• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kelahiran Anak Disabilitas Bukan Hukuman: Mematahkan Stigma yang Menyakitkan

Terlepas dari kondisinya, setiap anak yang lahir adalah amanah dan anugerah yang harus kita rawat dengan penuh cinta.

Faricha Cahya Faricha Cahya
06/03/2025
in Personal
0
Anak Disabilitas

Anak Disabilitas

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kelahiran anak dengan kondisi disabilitas masih sering dipandang sebelah mata. Beberapa orang memilih lebih dulu menghakimi dari pada memahami. Ada saja stigma negatif yang muncul, seperti mengaitkannya dengan sihir, azab, hingga dianggap sebagai hukuman atas dosa yang dilakukan orang tuanya, terutama ibu. Padahal anggapan seperti ini tidak hanya keliru, tetapi juga menyakitkan dan tidak berdasar.

Ketika seorang anak terlahir dengan disabilitas, maka yang perlu kita edukasi adalah orang terdekatnya. Mereka perlu memahami bahwa disabilitas bukanlah azab dari Allah, dan bukan pula hukuman untuk orang tuanya. Sayangnya stigma seperti itu masih mengakar di masyarakat, yang membuat banyak orang tua, terutama ibu, merasa bersalah atas kondisi anak mereka.

Kisah dan Realitas dari Keluarga Penyandang Disabilitas

Salah satu kisah yang mencerminkan realitas ini datang dari tante saya sendiri. Ia adalah ibu yang sangat luar biasa membesarkan anak difabel rungu wicara dengan kasih sayang dan penuh cinta. Namun, ia mendapati pernyataan yang kurang mengenakkan datang dari seorang tokoh masyarakat. Orang itu mengatakan bahwa alasan ia memiliki seorang anak disabilitas adalah buah dosa dari masa lalunya.

Konon, saat sedang mengandung, tante saya pernah secara tidak sengaja mengabaikan penggilan dari ibunya (nenek saya). Hal itu membuat nenek saya sakit hati, yang kemudian menjadi sebab ia melahirkan seorang anak tuli.

Anggapan semacam ini mencerminkan stigma negatif terhadap disabilitas masih melekat dalam masyarakat. Seolah-seolah kelahiran anak dengan kondisi disabilitas harus dikaitkan dengan kesalahan atau hukuman atas dosa masa lalu. Padahal, agamapun tidak membenarkan pandangan seperti itu.

Disabilitas dalam Perspektif Islam dan Kemanusiaan

Terlepas dari kondisinya, setiap anak yang lahir adalah amanah dan anugerah yang harus kita rawat dengan penuh cinta, bukan sebuah simbol hukuman atau balasan atas dosa orang tuanya. Pernyataan seperti itu, bisa jadi dapat menambah beban emosional bagi orang tua yang harusnya mendapatkan dukungan, bukan tuduhan.

Baca Juga:

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Dalam agama islam, prinsip kesetaraan telah ditegaskan dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13.

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa…”.

Seperti apa yang buya Husein sampaikan dalam acara Akademi Mubadalah 2025 di Yogyakarta. Kemuliaan seseorang tidak bergantung pada rupa, fisik, atau latar belakangnya, tetapi pada ketakwaannya. Mengartikan bahwa Allah menilai manusia bukan karena tampilan luarnya, melainkan karena kualitas hatinya.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk merendahkan penyandang disabilitas sebagai manusia atau makhluk yang tidak berharga. Mereka memiliki hak yang sama untuk kita hormati dan kita perlakukan dengan adil di masyarakat. Pandangan ini selaras dengan ketiga prisip mubadalah.

Tiga Prinsip Mubadalah; Martabat, Adalah, Maslahat

Dalam perspektif mubadalah, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan tiga prinsip utama yang harus kita jadikan dasar dalam memandang sesama manusia sebagai makhluk agar tercipta visi yang rahmatal lil ‘alamiin.

Martabat, berarti memandang setiap manusia dengan nilai dan kehormatan yang sama, termasuk penyandang disabilitas. Ketika kita memahami bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, tidak akan ada lagi ruang untuk diskriminasi dan pelecehan. Disabilitas bukanlah hukuman atau aib, melainkan bagian dari keberagaman manusia yang harus dihormati.

Prinsip Adalah dapat ditegakkan dengan memberi hak yang setara di berbagai aspek kehidupan mereka, seperti pendidikan, pekerjaan, maupun layanan publik yang aksesibel. dengan begitu, akan tercipta kebaikan bersama atau maslahat.

Menghapus stigma negatif terhadap disabilitas bukan hanya tentang keadilan sosial, tetapi juga tentang menghormati kemanusiaan secara utuh. ketika kita menerima setiap individu dengan penuh penghormatan, kita sedang membangun masyarakat yang berempati dan penuh kasih sayang. []

Tags: Akademi Mubadalah 2025Anak Disabilitaskeluargaperspektif mubadalahRelasistigma
Faricha Cahya

Faricha Cahya

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Beda Keyakinan

    Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID