• Login
  • Register
Rabu, 27 September 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Hati Suhita dan Geliat Sastra Pesantren di Indonesia

Secara sekilas film yang Starvision adaptasi dari novel dengan judul yang sama milik Khilma Anis ini, menggambarkan tradisi pernikahan di pesantren

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
04/06/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Hati Suhita

Hati Suhita

799
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hati Suhita menambah deretan novel pesantren yang berhasil menembus dunia perfilman. Film yang ditayangkan di bioskop sejak 25 Mei kemarin mendapat respons yang positif dari masyarakat. Bahkan baru tujuh hari sejak penayangan film ini, melihat twitter Kharisma Starvision, Film Hati Suhita telah menyerap 257.075 penonton.

Daftar Isi

    • Sekilas Film Hati Suhita
    • Belajar dari Film Hati Suhita
  • Baca Juga:
  • Dari Sunan Kalijaga Hingga Rhoma Irama, Sebuah Dakwah Kreatif Melalui Seni Musik
  • Tajin Sorah: Upaya Memperteguh Keimanan dan Kerukunan
  • Alina Suhita dan Jiwa Kepemimpinan Perempuan
  • Khilma Anis Menggagas Dakwah melalui Novel dan Film “Hati Suhita”
    • Sastra sebagai Media Dakwah
    • Geliat Sastra Pesantren di Indonesia
    • Pesantren dan Tradisi Kesusastraan
    • Sebuah Refleksi

Sekilas Film Hati Suhita

Sudah banyak media yang memberikan ulasan terkait film Hati Suhita. Secara sekilas film yang Starvision adaptasi dari novel dengan judul yang sama milik Khilma Anis ini menggambarkan tradisi pernikahan di pesantren. Menjadi hal yang lumrah dalam tradisi kepesantrenan bahwa putra kiai akan dinikahkan dengan putri kiai lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga trah dan supaya dapat melestarikan kehidupan pesantren ke depannya.

Namun lagi-lagi di era sekarang dengan kebudayaan yang semakin berkembang perjodohan seperti itu dapat kita katakan relevan atau kurang relevan. Relevan karena memang prinsip kafa’ah (sekufu) masih memegang perang penting dalam menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.

Namun juga bisa kita katakan kurang relevan karena di era milenial ini setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Lagi-lagi semua kembali kepada bagaimana komunikasi yang terbangun di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Belajar dari Film Hati Suhita

Meskipun Khilma Anis dengan kerendahan hatinya mengatakan bahwa film tersebut bukan film bergenre pesantren, namun film ini tetap menggambarkan bagaimana kehidupan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai akhlakul karimah. Justru melalui sastra yang telah tervisualisasikan ini, nilai-nilai yang pesantren ajarkan seperti adab, birrul walidain, dan khidmah kepada guru akan lebih mudah tersampaikan kepada audiens.

Baca Juga:

Dari Sunan Kalijaga Hingga Rhoma Irama, Sebuah Dakwah Kreatif Melalui Seni Musik

Tajin Sorah: Upaya Memperteguh Keimanan dan Kerukunan

Alina Suhita dan Jiwa Kepemimpinan Perempuan

Khilma Anis Menggagas Dakwah melalui Novel dan Film “Hati Suhita”

Begitupun nilai-nilai perspektif mubadalah yang tersirat dalam film tersebut. Dalam artikel berjudul “Adakah Nilai-Nilai Perspektif Mubadalah dalam Novel Suhita”, Karimah Iffia Rahman menyebutkan tiga nilai perspektif mubadalah seperti prinsip mitsaqan ghalidha, hunna libasun lakum wa antum libasun sahun, dan muasyaroh bil ma’ruf. Tentu masyarakat, bahkan yang awam sekaligus akan lebih mudah memahami pesan tersebut melalui visualisasi yang menarik nan apik.

