Mubadalah.id – Berbicara perubahan iklim tentunya tidak hanya berdampak untuk alam saja, namun juga bagaimana kehidupan manusia dan berbagai hak asasinya. Perubahan iklim dan ancaman yang muncul bisa menjadi mimpi buruk bagi dunia. Lagi-lagi sebenarnya penyebab utama adalah perilaku kebiasaan dan keputusan keputusan hidup manusia. Kita membutuhkan anak muda untuk menghadapi ancaman ini.
Misalnya saja peristiwa yang terjadi di tahun 2019 lalu yakni terjadinya kebakaran hutan dengan kerugian yang muncul sebanyak 4.000 km lahan terbakar, 709 juta ton karbon dioksida terlepas ke atmosfer, 900.000 orang terganggu pernapasannya serta aktivitas masyarakat menjadi terganggu akibat paparan asap dan kabut pembakaran.
Masalah sampah juga menjadi pekerjaan rumah yang besar. Total sampah nasional pada tahun 2021 akan menjadi 68,5 juta ton. Dengan rincian sampah plastik menyumbang 16% dari total sampah, atau setara dengan 11,6 juta ton. Mengutip dari data Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) 2021. Pentingnya untuk segera menyelesaikan masalah perubahan iklim yang sistemik.
Dampaknya pada HAM
Menghilangkan penggunaan sedotan, botol minum, dan kantong plastik tidak akan cukup untuk menyelesaikan masalah ini. Semua kalangan khususnya anak muda harus memulai membangun diskusi tentang bagaimana kota dapat membantu mengatasi krisis iklim dan meningkatkan ketahanan mereka terhadap perubahan iklim.
Selain itu dapat juga kita kemas dengan mengundang semua pemangku kepentingan untuk duduk bersama agar berbagi dan mendiskusikan perubahan iklim. Kemudian dapat membahasnya dalam Special Session di World Human Rights Cities Forum (WHRCF).
Sejak tahun 2011, WHRCF telah menjadi tempat berkumpul untuk berbagi semangat keadilan dan komunitas, nilai-nilai yang sama terhadap penegakan hak asasi manusia di tingkat lokal. WHRCF tahun ini diadakan di Gwangju, Korea Selatan pada Oktober 2022 ini.
Apa saja yang dibahas di sana di antaranya yaitu inisiatif pemerintah terhadap peningkatan perubahan iklim dan update implementasinya di Indonesia, peran dan pengalaman pemerintah kota dalam menghadapi perubahan iklim, inisiatif pemerintah dalam membahas ketahanan perubahan iklim, akses kesehatan lingkungan untuk pemenuhan HAM dan mitigasi perubahan iklim serta pengalaman dan rekomendasi untuk membangun ketahanan perubahan iklim oleh generasi muda.
Kita Membutuhkan UU Perubahan Iklim
Indonesia sangat membutuhkan undang-undang perubahan iklim sebagai salah satu upaya untuk mendorong keadilan iklim. Sebab perubahan iklim akan membawa dampak signifikan terhadap kondisi masyarakat, bahkan mengganggu kedaulatan negara.
Di level nasional kita belum mempunyai satu undang-undang yang berbicara mengenai keadilan iklim. Kita perlu mendorong hal ini agar menjadi satu gerakan bersama untuk ke depannya. Perkembangan diskursus keadilan sosial kini semakin mendapat perhatian besar oleh publik. Hal tersebut bisa dianggap sebagai kemenangan kecil dari gerakan sosial di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Tentunya hal ini menjadi sinyal penting bagi kita untuk melanjutkan kembali dan memperkuat gerakan keadilan iklim menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Fenomena perubahan iklim yang kini sedang terjadi telah memberikan dampak signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi, hingga kedaulatan negara.
Kenaikan permukaan air laut dapat menenggelamkan kawasan pesisir yang terhuni oleh sekitar 60 persen penduduknya. Kondisi itu dapat mengancam kedaulatan negara. Karena Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan.
