• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kepemimpinan Perempuan pada Era Sultanah di Aceh

Kosongnya kehadiran ulama perempuan yang memiliki keberpihakan terhadap kepemimpinan perempuan, kala itu, berpengaruh pada suksesi perempuan sebagai penguasa Aceh

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
26/10/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan

536
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Satu kenyataan historis dalam lintas sejarah Nusantara yang tidak dapat kita abaikan, adalah keberadaan ratu atau sultanah. Kepemimpinan perempuan yang memainkan peran sebagai pemangku puncak kekuasaan tertinggi kerajaan (negara).

Aceh Darussalam dalam sejarahnya menjadi salah satu kerajaan (atau kesultanan) yang pernah dipimpin oleh perempuan. Lebih kurang selama 58 tahun, 1641-1699 M, menjadi era kekuasaan para sultanah di Aceh. Selama kurun waktu itu terdapat empat sultanah yang memerintah Aceh, yaitu Sultanah Safiatuddin Tajul-‘Alam Shah (1641-1675 M), Sultanah Nurul-alam Naqiyatuddin Shah (1675-1678 M), Sultanah Zakiatuddin Inayat Shah (1678-1688 M), dan Sultanah Zainatuddin Kamalat Shah (1688-1699 M).

Benarkah Aceh Merosot Karena Kepemimpinan Perempuan?

Dalam Sejarah Islam Nusantara, Rizem Aizid menjelaskan, “Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaannya pada masa Sultan Iskandar Muda yang memerintah dari 1607-1636…. Kemunduran Kerajaan Aceh …terasa sejak Sultan Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M. Di mana ia kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani Ala’ al-Din Mughayat Syah (1636-1641).

Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675), putri Iskandar Muda dan Permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. …pada masa kepemimpinan empat ratu inilah, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang cukup signifikan.”

Rentetan sejarah kemunduran Aceh tersebut, sering kali, menyudutkan masa kepemimpinan empat sultanah sebagai biang kemunduran Aceh. Sehingga, sering kita salah-artikan, kalau kemunduran Aceh akibat memberi ruang kepemimpinan kepada perempuan.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

Jejak Tokoh Muslim Penyandang Disabilitas

Padahal, masa pemerintahan empat sultanah juga diwarnai dengan banyak capaian, dan oleh karena itu, sebagaimana menurut Nurul Fithrati dalam Mengenal Budaya Aceh, masa Sultanah Safiatuddin juga merupakan masa kegemilangan Aceh layaknya masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Shah, Sultan Abdul Qahhar, dan Sultan Iskandar Muda.

Pandangan ini sejalan dengan Nuruddin ar-Raniri, Syaikh al-Islam Aceh pada masa itu, yang memberikan panilaian positif terhadap pemerintahan Safiatuddin. Sebagaimana penjelasan Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi bahwa, ar-Raniri menjelaskan kalau Safiatuddin merupakan penguasa yang adil, lemah lembut, dermawan, penyayang, dan mengayomi rakyat. Pemerintahan Safiatuddin, menurut ar-Raniri, membawa Aceh pada kemakmuran.

Konflik Internal Mendasari Kemunduran Aceh

Jadi perihal kemunduran Aceh adalah dikarenakan oleh kepemimpinan perempuan agaknya termasuk kesimpulan yang terlalu terburu-buru. Sebab, terlepas dari pemerintahan empat sultanah, nyatanya ada banyak faktor yang membuat Aceh merosot, seperti, sebagaimana menurut Rizem Aizid, menguatnya kekuasaan Belanda di Sumatera dan Selat Malaka menjadi salah satu penyebab kemunduran Aceh.

Tidak heran jika setelah masa Zainatuddin, Sultanah Aceh yang terakhir, Aceh tetap mengalami kemunduran, bahkan pada abad ke-18-19 M kemunduran Aceh semakin bertambah parah akibat konflik dengan Belanda dan Inggris.

Selain itu, berbagai konflik internal juga mendasari kemunduran Aceh. Di dalam tubuh kerajaan sendiri tidak terdapat keselarasan langkah untuk memajukan Aceh, karena berbagai konflik perebutan tahta (sebagaimana dalam buku Amirul Hadi bahwa “kemungkinan” berasal dari keluarga Polem), pemberontakan para Orang Kaya (golongan aristokrat), dan sikap sinis golongan Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Hal-hal itu yang sebenarnya membuat Aceh semakin jauh dari masa kegemilangannya.

Meski konflik internal tidak berhasil menumbangkan kekuasaan sultanah di Aceh–sebagaimana Amirul Hadi bahwa, “…pengunduran diri ratu pada tahun ini (1699 M) bukan atas tekanan oposisi bersenjata, akan tetapi dengan kekuatan ‘fatwa’ yang datang dari Mekah yang menegaskan bahwa pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan (Aceh)–namun bagaimanapun adanya konflik internal, serta gangguan Belanda dan Inggris yang semakin menguat di Sumatera dan Selat Malaka, menjadikan Aceh semakin jatuh dari puncak kejayaannya.

