• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kedatangan Paus Fransiskus dan Iktikad Menginsafi Dosa Bangsa

Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia, misalnya, haruslah pemerintah arifi sebagai sebuah momentum untuk merenung dan berkaca diri

Ahmad Thohari Ahmad Thohari
14/09/2024
in Pernak-pernik
0
Kedatangan Paus Fransiskus

Kedatangan Paus Fransiskus

307
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ada banyak alasan tentunya untuk bersama-sama, sebagai bagian dari warga negara Indonesia, kita mesti beriktikad untuk menginsafi bangsa. Karena saking banyaknya dosa-dosa struktural yang terjadi dalam gelanggang perjalanan hidup bangsa. Hingga membuat Indonesia sulit sekali untuk maju. Dan, alasan untuk itu memuncak pada momen akhir menjelang berakhirnya rezim pemerintahan Pak Jokowi.

Jelas sekali sudah, melihat apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini dalam eskalasi persoalan-persoalan politik Indonesia. Sampai-sampai Bahlil Lahadalia yang berhasil menjadi ketum baru di Partai Golkar, menyebut sosok Pak Jokowi sebagai “Raja Jawa”—yang kita mesti berhati-hati terhadapnya. Fakta ini merupakan gendang alarm yang sedang berbunyi untuk mengumumkan bahwa bangsa ini sedang mengalami: “darurat demokrasi”. Perkataan yang cukup menyulut api kemarahan konstitusional.

Konsekuensi dari perkataan semacam itu jelas sangat menyakiti hati rakyat, dan membikin rakyat kebanyakan muak. Pertama, karena ada indikasi bahwa terjadi pengkhianatan terhadap konstitusi bangsa Indonesia, yakni demokrasi itu sendiri. Persis seperti ungkapan Guru Besar UGM, Prof. Koentjoro. Kedua, jelas sekali, jika demokrasi itu kita khianati, maka mekanisme pemerintahan yang berjalan sangat memungkinkan tidak lagi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Dan, kita semua bisa menerka-nerka bahwa berhasilnya Gibran Rakabuming Raka, anak pertama Presiden Jokowi menjadi bakal wapres, hingga adanya koalisi KIM plus di momen-momen menjelang Pilkada 2024 merupakan indikasi pula bahwa layaknya istri yang sudah kita pinang, rakyat hendak—bahkan sudah—diselingkuhi dan dikhianati habis-habisan oleh si pemerintah.

Rekam Jejak

Tentulah, saya tidak perlu memaparkan ulang apa yang telah Tempo.co paparkan, yang telah memberikan rekam jejak dari dosa struktural yang dilakukan oleh rezim Pak Jokowi untuk bangsa. Hingga, kita, sebagai rakyat biasa ini, mesti berbondong-bondong menyiapkan hati dan kekusyukan karena mendapatkan pekerjaan baru—di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan—untuk berkenan menginsafi dosa-dosa struktural tersebut demi nasib masa depan bangsa. Merepotkan memang.

Baca Juga:

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

(**)

Padahal, dalam komitmen nilai demokrasi yang sehat, pemerintah mestinya bertanggung jawab penuh untuk mendengarkan suara hati rakyat dan menghormati hak-hak rakyat sama sekali. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Ketika pemerintah mulai mengejar kekuasaan dengan mengabaikan suara rakyat dan prinsip-prinsip keadilan, hal ini sama saja pemerintah sedang melakukan tindakan intoleransi terhadap rakyatnya sendiri.

Sebuah bentuk tindakan di mana perintah melakukan kekerasan moral dan etis terhadap hak rakyat. Kalau demikian itu yang pemerintah lakukan, lantas bagaimana mungkin pemerintah dengan lugunya—untuk tidak menyebutnya dungu—akan berkampanye menolak segala tindakan intoleran dan anti-kekerasan?

Karena itulah, pemerintah mestilah menginsafi dirinya sendiri, sebelum rakyat bersama-sama juga akan menginsafi bangsa. Tujuannya  agar terbebas dari dosa-dosa struktural yang telah pemerintah lakukan demi masa depan bangsa yang lebih baik, dan maju.

Menilik Kembali Kedatangan Paus Fransiskus

Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia, misalnya, haruslah pemerintah arifi sebagai sebuah momentum untuk merenung dan berkaca diri. Apakah yang selama ini telah mereka lakukan adalah sesuatu yang adil dan demokratis, atau justru mengkhianati rakyat dan mengorbankan cita-cita demokrasi demi kepentingan elit dan keluarganya sendiri?

Lebih-lebih untuk memahami arti penting menjadi manusia yang mesti memanusiakan manusia. Inilah saatnya pemerintah—dan tentu, kita semua—harus menginsafi dosa-dosa struktural yang telah melucuti dan memperkosa martabat demokrasi di Indonesia itu, untuk kemudian berusaha memperbaikinya.

