Mubadalah.id – Isu yang terpenting dan masih selalu diperdebatkan saat ini adalah kepemimpinan perempuan. Isu ini selalu mengemuka terutama jika ada sinyal seorang perempuan mendapat dukungan rakyat untuk menjadi Presiden atau Perdana Menteri. Perdebatan selalu sengit. Baik kelompok yang mendukung maupun yang menentang menjadikan dalil-dalil agama sebagai argumentasinya.
Berikut ini akan dijelaskan serba singkat dalil-dalil agama yang sering dijadikan sebagai argumen yang menentang kepemimpinan perempuan dalam suatu negara, baik sebagai presiden perdana menteri. Selanjutnya argumen itu akan diuji apakah layak dijadikan sebagai dalil yang pasti untuk menolak kepemimpinan perempuan tersebut atau tidak.
Paling tidak ada tiga ayat yang sering jadi dalil untuk menolak kepemimpinan perempuan ini yakni:
Pertama, Surat An-Nisa’ (4) ayat 34 : “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan … dst.” Kedua, Surat Al-Baqarah (2) ayat 228 : “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut cara yang baik. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”
Ketiga, Surat Al-Ahzab (33) ayat 33 : “Dan hendaklah kalian (wahai para istri Nabi) tetap di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu”
Dengan merujuk pada ayat pertama, mereka yang menolak kepemimpinan perempuan berpendapat bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan secara mutlak, baik di sektor domestik maupun di sektor publik. Tidak ada alasan bagi kaum perempuan untuk memimpin laki-laki.
Apalagi dalam ayat kedua dinyatakan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan. Kelebihan ini meneguhkan kepemimpinan laki-laki dan menafikan kemungkinan kepemimpinan perempuan.
Selanjutnya, ruang gerak perempuan terbatas pada empat arah dinding rumahnya karena ayat ketiga menyuruh perempuan untuk tinggal di rumah.
Atas dasar inilah, keterlibatan perempuan dalam dunia publik, apalagi menjadi pemimpin, sangat ditentang karena melewati batas wilayah yang diperuntukkan perempuan yakni wilayah domestik dan menentang nash yang zhahir (teks ayat yang tersurat).
Pertanyaan kita sekarang adalah apakah harus begitu memahami teks ayat? Jawabannya jelas tidak. Sebab kaedah penafsiran memberikan ruang pemahaman yang tidak sesempit itu.
Kaedah Tafsir
Dalam kaedah tafsir ada dua pendapat mengenai bagaimana menempatkan asbabun nuzul (sebab dan konteks turunnya suatu ayat).
Pertama, kaedah yang mengatakan bahwa teks umum yang tersuratlah yang menjadi pedoman dan bukan sebab yang khusus (Al-Ibrah bi Umum al-Lafzhi la bi Khusus al-Sabab).
Berdasarkan kaedah ini muncul pendapat yang menganggap bahwa asbabun nuzul tidak penting kita pertimbangkan dalam memahami ayat. Apa yang tersurat itulah yang menjadi pedoman. Atas dasar inilah ayat-ayat di atas menjadi dalil menolak kepemimpinan perempuan.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa dan konteks khusus yang melatarbelakangi turunnya ayatlah yang menjadi pedoman dan bukan teks yang tersurat (al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafzhi).
Kaedah ini mempertimbangkan asbabun nuzul dalam memahami teks ayat atau hadits karena seringkali terjadi kesalahan pemahaman dan penerapan teks akibat tidak melihat konteks. Padahal ayat-ayat dan hadis tidak turun di ruang hampa. Ada dinamika sosial yang melingkupinya ketika ayat atau hadis itu turun.
Oleh karena itu, agar ayat dan hadits yang turun empat belas abad yang lalu itu tetap kontekstual, ia harus di letakkan pada konteks turunnya.
Berdasarkan kaedah kedua ini muncullah pendapat yang memperbolehkan kepemimpinan perempuan merujuk kepada ketiga ayat di atas. Di samping ayat-ayat lain yang secara eksplisit mengakui kesetaraan hak politik laki-laki dan perempuan seperti Surat At-Taubah ayat 71.
Dan ayat yang secara eksplisit mengakui keberhasilan kepemimpinan seorang perempuan Ratu Negeri Saba, yakni Ratu Balqis seperti yang dikisahkan dalam Surat An-Naml ayat 15-44. []