• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Ini Ceritaku setelah Kenal Mubadalah, Kalau Kamu Gimana?

Sebelum dan setelah menikah, perempuan tetaplah jiwa yang merdeka, bebas menentukan langkah hidupnya, dan menikmati setiap detik waktu yang berjalan, tanpa kehilangan cinta dari orang-orang di sekitarnya

Zahra Amin Zahra Amin
22/08/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Kesetaraan

Kesetaraan

164
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Teman, apa perubahan besar yang kamu alami sebelum dan setelah mengenal mubadalah sebagai sebuah nilai? Aku akan berbagi pengalaman itu melalui tulisan ini. Dimana aku membaginya dalam tiga fase kehidupan, sebagai diri perempuan, seorang istri dan ibu dari dua anak, serta perempuan bekerja yang masih suka nongkrong, keluyuran, dan berkumpul bersama sahabat.

Bangga Menjadi Perempuan

Doktrin bahwa perempuan adalah makhluk lemah, manusia kelas kedua, kurang akal, dan tak pantas menjadi pemimpin, begitu menggema sejak aku mengenal dunia. Semesta sepertinya tak memberi kesempatan bagi perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Ia berada di bawah bayang-bayang seorang ayah, dimana nasab nama ayah yang selalu mengiringi nama anak perempuan, saat dipanggil dalam acara kenaikan kelas atau wisuda kuliah. Bukan nama ibu yang disebut.

Ketika menikah, nama perempuan menghilang, berganti rupa menjadi Nyonya A dan B, bahkan tersemat nama suami di belakang namanya sendiri. Begitu mempunyai anak, namanya kian samar tak terdengar. Berubah menjadi Bunda si A, Ibu si B, Mamah si C dan Umi si D. Nama asli perempuan yang tersematkan sejak lahir, disebut kembali ketika ia telah tiada, dalam secarik pengumuman kabar duka, “telah meninggal dunia si fulanah.”

Namun setelah mengenal mubadalah, membaca, merenunginya menjadi buah kesadaran, lalu pelan-pelan mencoba mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, aku menyadari satu hal. Semua butuh proses, dan waktu yang terus berjalan, memberi ruang terang bahwa perempuan adalah entitas utuh yang begitu berharga. Jika bukan diri kita sendiri yang membuatnya bangga, lantas siapa?

Baca Juga:

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Jalan Mandiri Pernikahan

Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

Penerimaan yang utuh atas fisik yang dianugerahkan Tuhan, dengan sekian keistimewaan dan peran reproduksi perempuan, menjadi langkah awal, bahwa aku adalah seorang perempuan, dan bangga memiliki tubuh ini. Menerima akal serta nurani yang telah terberi, dengan terus belajar membaca realitas, melalui pengetahuan yang tersebar di banyak buku, ruang diskusi, dan dialektika yang menggairahkan melalui pertautannya dengan pengalaman khas perempuan. Meng-ada-lah perempuan, maka ia ada dan hadir secara utuh sebagai perempuan, dengan sekian pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang ia miliki.

Keluarga sebagai Pendukung Utama

Support sistem pertama dan utama bagi perempuan setelah dirinya sendiri adalah keluarga, jika belum menikah, maka orang tua dan saudara menjadi tumpuan segala harap dan cita. Sementara bila sudah menikah, maka cinta suami dan anak-anak menjadi pelengkap kebahagiaan bagi perempuan.  Meski upaya ini juga membutuhkan proses yang tak mudah. Harus selalu ada komunikasi dan kompromi untuk membangun komitmen perkawinan yang tak tergoyahkan.

Kesalingan tak mungkin mewujud tanpa komunikasi yang intens dan terus menerus. Orang lain takkan mungkin tahu apa yang kita inginkan jika tak pernah bicara. Seperti adegan dalam tayangan pariwara Teh Sariwangi “Saatnya untuk Bicara”, ketika suami menyuruh istri berhenti bekerja karena penghasilan suami yang bertambah telah dianggap mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, dan agar istri fokus mengurus anak-anak. Istri tak langsung emosi, tetapi memilih menanggapi suami dalam diam seribu bahasa, tanpa komentar dan jeda yang senyap.

