Mubadalah.id – Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2022 lalu merupakan salah satu peraturan yang sudah sangat lama dinanti oleh masyarakat, khususnya para korban kekerasan seksual.
UU TPKS ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, mulai dari melindungi, menangani, memulihkan, penegakan hukum, rehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, hingga menjamin kekerasan seksual tidak kembali terulang.
Sementara itu, pengertian tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU TPKS adalah: ‘’segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini’’.
Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
Penjelasana dalam Pasal 4 UU TPKS, bahwa tindak pidana kekerasan seksual terbagi menjadi 9 macam, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, dalam Pasal 4 Ayat 2 UU TPKS juga dijelaskan bahwa terdapat 10 bentuk kekerasan seksual yang masuk dalam kategori tindak pidana. Mulai dari pencabulan, eksploitasi seksual, perkosaan, persetubuhan terhadap anak, pencabulan terhadap anak, dan perbuatan asusila tanpa persetujuan korban,
Kemudian, pornografi yang melibatkan anak, pornografi yang memuat konten eksploitasi seksual, pemaksaan pelecehan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, hingga kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Hak-Hak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pasal 1 angka 16 UU TPKS menyebutkan bahwa hak korban kekerasan seksual meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban.
Pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan kewajiban negara sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Berikut ini adalah rincian hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS:
Hak atas Penanganan
Penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial.
Hak korban atas penanganan meliputi:
- Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan.
- Hak mendapatkan dokumen hasil penanganan.
- Hak atas layanan hukum.
- Hak atas penguatan psikologis.
- Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis.
- Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.
- Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Hak atas Perlindungan
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban yang wajib Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) laksanakan, atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak korban atas pelindungan meliputi:
- Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan.
- Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan.
- Perlindungan atas kerahasiaan identitas.
- Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban.
- Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, dan akses politik.
- Perlindungan dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.
Hak atas Pemulihan
Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban. Hak korban atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi, kompensasi, dan reintegrasi sosial.
Dalam UU TPKS, hak korban atas pemulihan terbagi menjadi dua macam. Pertama, pemulihan sebelum dan selama proses peradilan yang meliputi:
- Penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik.
- Penguatan psikologis.
- Pemberian informasi tentang hak korban.
- Pemberian informasi tentang proses peradilan.
- Pemberian informasi tentang layanan pemulihan.
- Pendampingan hukum.
- Pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak (bagi korban penyandang disabilitas).
- Penyediaan bantuan transportasi, konsumsi, biaya hidup dan tempat tinggal sementara yang layak dan aman.
- Penyediaan bimbingan rohani dan spiritual.
- Penyediaan fasilitas pendidikan.
- Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan.
- Hak atas informasi ( tentang narapidana telah selesai menjalani hukuman).
- Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual (bagi korban kekerasan seksual dengan sarana elektronik).
Kedua, hak atas pemulihan bagi korban setelah proses peradilan yang meliputi:
- Pemantauan, pemeriksaan, dan pelayanan kesehatan fisik serta psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan.
- Penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan.
- Pendampingan penguatan kompensasi dan restitusi.
- Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan.
- Penyediaan layanan bantuan sosial (jaminan kesehatan dan lain-lain) sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu.
- Pemberdayaan ekonomi.
- Penyediaan kebutuhan lain berdasarkan identifikasi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat.
Sinergi Bersama Dorong Implementasi UU TPKS
Itulah hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS yang perlu masyarakat ketahui, khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual itu sendiri. Sehingga hal ini menjadi penting untuk menghindari kejahatan lainnya. Seperti victim blaming, yang kemudian menjadikan korban semakin terpuruk.
Maka dari itu, dengan hadirnya UU TPKS ini merupakan dasar hukum materiil dan formil dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Baik oleh aparat penegak hukum, pendamping, hingga masyarakat secara umum.
Meski begitu, berbagai pembaruan dalam UU TPKS akan jauh lebih efektif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, jika semua pihak bersinergi untuk mendorong implementasi UU ini agar berjalan maksimal dan optimal, termasuk dalam pemenuhan hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual. []