Sastra sebagai Media Dakwah

Dalam tulisan ini saya tidak ingin memberi banyak ulasan tentang Film Hati Suhita. Karena seperti yang saya sampaikan tadi bahwa sudah banyak media yang menceritakannya. Yang menarik bagi saya bahwa Hati Suhita sebagai bagian dari karya sastra telah berhasil menjadi media dakwah.

Merujuk dari M.S Nasarudin Latif bahwa dakwah adalah setiap aktivitas, baik lisan maupun tulisan yang mengajak, menyeru, serta memanggil manusia supaya beriman dan taat kepada Allah berdasarkan garis akidah, syariah, dan akhlak Islamiyah.

Jika melihat pengertian tersebut, setiap individu dapat melaksanakan kegiatan dakwah. Dakwah tidak hanya kita pahami dengan aktivitas ceramah di atas podium maupun masjid-masjid, namun dapat menjelma melalui berbagai macam cara, termasuk melalui karya sastra. Dakwah melalui karya sastra pun terasa lebih luwes, lentur, tidak membosankan, dan mampu menyentuh emosional audiens.

Geliat Sastra Pesantren di Indonesia

Sejarah menunjukkan bahwa dunia sastra sebagai bagian dari lingkup kesenian turut memegang peran penting dalam proses islamisasi di Indonesia. Betapa banyak karya sastra yang lahir dari rahim ulama terdahulu sebagai upaya untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat.

Di masa Wali Songo kita akan mengenal karya sastra bernafaskan Islam seperti Suluk Sunan Bonang, Suluk Kalijaga, Suluk Sunan Giri, dan Wasita Jati Sunan Geseng. Karya sastra tersebut murni tulisan tangan yang Beliau tulis dengan nuansa tasawuf yang kental. Selain itu juga terdapat karya sastra sebagai bentuk akulturasi dengan budaya sebelumnya seperti Serat Dewa Ruci, Jamus Kalimasodo, Jaka Sumantri (ketiganya ini karya Sunan Kalijaga), Jaka Klinting (karya Sunan Kudus) dan Pajajaran (karya Sunan Gunung Jati).

Tidak berhenti di situ, para ulama, kiai, pujangga, bahkan para raja banyak yang menelurkan karya sastra di era Mataram Islam. Serat Surya Raja misalnya, ditulis oleh Hamengkubuwono II yang mengisahkan tentang Sunan Kalijaga sebagai guru spiritual wangsa Mataram Islam.

Pada awal masuknya Islam di Indonesia, karya sastra yang ada sering kali memuat nilai-nilai tasawuf. Namun nilai-nilai yang mereka ajarkan juga menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat pada saat itu tanpa menghilangkan substansi dari ajaran Islam.

Selain itu juga terdapat relasi yang kuat antara pesantren dengan keraton. Bahkan terdapat suluk yang menyebutkan bahwa para putra raja hendaknya menjadi santri terlebih dahulu sebelum terjun ke masyarakat melalui kekuatan politiknya. Hal itu tertulis dalam Suluk Wringin Sungsang karya Sunan Kalijaga.

Pada dekade selanjutnya pun banyak pujangga jebolan pesantren. Ronggowarsito misalnya, cicit Yasadipura I ini dulu pernah nyantri di pesantren Gebang Tinatar Tegalsari di bawah asuhan Kiai Ageng Muhammad Besari.  Ia kemudian menjadi pujangga besar Jawa yang melahirkan karya sastra masyhur bercorak mistik Jawa-Islam seperti Serat Kalatidha, Sabdajati, Sabdatama, Jaka Lodhang, dan Wedharaga.

Pesantren dan Tradisi Kesusastraan

Dalam tradisi kepesantrenan sendiri sastra kerap kali menjadi media pembelajaran. Para ulama terdahulu meringkas materi-materi keagamaan dalam bentuk syi’ir sehingga mempermudah para santri dalam belajar.

Adanya pembelajaran berbasis syi’iran, mulai level dasar seperti Aqidatul Awam, Ngudi Susilo, Alala hingga yang level atas seperti Alfiyah menjadi metode yang hingga kini masih kita temui di pesantren. Bahkan hal tersebut menjadi ciri khas yang jarang kita temui di tempat lainnya.

