Mubadalah.id – Saat berjalan di sekitar Menteng, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Cut Meutia Nomor 1, mata publik dipertemukan dengan masjid Cut Meutia. Penamaan Masjid merujuk pada tokoh perempuan nasional pra-kemerdekaan asal Aceh.
Dulunya, bangunan masjid ini merupakan kantor NV De Bouwpleg atau kantor tempat berkumpulnya para arsitek Belanda. Lalu berganti fungsi menjadi kantor beberapa urusan negara. Kemudian berakhir menjadi tempat ibadah serupa musala.
Tidak selesai sampai di situ, beberapa pihak menginisiasi untuk menaikkan status musala menjadi masjid provinsi yang kemudian diresmikan pada tahun 1987. Sebab berada di Jalan Cut Meutia, masjid ini kemudian diberi nama masjid Cut Meutia.
Penamaan ini juga barangkali sebagai upaya untuk mengekalkan sosok Cut Meutia. Sebagai pahlawan-pejuang sekaligus representasi perempuan yang berperan besar dalam sejarah bangsa Indonesia.
Baca juga: Cut Nyak Meutia
Saat kita memasuki area masjid, kita akan tahu heroisme Cut Meutia sebagai pahlawan perempuan seakan pudar. Cita-cita dan etos perjuangannya redup. Teladannya kepada masyarakat untuk mempertahankan martabat juga hak untuk hidup terasa tak berbekas.
Ya, warisan ataupun gagasan Cut Meutia hampir tidak bisa kita temukan hampir di segala sudut masjid. Terkecuali papan nama dengan nama pahlawan perempuan itu sebagai penanda keberadaan masjid di lingkungan sekitar Jalan Cut Meutia.
Kita bisa lihat dalam beberapa simbol, seperti plang berkarat yang menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang pernah ada di masjid. Misalnya taman pendidikan kanak-kanak (TPA), kelompok bermain (KB), dan pendidikan guru taman kanak-kanak (PGTKI). Lalu ada plang yang menjelaskan masjid seperti halnya masjid lain di Indonesia sebagai ruang ibadah dan ruang pendidikan beragama tingkat dasar.
Baca juga: Larangan Perempuan Masuk Masjid di India Tidak Islami
Entah kenapa, masjid di Indonesia sulit menjadi ruang keilmuan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad. Masjid menjadi pusat tumbuh dan berkembangnya peradaban Islam.
Masjid Cut Meutia seolah menegaskan kepada kita, perempuan hanya boleh mendidik dalam pendidikan dasar seperti anak TK. Apalagi, pengaturan ruang material masjid yang diberikan kepada laki-laki ternyata lebih luas daripada yang diberikan untuk perempuan. Sama seperti masjid-masjid pada umumnya.
Pengaturan ruang material yang sempit menandai sempitnya ruang gagasan (berilmu) jamaah perempuan sekaligus bukti gagasan Cut Meutia tidak bersemayam dalam masjid.
Saat bertamu ke Masjid Cut Meutia, kami berbincang dengan Ibu Badriyah. Dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih sejak tahun 2010 (tanggal 28 Agustus 2018). Ibu Badriyah berasal dari Menteng Kecil ini bercerita sebentar sambil menjajakan dagangannya di tangga pintu masuk masjid yang dikhususkan untuk perempuan.
Baca juga: Islam Menghargai Perempuan yang Bekerja
Salah satu informasi yang kami dapatkan dari obrolan itu adalah adanya pengajian rutin yang berlangsung tiap hari Selasa, pengajian khusus perempuan. Tetapi dari sekian penceramah, Ibu Badriyah lebih fasih menyebut nama-nama ustadz yang berarti lebih banyak penceramah dari kaum laki-laki.
Kami pun bertanya nama penceramah dari perempuan, Ibu Badriyah hanya menyebut satu nama saja. Baliho besar pengajian di sekitar masjid yang memuat foto penceramah laki-laki mengukuhkan kelelakian masjid meski nama masjid merujuk pada tokoh perempuan.
Dari data masjid yang dihimpun oleh Kemenag tepatnya dalam situs Sistem Informasi Masjid (SIMAS), publik bisa menemukan data jumlah masjid dan musala yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Di data masjid, kita bisa menemukan enam tipologi masjid yang dibuat oleh SIMAS: masjid raya dengan jumlah 31, masjid besar dengan jumlah 4200, masjid agung dengan jumlah 379, masjid jami dengan jumlah 198.140, masjid bersejarah dengan jumlah 806, masjid di tempat publik dengan jumlah 35.608.
Sedang dalam data musala yang terdaftar dibagi menjadi empat tipe: musala di tempat publik (63.491), musala perkantoran (2.677), musala pendidikan (7.849), musala perumahan (186. 621).
Baca juga: Kabar Gembira dari Nabi untuk Perempuan
Di antara kepungan ribuan masjid dan musala yang tersebar di Indonesia, kita masih menemukan sedikit masjid bernama perempuan. Melalui SIMAS kita juga bisa menemukan nama-nama tokoh perempuan lain yang dikultuskan untuk menamai masjid. Selain Cut Meutia, kita menemui nama seperti Fatimah, Aisyah, Maryam untuk menamai masjid.
Penamaan masjid dengan nama perempuan tentu memunculkan ambiguitas dalam kesadaran bermasjid selama ini: keterlanjuran muslim memaknai masjid sebagai ruang laki-laki sekaligus usaha kecil untuk mengenang peran dan kontribusi perempuan dalam Islam dan sejarah Indonesia. Meskipun bermuara hanya sebagai merk luar bukan gagasan seutuhnya dari, tentang, dan untuk perempuan.
Tentu kita berharap, masjid-masjid bernama perempuan tidak hanya sebatas formalitas penyematan nama bangunan semata. Tapi melampauinya; nama perempuan untuk masjid sanggup memberi warisan emansipasi seutuhnya. Serta keberagaamaan Islam Indonesia yang memberi rahmat pada semesta tanpa perlu membedakan laki-laki atau perempuan.
Masjid bernama perempuan pada akhirnya dicita-citakan sanggup memberi keramahan pada perempuan. Bahkan menjadi ruang yang sepenuhnya dimiliki dan dikendalikan oleh perempuan.[]