Setelah adegan dialog dalam mobil berpindah ke rumah, istri membuatkan secangkir teh yang disuguhkan ke suami, sambil mengatakan agar ia tetap diperbolehkan bekerja demi masa depan anak-anak, karena kebutuhan keluarga yang seringkali tak terduga. Lalu suaminya merespon positif, dengan kalimat “Ya sudah, kamu kasih tahu, apa yang bisa aku bantu.” Betapa indah bukan, jika relasi pasutri demikian?

Dalam relasi perkawinanku sendiri, kesepakatan-kesepakatan dengan pasangan itu dibangun bahkan sebelum menikah. Ada proses kurang lebih satu tahun yang kami jalani untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Hal-hal yang dibicarakan tak sesederhana apa yang aku dan kamu sukai atau benci. Tetapi lebih bagaimana kami memandang visi misi masa depan. Bahkan dulu aku menyebut calon suamiku saat itu sebagai lelaki visioner.

Betapa tidak, kami secara terbuka sudah menyampaikan berapa penghasilan dan tanggungan hutang-piutang yang dimiliki, termasuk tanggung jawab membiayai adik-adiknya yang belum selesai pendidikan, dan berapa kira-kira kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara aku sendiri mengajukan syarat ketika sudah menikah agar tetap boleh bekerja, melanjutkan kuliah serta berorganisasi. Dan mubadalah telah membantu mewujudkannya menjadi mungkin dan semakin yakin.

Perempuan tak Kehilangan Jati Diri

Perkawinan tidak hanya meleburkan dua orang antara lelaki dan perempuan, tetapi juga dua keluarga besar dari masing-masing pasangan. Keduanya akan terus saling memengaruhi, bukan untuk saling mendominasi, tetapi saling mengisi dan melengkapi. Karena tradisi masyarakat Indonesia yang tak bisa lepas dari nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan bebarengan.

Di sisi lain, perempuan juga tetap membutuhkan ruang aman dalam hidupnya agar kesehatan mentalnya tetap terjaga, dan ia tetap tak kehilangan jati diri. Sebelum dan setelah menikah, perempuan tetaplah jiwa yang merdeka, bebas menentukan langkah hidupnya, dan menikmati setiap detik waktu yang berjalan, tanpa kehilangan cinta dari orang-orang di sekitarnya.

Keluarga di mana perempuan lahir dan dibesarkan, sahabat-sahabat dalam satu komunitas, tetap menjadi bagian dari kehidupan perempuan. Mungkin orang akan datang dan pergi, pernah saling mengisi atau kemudian saling memunggungi, namun perempuan tetap tak kehilangan kendali atas apa yang terjadi dalam hidupnya.

Sebagaimana yang pernah aku sampaikan ketika dalam satu kesempatan interview dengan salah satu lembaga mitra Media Mubadalah, apa tanggapanku terhadap keputusan perempuan menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Bagiku, apapun pilihan hidup perempuan, selama keputusan itu berangkat dari kesadaran kritis perempuan, dan ia bahagia menjalani pilihan hidupnya itu, tanpa intervensi dari pihak manapun, maka kita harus mendukung sepenuhnya tanpa tapi dan kecuali. Nah teman, ini ceritaku setelah kenal mubadalah, kalau kamu gimana? []

Tags: GenderkeadilankeluargaKesalinganKesetaraanMubadalahperempuanperkawinan
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Narasi Gender dalam Islam

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

22 Mei 2025
Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Jalan Mandiri Pernikahan

Jalan Mandiri Pernikahan

22 Mei 2025
Age Gap

Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

22 Mei 2025
Catcalling

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

21 Mei 2025
Berpikir Positif

Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat

21 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jalan Mandiri Pernikahan

    Jalan Mandiri Pernikahan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah untuk Si Bungsu: Budaya Nusantara Peduli Kaum Rentan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Jenis KB Modern

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud
  • KB dan Politik Negara
  • “Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan
  • 5 Jenis KB Modern
  • Jalan Mandiri Pernikahan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version