Sudah menjadi kesepakatan umat Islam bahwa kita semua harus mengikuti dua perkara, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah atau Al-Hadits. Lalu jika ada sesuatu yang kelihatannya bertentangan dalam hadits, bagaimanakah menyikapinya?
Mubadalah.id – Suatu hari Kanjeng Nabi Muhammad SAW diaturi untuk menjadi imam shalat jenazah. Sebelum pelaksanaan shalat dimulai, Kanjeng Nabi bertanya pada para jamaah, “Hal Alayhi Daynun? Apakah almarhum memiliki hutang?”
Ahli waris almarhum pun menjawab, “Iya Kanjeng Nabi, almarhum memiliki hutang”. Lalu Kanjeng Nabi pun bersabda :”Shallu alayhi ….!, shalatilah dia!”, kata Kanjeng Nabi. Sekan-akan Kanjeng Nabi enggan untuk menjadi imam shalat almarhum yang memiliki hutang.
Kemudian sahabat Nabi bernama Abu Qatadah maju, menyampaikan aspirasi ahli waris, “Wahai Kanjeng Nabi, biar hutangnya menjadi tanggung jawab saya, monggo Panjenengan diaturi menjadi imam shalat?”, demikian kira-kira pinta Abu Qatadah pada Kanjeng Nabi Muhammad saw. Lalu Kanjeng Nabi pun mau menjadi imam shalat. Kisah ini seperti mengajarkan pada kita untuk menghindari hutang atau tidak menshalati mayit yang punya hutang.
Suatu hari istri Kanjeng Nabi Muhammad Saw ditanya seseorang, bagaimana akhir hayat Kanjeng Nabi. Siti Aisyah pun menjawab :
جَاءَ فِي “صَحِيْحِ الْبُخَارِي” مِنْ حَدِيْثِ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنهَّاَ قَالَتْ: تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَرْعُهُ مَرْهُوْنَةٌ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ بِثَلاَثِيْنَ صَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ
“Rasulullah SAW wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum”. (HR. Bukhari).
Kanjeng Nabi, Engkau enggan menshalati jenazah orang yang memiliki hutang, sementara di hari kewafatan panjenengan, Engkau pun masih memiliki hutang, bagaimanakah menjelaskan hal ini?, Kanjeng Nabi, Aku kudu piye, Aku harus bagaimana?
Suatu hari Kanjeng Nabi Muhammad Saw bersabda : “Seorang mayit akan disiksa akibat tangisan keluarganya”.
حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِىِّ عَنْ عَبْدَةَ وَأَبِى مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ.
Telah menceritakan kepada kami Hanad bin Sariyyi dari Abdah dan Abu Mu’awiyyah, dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya, dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya seorang mayit akan diadzab dikarenakan tangisan keluarganya kepadanya (H.R Abu Dawud No. 3131).
Hadis ini seperti memberitahukan pada kita agar mengikhlaskan orang tua, sanak, saudara yang meninggal dunia dengan tanpa harus ada isak tangis. Sementara di sisi yang lain Kanjeng Nabi Muhammad Saw begitu bersedih meneteskan air mata saat anaknya yang bernama Ibrahim meninggal dunia, hingga Kanjeng Nabi Muhammad Saw pun bersabda :
“إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يُرْضِى رَبُّناَ، وَإِناَّ بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَمَحْزُوْنُوْنَ” رواه البخاري
“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai tuhan kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).
Hadis ini seperti memberitahukan pada kita, bahwa Kanjeng Nabi Muhammad pun meneteskan air mata, saat anaknya Ibrahim meninggal dunia. Padahal di hadits terdahulu, Kanjeng Nabi seakan melarang tangisan pada seseorang yang meninggal dunia, sementara beliau sendiri pun tidak tahan untuk meneteskan air mata, saat anaknya meninggal dunia. Bagaimanakah menjelaskan hal ini? Kanjeng Nabi, Aku harus bagaimana?
Dalam hadits riwayat Tirmidzi, Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, Rasulullah SAW bersabda:
وَفِي الْحَدِيْثِ الَّذِي رَوَاهُ التُّرْمُذِيْ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ عَاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ إِلاَّ وَقَّاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ”
“Tidak ada Muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan memberikan perlindungan padanya dari fitnah kubur.”
Riwayat lain menyebutnya :
“كُلُّ مُسْلِمٍ مَاتَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ، حَفِظَهُ اللهُ مِنْ ذَمِّ الْقَبْرِ”.
“Setiap Muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, maka Allah akan menjaganya dari kesusahan kubur.”
Hadis ini sepertinya mengutamakan betul hari Jumat atau malam Jumat, sehingga siapapun yang meninggal di hari Jumat atau malam Jumat, akan mendapat kelebihan selamat dari siksa kubur. Sementara Di sisi lain, istri Kanjeng Nabi Muhammad Saw ketika ditanya oleh Ayahnya Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq tentang akhir hayat Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Aisyah menjawab :
حدثنا وُهَيْب، عن هشام، عن أبيه، عن عائشة رضي الله تعالى عنها قَالَتْ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَالَ: فِي كَمْ كَفَّنْتُمْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَتْ: فِي ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ، لَيْسَ فِيْهَا قَمِيْصٌ وَلاَ عِمَامَةٌ. وَقَالَ لَهَا: فِي أَيِّ يَوْمٍ تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَتْ: يَوْمَ الإِثْنَيْنِ، قَالَ: فَأَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قَالَتْ: يَوْمَ الإِثْنَيْنِ،
Wahaib memberitahu kami, dari Hisham, dari ayahnya, dari Siti Aisha ra, ia berkata: “Aku masuk ke rumah ayahku, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan lalu dia bertanya padaku, tentang akhir hayat suamiku, Kanjeng Nabi Muhammad SAw: “Seberapa banyak kamu mengkafani Kanjeng Nabi Wahai Aisyah? Aisyah menjawab: “Tiga lapis pakaian putih, tanpa baju dan tanpa sorban”. Kemudian Abu Bakar bertanya lagi,: “Pada hari apa Kanjeng Nabi Muhammad Saw, meninggal dunia? Aisyah menjawab : “Pada hari Senin”, kemudian Abu Bakar bertanya lagi: “Hari apa ini?” Aisyah menjawab : “Sekarang hari Senin.”
Hadis ini berkisah tentang hari wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yaitu hari Senin. Pertanyaannya hanya satu, kenapa beliau tidak meninggal di hari Jumat? Bagaimanakah menjelaskan hal ini, Kanjeng Nabi, Aku harus bagaimana? []