Analisa Krisis Iklim
Analisis terbaru yang menyatakan krisis iklim telah mendorong dunia ke ambang titik kritis bencana. Temuan ilmuwan mengungkapkan bahwa terdapat lima titik kritis yang berbahaya yang mungkin telah terjadi karena pemanasan global 1,1 Celcius akibat aktivitas manusia.
Ini termasuk kolapsnya lapisan es Greenland, yang akhirnya menghasilkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan, runtuhnya arus utama di Atlantik Utara yang mengganggu curah hujan di tempat miliaran orang bergantung pada makanan, serta mencairnya lapisan es yang kaya dengan karbon secara tiba-tiba. Pada pemanasan 1,5 Celcius, kenaikan minimum yang kita prediksi akan terjadi dan empat dari lima titik kritis ini semakin mungkin.
Menurut analisis tersebut, pada 1,5 Celcius lima titik kritis tambahan menjadi mungkin. Termasuk perubahan hutan utara yang luas dan hilangnya hampir semua gletser gunung di dunia. Secara total, para ilmuwan menemukan bukti untuk 16 titik kritis tersebut. Di antaranya ada enam yang terpicu oleh pemanasan global yang setidaknya pada 2 Celcius.
Titik kritis ini akan berlaku pada rentang waktu yang bervariasi dari beberapa tahun hingga berabad-abad. Prof. Johan Rockström, direktur Postdam Institute for Climate Impact Research, serta bagian dari studi tersebut mengatakan dunia sedang menuju pemanasan global 2-3 Celcius.
Ini menjadikan bumi berada di jalur yang melintasi beberapa titik kritis berbahaya bagi orang-orang di seluruh dunia. Untuk mempertahankan kondisi layak huni di bumi dan memungkinkan masyarakat yang stabil, maka kita harus melakukan segala kemungkinan untuk mencegah persimpangan titik kritis.
Saatnya Suara Anak Muda Didengar
Perempuan dan anak muda sering kita nilai paling rentan terkena dampak krisis iklim. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini disebabkan oleh ketidaksetaraan gender, sehingga menyebabkan terbatasnya akses dan hak-hak formal kelompok tertentu, seperti perempuan dan anak muda.
Di berbagai wilayah di dunia perempuan memegang peranan tradisional sebagai penyedia utama pangan dan bahan bakar di keluarga maupun komunitasnya. Jika banjir atau kekeringan terjadi, PBB memperkirakan 80% dari yang terlantar merupakan perempuan.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 mencatat setidaknya terdapat 9,9 juta rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan dan terancam dampak negatif dari bencana alam. Gracia Paramitha, pengamat politik perubahan iklim dan akademisi di London School of Public Relation, mengatakan bahwa posisi tersebut membuat perempuan berkepentingan menjadi agen perubahan.
Sudah saatnya kita mengubah pola pikir tentang perempuan sebagai objek atau korban (krisis iklim) semata. Sudah saatnya perempuan kita beri ruang, apresiasi serta kita tingkatkan lagi kapasitasnya.
Pemberdayaan perempuan diakui dalam Kesepakatan Paris 2015. Di mana secara spesifik menyebutkan kebutuhan global agar meningkatkan kapasitas perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai iklim. Perempuan harus memiliki peran yang signifikan dan dapat menjadi agen perubahan dalam menghadapi perubahan iklim. Saat ini gerakan iklim dan lingkungan didominasi oleh perempuan dan anak muda.
Kita bisa melihat nama-nama anak-anak muda yang populer dunia internasional seperti Greta Thunberg (inisiator kampanye School Strike for Climate dari Swedia), ada Vanessa Nakate (aktivis keadilan iklim dari Uganda), hingga Aeshnina Azzahra dari Gresik, Indonesia yang mengkampanyekan krisis iklim dan keadilan lingkungan. []