Mubadalah.id – Film Semesta merupakan besutan apik Nicholas Saputra , salah satu aktor Indonesia yang pernah dikenal lewat Film “Ada Apa dengan Cinta” yang melegenda di zamannya. Film ini diproduksi pada 2018, namun tetap relevan hingga kini, dan menjadi bagian dari kampanye tentang kepedulian terhadap alam semesta, bagaimana merawatnya hingga terus berkelanjutan, dan bisa dinikmati oleh anak cucu hingga bertahun-tahun kemudian. Film ini berkisah tentang tujuh orang, yang berjuang menyelamatkan ekosistem kehidupan dengan caranya masing-masing.
Pertama, Tjokorda Raka Kerthyasa seorang tokoh budaya dari Ubud Bali, di mana masyarakat Bali hingga hari ini merayakan Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Sebagaimana tubuh manusia yang memerlukan tidur untuk mengembalikan kebugaran, dan juga kesehatan. Begitu pula dengan alam semesta. Dengan tidak menggunakan listrik, dan kendaraan bermotor selama 24 jam saat Hari Raya Nyepi itu, Bali telah berkontribusi mengurangi gas emisi di dunia.
Kedua, Agustinus Paus Inam, seorang kepala dusun Sungai Utik Kalimantan Barat, yang memastikan pentingnya penduduk desa memahami dan mengikuti langkah tata cara adat untuk melindungi dan melestarikan hutan. Di sana ada kesepakatan, hanya boleh menebang 3 pohon selama satu tahun, dan itu benar-benar harus jelas peruntukannya untuk apa. Mereka belajar dari desa tetangga yang mengalami illegal logging, sehingga hutan habis dan akhirnya kehilangan pangan serta air yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Ketiga, Romo Marselus Hasan, seorang pemimpin agama Katolik di Bea Moring NTT. Secara mandiri, Romo mendorong masyarakat untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk mengurangi emisi berbahaya yang keluar dari generator.
Yang menarik dalam cerita film ini, Romo menggunakan metode partisipatif, yakni melibatkan semua elemen masyarakat tanpa kecuali, membicarakannya bersama dan mendengarkan setiap usulan bahkan dari seorang perempuan. Pun ketika bergotong royong, laki-laki dan perempuan disetarakan, saling bekerjasama membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro itu.
Keempat, Alimina Kacili, seorang Mama dari kelompok wanita gereja Kapatcol Papua Barat, yang memiliki aturan sasi, yakni sebuah tradisi kearifan lokal yang melindungi wilayahnya dari eksplorasi, terutama oleh nelayan yang menggunakan peralatan ilegal. Meski pendeta berjenis kelamin laki-laki, tapi Mama dan komunitasnya diberi peran penting, dan strategis untuk menjaga dan melindungi ekosistem laut.
Bahkan mereka mampu menyelam hingga ke dasar laut, mengambil biota laut sesuai kebutuhan, dan mengembalikan jika ukurannya masih dianggap kecil. Sungguh, di adegan film ini ada suguhan pemandangan laut yang luar biasa. Kekayaan alam Indonesia yang tiada tara.
Kelima, Muhammad Yusuf Imam, seorang imam di desa Pameu Aceh, yang berupaya mengingatkan penduduk setempat, bahwa penebangan hutan merupakan salah satu faktor yang mempercepat terjadinya pemanasan global dan berdampak pada kerusakan habitat alam gajah liar. Yang unik, ketika masyarakat desa menggelar kenduri doa bersama tolak bala, bencana dan musibah. Sang imam berdoa dengan bahasa arab, dan penyebutan nama gajah dalam doa tetap “gajah”, bukan “fil” , yang dalam bahasa arab artinya gajah.
Keenam, Iskandar Waworuntu, yang berkomitmen untuk menjalani praktik “thayyib” bersama keluarganya yang bermukim di Jogja. Ia menggunakan ilmu permakultur untuk berkebun dan berhubungan kembali dengan alam, serta mengajarkannya kepada siapa saja yang tertarik. Dalam penjelasannya, Iskandar menyebutkan “hijrah”, yang dimaknai dengan memperbaiki hubungan manusia dengan alam semesta, dan bagaimana memperlakukan tubuh sebagai cerminan bersikap terhadap bumi.
Bahkan makna permakultur juga ada unsur kesalingan, atau mubadalah. Yakni, memperlakukan semesta sebagaimana ekosistem berjalan selama ini. Jika baik, maka akan baik pula seluruh sistem kehidupan yang berjalan nanti.
Terakhir, Surya Cassandra, petani kota pendiri Kebun Kumara Jakarta. Ia melakukan kampanye prinsip belajar dari alam yang secara kreatif mengubah tanah di kota menjadi hijau kembali. Dari seluruh kisah ke tujuh pejuang di Film Semesta di atas, semuanya melibatkan perempuan, baik sebagai tokoh kunci dan strategis, maupun partisipan aktif.
Pelibatan perempuan menjadi penting, karena bersama laki-laki saling bekerjasama menjaga amanah sebagai khalifah fil ardi, menjaga, merawat dan melindungi bumi dari kerusakan serta efek pemanasan global yang mengancam ekosistem kehidupan di dunia. []