Mubadalah.id – Dewasa ini, konstruksi sosial seolah-olah telah mematok usia menikah bagi perempuan. perempuan yang belum menikah di usia 25 tahun ke atas kita anggap sudah melewati batas waktu menikah. Sehingga muncul pertanyaan, antara ibadah dan menikah mana yang lebih utama?
Mereka seringkali dicekoki dengan pernyataan “jangan terlalu fokus nyari uang, jangan terlalu fokus ngejar karir, perempuan harus cepat-cepat menikah, ingat loh menikah itu sunnah, yang gak ngikut sunnah bukan bagian dari umat Nabi Muhammad saw”.
Saya sendiri sebenarnya bingung, apakah sunnah yang dimaksud hanya menikah? Kemudian jika tidak menikah, langsung kita hukumkan bukan umat Rasulullah? Bagaimana dengan mereka yang mengutamakan sunnah lainnya, menuntut ilmu misalnya.
Terdengar sangat tidak adil jika karena tidak mengikuti satu sunnah karena sedang fokus menjalankan sunnah yang lainnya tidak terakui sebagai umat Rasulullah. Tetapi tidak bisa kita pungkiri, pendapat demikian memang berdasarkan pada legitimasi dalil hadits.
Hukum Menikah
Pada umumnya, mayoritas kita lebih familiar dengan status hukum sunnah menikah. Sehingga wajar saja bagi mereka yang belum atau tidak menikah acapkali dicap tidak mengikuti sunnah Nabi. Benarkah demikian? Jumhur ulama mengkategorikan nikah dalam 5 hukum. Yaitu: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram.
Pertama, nikah hukumnya wajib. Status hukum tersebut berlaku ketika ia sudah mampu menafkahi keluarga dan ada kekhawatiran terjerumus kepada perzinaan jika tidak menikah.
Kedua, nikah hukumnya sunnah. Yaitu jika sudah memiliki kemauan dan kemampuan untuk menafkahi istri, tidak akan menyakiti istri, namun jika tidak menikah tidak dikhawatirkan terjerumus kepada perzinaan. Hadits yang menyatakan sunnah menikah ditujukan pada kondisi seperti di atas.
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَاَ خْشَاكُمْ اللَّهِ وَأَتْقَاكُمْ . وَلَكِنِّى أَصُومُ وَأَفْطِرُ, وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ . فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
Artinya: “Sungguh, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Aku berpuasa, aku shalat, aku tidur, dan aku menikah. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka bukanlah bagian dari aku.”
Ketiga, nikah hukumnya makruh. Yaitu jika ia tidak memiliki biaya dan nafkah serta mampu menahan diri dari nafsu syahwat. Sehingga tidak ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina. Keempat, nikah hukumnya mubah.
Yaitu bagi orang yang mampu menahan hawa nafsu syahwat, memiliki biaya dan nafkah, dan tidak akan menyakiti istri.
Terhadap kondisi tersebut, Husein Muhammad dalam Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo mengutip pendapat Imam Syafi’I yang sampaikan oleh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu:
“Imam Syafi’I mengatakan bahwa perkawinan dalam keadaan ini adalah mubah (pilihan), boleh dilakukan boleh juga tidak. Dan mengisi hidupnya dengan beribadah atau belajar, menuntut ilmu pengetahuan lebih utama daripada menikah.”
Kelima, nikah hukumnya haram. Jika dengan menikah ia akan menyakiti atau melakukan kekerasan terhadap istrinya kelak.
Kaidah fikih mengatakan:
مَا أَدَّى اِلَى اْلحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ
Artinya: “Tindakan yang akan mengakibatkan haram, makai a pun haram.”
Para Ulama Yang Memilih Melajang Hingga Akhir Hayat
Jika benar pemaknaan terhadap hadits sunnah menikah dengan menghukumkan yang memilih tidak menikah bukan umat Nabi. Maka faktanya ada banyak ulama dan cendikiawan muslim yang memilih melajang. Apakah beliau-beliau tidak mengetahui sunnah? Sangat mustahil.
Tentu mereka memiliki pedoman yang kuat sehingga memutuskan tidak menikah. Husein Muhammad dalam Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo menyebutkan ada 21 ulama terkemuka yang memilih tidak menikah, diantaranya:
Pertama, Khadijah binti Suhnun, ulama perempuan dari Tunisia. Kedua, Ibnu Jarir ath-Thabari, guru besar ahli tafsir. Ketiga, Imam Zamakhsyari, teolog Mu’tazilah. Keempat, Jamilah al-Hamdaniyah, putri dari Raja Dinasti Hamdan, Irak. Kelima, Sayyid Ahmad al-Badawi, sang wali Quthub.
Keenam, Aisyah binti Ahmad al-Qhurtubiyah, penyair dari Andalusia. Ketujuh, Imam Nawawi, syaikhul Islam as-Sunni. Kedelapan, Ibnu Taimiyah, syaikhul Islam as-Salafi. Kesembilan, Nabawiyah Musa, ulama perempuan Mesir. Kesepuluh, Sayyid Quthub, pemikir Ikhwanul Muslimin. Kesebelas, Abdurrahman Badawi, filsuf eksistensialis Arab, dan lain-lain
Agus Hermanto dalam Membujang Dalam Pandangan Islam menyebutkan ada 2 alasan utama para ulama memilih untuk tidak menikah. Yaitu, karena kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, advokasi kemanusiaan, dakwah agama, dan kerja-kerja sosial kemanusiaan. Sehingga tidak ada waktu memikirkan pernikahan atau tidak mampu melakukan hal tersebut jika menikah.
Kedua, ingin senantiasa beribadah dengan khusyu’ sehingga tidak ingin menjadikan pernikahan mengurangi kuantitas dan kualitas ibadahnya kepada Allah swt.
Menikah atau Beribadah?
Husein Muhammad dalam Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai, beliau mengutip pendapat Fakhruddin ar-Razi bahwa pada dasarnya hukum nikah terbagi dalam dua bagian. Pertama, seseorang yang sudah berhasrat menikah.
Jika ia sudah berkeinginan untuk menikah, memiliki biaya dan nafkah, serta ada kekhawatirkan akan berbuat zina jika tidak menikah, maka baginya dianjurkan untuk menikah. Sebaliknya, jika nafsunya sudah bergejolak dan ingin menikah tetapi belum mapan secara finansial, maka ada anjuran untuk berpuasa meredam syahwatnya.
Kedua, orang yang belum berhasrat menikah. Jika ada penyakit tertentu atau lemah syahwat maka makruh baginya untuk menikah. Sebaliknya, meskipun tidak lemah syahwat namun tidak mampu memberi nafkah, maka tidak makruh. Tetapi, baginya beribadah lebih ia utamakan.
Hal senada juga Imam Syafi’i sampaikan, bahwasanya beribadah lebih baik baginya daripada menikah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa menikah lebih utama.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur’an dan Hadits Nabi menyatakan bahwa Imam Syafi’I berpandangan bahwa menikah tidak layak kita kaitkan dengan perintah agama, melainkan hanya urusan syahwat manusia. Menikah hanya kita kategorikan sebagai sesuatu yang diperkenankan (mubah). Karena menikah sah dilakukan oleh orang kafir.
اَنَّ النِّكَاحَ لَيْسَ بِعِبَادَةٍ بِدَلِيْلِ اَنَّهُ يَصِحُّ مِنَ اْلكَافِرِ . وَاْلعِبَادَةُ لَا تَصِحُّ مِنَ اْلكَافِرِ . فَوَجَبَ اَنْ تَكُونَ العِبَادَةُ اَفْضَل مِنْهَ
Artinya: “Sesungguhnya menikah itu bukanlah ibadah, dengan bukti ia sah dilakukan oleh orang kafir. Sementara, ibadah tidak boleh/sah dilakukan oleh orang kafir. Oleh karena itu, ibadah lebih utama daripada menikah.”
Sedangkan Imam az-Zahiri berpendapat bahwa menikah merupakan kewajiban agama berdasarkan Qur’an Surah an-Nisa (4):25. Wallahu a’lam. []