Mubadalah.id – Melihat berbagai perubahan yang berlangsung dewasa ini secara cepat, menyangkut berbagai aspek kehidupan, pemikiran, tingkah laku, dan hubungan-hubungan, sudah saatnya kita merumuskan ijtihad baru. Kenyataan ini terjadi sesudah lahirnya serangkaian penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Gerak kemajuan ini menimbulkan berbagai persoalan baru yang perlu mendapatkan jawaban yang tepat.
Misalnya, persoalan bayi tabung, pemindahan janin, bank sperma, penentuan jenis kelamin bayi dalam rahim, pencangkokan anggota tubuh, transfusi darah, dan sebagainya. Demikian pula kemajuan dalam bidang ekonomi dunia internasional yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, atau kalau pun ada hanyalah sebagian kecil saja.
Untuk persoalan-persoalan tersebut diperlukan ijtihad baru, atau apa yang saya namakan sebagai “ijtihad insyai”, yakni upaya melahirkan hukum yang sama sekali orisinil; upaya pemikiran yang belum pernah dihasilkan oleh orang-orang terdahulu atau tidak ada keputusan yang tegas mengenainya. Misalnya, dalam persoalan zakat apartemen, pabrik, saham, surat-surat berharga, dan zakat haji; demikian pula menjadikan emas sebagai satu-satunya ukuran uang, kewajiban zakat tanah sewaan terhadap penyewa dan pemiliknya; pemilik wajib mengeluarkan zakat dari hasil uang sewaan dan penyewa wajib mengeluarkannya dari hasil buminya, dan sebagainya.
Sistem ijtihad boleh dilakukan melalui apa yang dinamakan “ijtihad intiqai”, yakni memilih pendapat yang terkuat dan dipandang lebih sesuai dengan. Kehendak syar’i, kepentingan masyarakat, dan kondisi zaman. Seleksi hukum-hukum ini dapat dilakukan dalam madzhab yang empat. Misalnya, mengambil pendapat Madzhab Hanafi dalam masalah wajib zakat pada setiap hasil bumi, pendapat Madzhab Syafi’i dalam hal ini memberikan zakat kepada fakir miskin untuk kebutuhan hidupnya, dan menetapkan bagian muallaf sesuai dengan pendapat Madzhab Maliki.
Seleksi hukum dapat pula diperlakukan atas dasar lain di luar madzhab yang empat. Tak dapat diingkari bahwa di luar madzhab yang empat ini, masih banyak ahli fiqh lain yang memiliki tingkat pengetahuan yang sebanding, atau bahkan melebihi. Mereka, baik yang terdiri dari orang-orang yang segenerasi dengan mereka maupun dari generasi sebelumnya, generasi sahabat atau tabi’in yang jelas lebih utama. Tidak ada salahnya kalau kita mengambil pendapat dari kalangan mereka bila dipandang lebih cocok dengan ketentuan syariat.
Misalnya, mengambil pendapat sahabat Umar bin Khattab Ra. dalam hal larangan nikah dengan ahlu kitab apabila dipandang membahayakan bagi kaum wanita muslim atau keturunan kaum muslimin, atau di khawatirkan hilangnya syarat (piawai), seperti yang terkandung dalam firman Allah Swt:
والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من المحصنت من الذين أوتو الكتاب من قبلكم.
“(Dan, dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab Al-Kitab sebelum kamu”. (QS. al-Maidah: 5)
Demikian pula, misalnya, mengambil pendapat Imam Atha mengenai keharusan memberikan mut’ah (jaminan hidup) bagi istri yang diceraikan, mengikuti pendapat sebagian ulama salaf tentang tidak terjadi perceraian yang diucapkan oleh suami yang sedang marah, sejalan dengan hadits nabi: “Tidak ada perceraian dalam hati yang tertutup”.
Dan, menetapkan jatuh talak satu bagi talak tiga yang diucapkan sekaligus atau satu majelis. Pendapat ini sejalan dengan fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Begitu pula halnya dengan tidak berlakunya talaq bid’i, yakni talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid. Demikian juga apabila disyaratkan membawa sesuatu atau melarang sesuatu. Dalam hal ini, diperlukan sebagaimana sumpah yang padanya berlaku kaffarat sumpah.
Contoh lain, umpamanya, menetapkan wajib memberikan wasiat wajjbah berupa harta kepada kerabat yang tidak mendapat bagian waris. Atas dasar ini, di Mesir dan di negara-negara lain telah dibuat undang-undang al-washiyah al-wajibah untuk cucu-cucu yang telah kehilangan orang tuanya. Ia mendapatkan bagian orang tuanya dengan tidak melebihi bagian sepertiga.
Barangkali juga kita bisa mengambil pendapat Imam Atha dan Imam Thawus dari kalangan tabi’in mengenai keabsahan melempar jamarat (jumrah) sebelum matahari tergelincir (qabla az zawal). Ini sebagai upaya memudahkan dan meringankan para jamaah haji dari desakan dan himpitan ribuan manusia. Syaikh Abdullah Zaid al-Mahmud, Ketua Pengadilan Agama dan urusan-urusan Keagamaan Qatar, telah mengeluarkan fatwa dengan mengambil pendapat tersebut.
Hal yang kita perlukan sekarang adalah upaya apa yang disebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad kolektif atau semacam lembaga hukum Islam internasional. Di dalamnya, menghimpun sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu. Hukum-hukum yang akan diputuskan oleh lembaga ini terlebih dahulu dilakukan melalui penelitian yang intensif dan netral, tidak dipengaruhi oleh pemerintah dan golongan awam.
Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa ijtihad fardi (individual) tetap diperlukan sebagai pemberi jalan terang bagi ijtihad kolektif tersebut. Dalam keadaan ini, setiap ahli sesuatu bidang ilmu diharapkan mengajukan kertas kerjanya ke lembaga hukum internasional. []