Adalah sebuah keniscayaan jika produk-produk didikan pesantren pun banyak yang bergelut di bidang sastra. Ada yang menjadi cerpenis, novelis, maupun penyair. Lihat saja KH Mustofa Bisri, Cak Nun, Candra Malik, Najhaty Sharma, maupun Khilma Anis. Mereka tidak hanya berkarya, melainkan juga menyelipkan nilai-nilai keislaman dengan sentuhan halus melalui karya sastranya.

Dalam artikel berjudul Treading The Footsteps of Wali Songo as The Shaper of Islam Nusantara Tradition, Siti Muliana dan Muhammad Nasruddin menyebutkan bahwa salah satu strategi islamisasi yang Wali Songo lakukan adalah melalui budaya popular. Tentu budaya popular di masa silam dengan masa sekarang sudah jauh berbeda. Jika dulu budaya popular yang berkembang melalui suluk dan pewayangan maka sekarang sudah berkembang ke dunia novel dan perfilman.

Sebuah Refleksi

Hati Suhita yang berhasil difilmkan ini menjadi nafas segar bagi dunia pesantren. Biasanya kerap kali santri terkesan sebagai pribadi yang kolot, konservatif, dan tidak modern. Namun Hati Suhita mampu menunjukkan bahwa santri dapat go nasional, bahkan internasional dengan karya sastranya. Memang stigma-stigma seperti itu harus kita patahkan dengan bukti nyata.

Selain itu pesantren hendaknya juga menjadi lingkungan yang memberikan “kebebasan” – tentu dalam batas wajar – untuk mengembangkan kreativitas para santri. Potensi-potensi yang santri miliki hendaknya tidak dikekang hanya karena berpatokan dengan metode lama.

Alangkah baiknya jika potensi tersebut dapat tersalurkan, terfasilitasi, dan terarahkan sehingga dapat membawa kemaslahatan bagi semua pihak, terlebih bagi eksistensi dari Islam itu sendiri.

Sedikit pesan bagi para santri dan diri saya sendiri, Belajarlah, berkaryalah, lakukan apa yang dapat kamu lakukan dan jadilah Khilma Anis versi dirimu sendiri! Sekian. []

Tags: Film Hati Suhitakarya sastraKhilma Anismedia dakwahSastra PesantrenWali Songo
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Alumni Akademi Mubadalah Muda '23. Dapat disapa melalui akun Instagram @kang_udin30

Terkait Posts

Eco Jihad

Eco Jihad Ala Pandawara Menjadi Motor Penggerak Partisipasi Masyarakat untuk Menjaga Lingkungan

27 September 2023
Politik Perempuan

Narasi Kemandirian Politik Perempuan dalam Al-Qur’an

27 September 2023
kawin tangkap

Kawin Tangkap Adat Sumba dalam Lensa Keislaman

26 September 2023
Kasus Rempang

Kasus Rempang, Investasi yang Kurang Humanis?

26 September 2023
Meneladani Sifat Nabi

Meneladani Sifat Nabi: Melanjutkan Misi Kesetaraan

26 September 2023
Baby Blues

Baby Blues: Bukti Ibu Depresi Pasca Melahirkan itu Nyata

25 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Politik Perempuan

    Narasi Kemandirian Politik Perempuan dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Maulid Nabi Muhammad Saw: Kelahiran Sang Pembaharu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pluralisme: Kata Kunci Mengatasi Konflik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Etika Sufi Ibn Arabi (3): Mencintai Tuhan dengan Merajut Kerukunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak Tenaga Kerja dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berdakwahlah dengan Tanpa Kekerasan
  • Sudahkan Masjid Ramah Perempuan dan Anak?
  • Pluralisme: Kata Kunci Mengatasi Konflik
  • Eco Jihad Ala Pandawara Menjadi Motor Penggerak Partisipasi Masyarakat untuk Menjaga Lingkungan
  • Hak Tenaga Kerja dalam Al-Qur’an

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist