatkan kerentanan korban untuk mendapatkan kepercayaan, lalu mengontrol mereka secara emosional.

Kalau kita lihat kasus Kim Soo Hyun dan Sae Ron ini, dia berasal dari keluarga broken home, jadi tulang punggung sejak kecil, dan berada di industri hiburan yang keras. Siapa pun yang hadir dan memberi rasa aman pasti mudah mendapatkan kepercayaannya. Apalagi kalau yang datang adalah figur terkenal dengan kekuasaan besar seperti Kim Soo Hyun.

Di Indonesia, pemahaman tentang usia dalam hubungan seringkali kabur. Banyak yang masih berpikir, “Kalau saling suka, nggak masalah.” Padahal, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, anak di bawah usia 18 tahun tetap dilindungi, meskipun mereka merasa menyetujui sebuah hubungan.

Relasi seksual antara orang dewasa dan anak di bawah umur selalu berada dalam ketimpangan kuasa. Anak belum memahami sepenuhnya dampak emosional dan sosial dari relasi tersebut. Maka, kata suka sama suka tidak cukup untuk melegalkan situasi ini.

Luka Child Grooming yang Tidak Terlihat

Grooming bukan proses instan. Ada tahap-tahap yang perlahan membuat korban merasa terikat: Biasanya pelaku mencari korban anak yang sedang rapuh kesepian, broken home, atau kurang perhatian dengan cara membangun kedekatan.

Pelaku jadi sahabat, membari hadiah, perhatian lebih. Kemudian menanamkan kepercayaan terhadap korban sehingga korban merasa nyaman dan aman, lalu percaya sepenuhnya. Setelah itu pelaku biasanya menciptakan rahasia dengan cara membujuk korban untuk tidak bercerita kepada siapa-siapa. Endingnya, korban dijauhkan dari teman atau keluarga.

Hal ini yang bikin korban susah bilang tidak. Mereka merasa utang budi, takut, bahkan merasa hubungan itu satu-satunya tempat mereka merasa aman. Dampak grooming tidak terlihat di awal. Tapi banyak korban yang, setelah bertahun-tahun, mengalami trauma berat. Korban grooming sering mengalami depresi berkepanjangan, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder, kesulitan membangun relasi sehat, perasaan bersalah dan malu berlebihan, bahkan kecenderungan melukai diri sendiri.

Kita juga bisa lihat dari kasus di industri hiburan Korea. Kim Sae Ron menghadapi kecanduan alkohol, masalah hukum, dan tekanan mental berat. Mirip dengan cerita tragis Sulli dan Goo Hara yang semasa hidupnya diselimuti tekanan patriarki, eksploitasi, dan penghakiman publik.

Budaya Patriarki dan Normalisasi Kekerasan di Industri Hiburan

Indonesia juga punya PR besar dalam hal ini. Industri hiburan di banyak negara, termasuk Indonesia, sering kali menempatkan anak-anak dalam situasi rawan eksploitasi. Relasi kuasa yang timpang dibungkus dengan narasi romantis atau karier cemerlang. Akibatnya, publik lebih mudah menyalahkan korban ketimbang melihat struktur yang membuat korban jadi rentan.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, Stop Normalisasi: Hentikan komentar seperti “Yang penting suka sama suka” atau “Sudah dewasa kok.” Kedua, Lindungi Anak dari Relasi Timpang: Orang tua, guru, dan masyarakat harus paham tanda-tanda grooming.

Ketiga, Edukasi Seksualitas Sehat dan Relasi Setara: Jangan cuma mengajarkan kepada anak “jangan pacaran”, tapi ajarkan keapda mereka tentang batasan sehat, relasi aman, dan hak atas tubuh sendiri. Keempat, Dukung Korban: Jangan salahkan korban. Percaya dan dengarkan cerita mereka. Korban butuh ruang aman, bukan vonis.”

Cinta yang sehat lahir dari relasi yang setara, bukan hasil manipulasi atau eksploitasi. Kalau relasinya timpang, kalau satu pihak masih anak-anak yang rentan, itu bukan cinta, itu kekerasan. Anak-anak adalah investasi masa depan. Bila masa kecil mereka rusak, kita sedang menghancurkan masa depan bangsa.

Oleh sebab itu, yuk lebih peka. Jangan asal membela cinta beda usia tanpa melihat siapa yang lebih berkuasa. Karena pada akhirnya, luka grooming itu nyata, jangan sampai anak-anak kita terjerembab ke dalamnya. []

Tags: Child GroomingKekerasan seksualKim Sae RonKim Soo HyunKorea Selatan
Fatwa Amalia

Fatwa Amalia

Fatwa Amalia, pengajar juga perempuan seniman asal Gresik Jawa Timur. Karya-karyanya banyak dituangkan dalam komik dan ilustrasi digital dengan fokus isu-isu perempuan dan anak @komikperempuan. Aktif di sosial media instagram: @fatwaamalia_r. Mencintai buku dan anak-anak seperti mencintai Ibu.

Terkait Posts

COC

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

18 Juli 2025
Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

18 Juli 2025
Sirkus

Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

17 Juli 2025
Disabilitas dan Kemiskinan

Disabilitas dan Kemiskinan adalah Siklus Setan, Kok Bisa? 

17 Juli 2025
Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Zakat Profesi

Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

16 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID