Mubadalah.id – Khazanah dunia pesantren hari ini sedang riuh dengan kehadiran film Hati Suhita, film yang teradaptasi dari novel best seller karya Ning Hilma Anis, novelis yang lahir dan dibesarkan dari Rahim pesantren.
Kehadiran film ini mendapat antusias yang tinggi dari komunitas pesantren, dan kelahirannya seolah menjadi anak kandung sastra pesantren yang sangat kita gadang-gadang. Boleh kita katakan kekuatan terbesar film ini adalah pada novelnya itu sendiri yang kelahiranya pun sudah menjadi oase di dunia pesantren.
Pesantren cukup sering diangkat sebagai tema atau latar sebuah film. Akan tetapi alih-alih mewakili suara komunitas pesantren justru masyarakat pesantren acapkali merasai ternodai karena jauh dari nilai dan kultur pesantren. Kekayaan film ini karena Ning Hilma Anis menggarap novelnya dengan perspektif emic.
Di mana pesantren ia deskripsikan menggunakan bahasa dan cara pandang yang selama ini penulis rasakan dan alami. Prespektif emic sering disebut juga perspektif orang dalam, perspektif yang berasal dari dalam budaya tersebut berkembang.
Alhasil, sentuhan inilah yang kemudian membuat banyak pembaca khususnya dari komunitas pesantren menemukan cermin dirinya. Begitu pula pada salah satu tema yang muncul dalam film ini, yaitu tentang perjodohan.
Tafsir Perempuan Pesantren
Baik novel atu film ini seolah hadir menjadi tafsir perempuan pesantren atas tradisi perjodohan yang sudah mengakar di pesantren. Bagi perempuan pesantren, kata perjodohan bukan sesuatu yang asing lagi, ia seperti darah yang mengalir menjadi takdir yang harus ia jalani.
Perempuan pesantren secara biologis lahir membawa takdir sebagai penerus tradisi kepesantrenan. Di mana pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah lembaga keagamaan yang bukan saja berfungsi sebagai Lembaga Pendidikan tetapi Lembaga dakwah keislaman kepada masyarakat luas.
Dan seorang Ning (sebutan untuk anak kyai) dalam realitasnya, adalah perempuan pesantren yang harus siap menerima perjodohan untuk tugas-tugas regeneratif pesantren.
Kehadiran Hati Suhita seperti menjadi rujukan tafsir perjodohan bagi banyak perempuan pesantren. Seperti menjadi sauh bagi merek ang memiliki kisah cinta yang dimuqodimahi oleh perjodohan. Meski demikian perjodohan dalam Hati Suhita ia bawakan secara lebih real dan tidak terkesan klise.
Menafsir Takdir Perjodohan
Film ini berkisah tentang bagaimana perempuan pesantren yang menafsir takdir perjodohan bukan sebagai kiamat tetapi sebagai pintu hidmat. Sebagai medan juang penuh dedikasi yang mengukuhkannya sebagai perempuan terhormat. Dan Alina Suhita adalah mereka, para perempuan pesantren yang dengan penuh keteguhan mampu menaklukan perjuangannya.
Alina adalah mereka perempuan pesantren, yang tetap kuat memperjuangkan pernikahannya meski penuh drama. Alina Suhita memberi pengajaran bahwa kesabaran akan membawa kemenangan, sehingga Ia berhasil menjadi pengabsah Wongso, pemimpin pesantren yang membawa nilai-nilai keterbukaan dan kesetaraan perempuan, tetapi juga mampu menaklukan takdir jodohnya, sebagai takdir cintanya.
Di era keterbukaan, perjodohan seringkali kita pandang secara nyinyir. Alih-alih sebagai pilihan tahapan pernikahan, ia dianggap kuno dan hanya akan membawa keburukan dalam pernikahan.
Dari Alina kita belajar, bukan seberapa lama pernikahan kita mulai dengan berpacaran, untuk mengenal satu sama lain. Tetapi kualitas dan integritas masing-masing pasanganlah yang menjadi kunci kebahagiaan rumah tangga.
Seperti Alina kematangan emosionalnya, kedalaman ilmunya dan keluasan pengalamannya. Membawa dia mampu menyelami berbagai keadaan. Sehingga Ia bisa melewati cobaan pernikahannya dengan baik. Dan film ini menyampaikan perjodohan bisa menjadi salah satu alternatif mencari pasangan ideal.
Deskripsi Pesantren di Indonesia
Gambaran perempuan yang nggegemi filosofi mikul dhuwur mendem jero, menjadi sisi lain dari bagaimana film ini, menggambarkan karakter perempuan dalam pernikahan. Dengan tetap memegang falsafah Jawa kuno dan tidak tenggelam pada budaya narsis di era medsos memberikan kekuatan pada pernikahan.
Di mana banyak pasangan justru menjadikan masalah rumah tangga sebagai materi pansos di medsos. Alih-alih menjadi solusi malah membawa rumah tangga pada keretakan.
Sisi di mana film ini mendeskripsikan Pesantren di Indonesia dengan beberapa unsur budaya Jawa menemukan benang merah dengan pesantren nusantara yang Walisongo kembangkan. Yakni mengawinkan budaya Jawa dengan nilai-nilai islam. Semangat al-mukhafadhatu ‘ala qadhimish shalih terasa menjadi ruh kisah ini, ada Alina yang berpikiran terbuka tetapi masih menerima tradisi perjodohan dan memegang filosofi Jawa.
Adapula Gus Biru yang buku bacaannya bukan hanya kitab Fathul Qarib tetapi juga buku-buku kritis dari para filosof, seorang demonstran dan pendobrak, tetapi juga menerima tradisi perjodohan dan enterpreuneur yang tetap mempertimbangkan spiritualitas dengan menampilkan buku-buku dan kitab-kitab di etalase kafenya.
Seperti living pesantren, film ini meski bergenre religi bukan bicara benar salah. Sehingga tokoh orang ketiga pun ceritanya tidak sebagai antagonis. Film ini berkisah, dan kita belajar dari kisah. Adakah kalian berbisik : ini kisah saya? Dan semoga anda memenangkan perang anda, sehingga menjadi ratu sebagaimana Suhita. []