Bahkan, secara personal, siapapun yang duduk dalam kursi pemerintahan beserta yang bersangkutan—mulai dari presiden, DPR, juga anak-cucunya, termasuk para elit-elit politik yang terkonsolidasi sebagai ‘oligarki’ di Indonesia—sudah wajib hukumnya merefleksikan sikap dan prinsip hidupnya kepada kemurnian pribadi dan kesederhanaan sosok Paus Fransiskus.

Misalnya, untuk tidak ugal-ugalan dalam membangun citra diri dan politik. Untuk tidak jegal-jegalan hanya demi memenuhi dahaga kekuasaan dunia. Dan, untuk tidak sibuk mengancam sana-sani demi terbangunnya dinasti politik yang akan menciptakan otoritarianisme kekuasaan absolut—menindas rakyat kecil.

Otoritarianisme Kekuasaan

Akan terjadi ketimpangan yang semakin menjadi-jadi apabila otoritarianisme kekuasaan benar-benar terbangun dalam bangsa ini. Merujuk pada novel 1984 karya George Orwell, misalnya, tentang akibat adanya kekuasaan absolut.

Ketika pemerintahan menjalankan kekuasaannya secara absolut, maka yang akan terjadi selanjutnya adalah bentuk-bentuk penindasan terhadap rakyat. Yakni melalui pengawasan ketat, manipulasi informasi, dan penindasan kebebasan berpikir.

Novel tersebut memberikan ilustrasi yang cukup jelas tentang bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali akan merampas kebebasan individu, menghancurkan martabat manusia, dan merusak kehidupan rakyat kecil, yang semua itu dalam banyak hal mirip sekali dengan apa yang terjadi pada eskalasi persoalan politik Indonesia akhir-akhir ini.

(***)

Sesungguhnya, dalam kengerian semacam itu, yang mengkhawatirkan sekali adalah apa yang nantinya akan dialami oleh si pelaku itu sendiri. Dalam kasus ini adalah Pak Jokowi. Sebagai “Raja Jawa”, misalnya, yang memiliki “dua tangan” sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuatan serta kekuasaannya melalui: pertama, mengatur dengan ancaman kasus (menjerat). Kedua, mengatur dengan memberikan suap (jabatan).

Dalam skala aturan waktu yang terus berjalan, “dua tangan” tersebut bukan tak mungkin akan menjadi boomerang bagi Pak Jokowi sendiri. “Hukum alam” pasti akan mengadili. Begitulah filosofi timbal-balik kelakuan dalam khazanah Jawa.

Toh, misalnya, seandainya Pak Jokowi benar-benar merefleksikan kehadiran Paus Fransiskus ke Indonesia sebagai momentum untuk menginsafi dosa-dosa struktural secara lahir-batin dan moral-spiritual. Pak Jokowi mestilah pertama-tama menghayati—sambil berinsaf dengan sebenar-benarnya insaf—nasihat dari Ali bin Abi Thalib: “hendaklah engkau takut kepada ketamakan dalam kekuasaan, karena ketamakan itu akan menghilangkan keadilan dan mengantarkan(mu) kepada kezaliman.”

Hasrat untuk Berkuasa

Nasihat tersebut tentulah menggambarkan sekali tentang betapa berbahayanya hasrat untuk berkuasa apabila kita turuti secara berlebihan. Karena sering kali justru akan menyebabkan seseorang dengan sembrononya bertindak tidak adil dan merugikan orang-orang lain yang tidak bersalah, yang itu hanya akan mengundang balak-bahaya bagi dirinya sendiri.

Baiklah, mungkin Pak Jokowi bisa menang melawan siapapun itu, termasuk terhadap rakyat. Merasa biasa-biasa saja dan baik-baik saja. Akan tetapi, sebagaimana sewajarnya manusia yang dhaif dan penuh kedurhakaan, Pak Jokowi tidaklah mungkin dapat menang melawan “hukum alam”. Dan, beliau tidak semestinya lantas terus merasa biasa-biasa saja, karena “balak” dari perbuatannya sendiri selalu menanti di depan gerbang pintu rumahnya.

Saya merasa sangat khawatir dan iba, tentunya. Karena itu, satu-satunya hal yang mesti segera Pak Jokowi lakukan adalah berinsaf dari segala dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sesuatu yang benar-benar harus disegerakan. Tidak ada lagi waktu untuk menunda-nunda.

Kedatangan Paus Fransiskus, saya pikir menjadi semacam atmsal pengingat bagi seluruh warga negara Indonesia—khususnya bagi para elit-elit pemerintahan, hingga rakyat biasa—untuk segera menginsafi bangsa, sekaligus bersegera dengan sungguh-sungguh menyudahi segala bentuk tindakan intoleran dan perilaku-perilaku kekerasan baik yang bersifat fisik, moral, dan konstitusional. []

Tags: IndonesiaKedatangan Paus FransiskuskekuasaanpemerintahRezimVatikan
Ahmad Thohari

Ahmad Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari, lulusan mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, punya minat kajian di bidang filsafat, sosial dan kebudayaan. Asal dari Ngawi, Jawa Timur.

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyai Ratu Junti

    Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version