Sehingga tidak heran meski masa sultanah berakhir, dan kembali kepada era laki-laki yang menjadi sultan, kemunduran Aceh tetap tidak dapat terhindarkan. Sebab, masalahnya bukan pada soal yang memimpin apakah perempuan atau laki-laki, melainkan pada berbagai konflik internal dan kekuatan dari luar yang kian menguat.

Dukungan Ulama terhadap Kepemimpinan Perempuan di Aceh

Sebagaimana telah sedikit saya singgung pada poin sebelumnya, bahwa berakhirnya era sultanah di Aceh akibat desakan ‘fatwa’ dari Mekah, yang menegaskan kalau kepemimpinan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam.

Fatwa tersebut berdampak pada suksesi kepemimpinan di Aceh. Tidak mengherankan sebab masyarakat Aceh terkenal kukuh dengan syariat Islam. Sehingga berbagai pihak yang ingin menjatuhkan kepemimpinan perempuan memanfaatkan situasi tersebut.

Meski demikian, pada masa itu, juga terdapat ulama yang mendukung perempuan menjadi ratu atau sultanah. Artinya, perdebatan kepemimpinan perempuan telah mewarnai diskursus keislaman di Aceh waktu itu.

Amirul Hadi menjelaskan bahwa, “…tidak seperti pendahulunya–yang diterima baik oleh masyarakat ibu kota–penempatan (Sultanah Zainatuddin) Kamalat Shah di puncak kekuasaan mendapat tantangan yang serius….” Penjelasan Amirul Hadi ini secara tidak langsung juga menerangkan bahwa masyarakat Aceh–yang kukuh dengan syariat Islam–menerima dengan baik pengangkatan para sultanah, Safiatuddin, Nurul-alam, dan Zakiatuddin, dan pada masa Zainatuddin gejolak penolakan kepemimpinan perempuan memanas.

Masyarakat Aceh Menerima Kepemimpinan Perempuan

Penerimaan masyarakat Aceh terhadap kepemimpinan perempuan tidak lepas dari peran dua sosok ulama “perempuan”. Karena berdasarkan paradigma KUPI keduanya dapat kita katakan sebagai ulama perempuan, sebab memiliki paradigma keberpihakan kepada (kepemimpinan) perempuan. Yaitu Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Singkili. Keduanya merupakan ulama yang amat berpengaruh di Aceh pada era para sultanah.

Penerimaan ar-Raniri terhadap kepemimpinan perempuan terlihat pada sikapnya, yang sebagaimana Amirul Hadi, “Al-Raniri memberikan pandangan positif mengenai Safiyyat al-Din…. Ratu ini ar-Raniri deskripsikan sebagai seorang penguasa yang taat. Dan senantiasa berupaya dengan serius untuk mengimplementasikan syari’at Islam di kerajaan.

Ia adalah juga seorang penguasa yang adil, lemah-lembut, dermawan, penyayang, dan mengayomi rakyat. Penghargaan tinggi terhadap ulama dan para pengunjung di kerajaan merupakan salah satu karakternya yang khas. Pada masa pemerintahannya, menurut al-Raniri, Aceh muncul sebagai sebuah kerajaan yang makmur.”

Dan untuk penerimaan as-Singkili terhadap kepemimpinan perempuan, sebagaimana Amirul Hadi menjelaskan, “…pemerintahan perempuan bagi al-Singkili merupakan sebuah fenomena yang normal…. Sikap al-Singkili yang ‘konsisten’ dalam mendukung pemerintahan ratu secara konseptual–meskipun hal ini ia lakukan secara implisit–juga seharusnya menjadi pertimbangan yang serius.

Pandangannya inilah yang kelihatannya telah memainkan peran yang signifikan dalam mempertahankan keberadaan pemerintahan perempuan. Sejarah membuktikan bahwa selama masa kehidupannya, pandangan ulama ini mengenai pemerintahan perempuan tidak pernah mendapatkan tantangan yang serius.”

Sebab adanya keberpihakan dua ulama perempuan, ar-Raniri dan as-Singkili, membuat kepemimpinan perempuan dapat masyarakat Aceh terima. Selain itu juga turut menguatkan posisi perempuan sebagai penguasa di Aceh. Sayangnya, pasca-wafatnya as-Singkili, Aceh agaknya kosong dengan ulama perempuan yang memiliki keberpihakan kuat terhadap kepemimpinan perempuan.

Ini sejalan dengan penjelasan Amirul Hadi, “Kenyataan bahwa ‘fatwa’ yang melarang pemerintahan perempuan muncul setelah wafatnya al-Singkili. Untuk ar-Raniri sudah lama meninggalkan Aceh sebelum wafatnya as-Singkili. Hal ini menunjukkan bahwa statusnya sebagai ulama dan pemegang otoritas tertinggi agama di kerajaan sangat mereka hormati. Sejarah juga membuktikan bahwa hanya setelah ulama yang moderat dan berpengaruh ini wafat, pemerintahan ratu berakhir.”

Kosongnya kehadiran ulama perempuan yang memiliki keberpihakan terhadap kepemimpinan perempuan, kala itu, berpengaruh pada suksesi perempuan sebagai penguasa Aceh. Keadaan itu semakin parah dengan hadirnya fatwa yang tidak berpihak terhadap perempuan dalam ruang kepemimpinan. Dan, pada akhirnya, masa Zainatuddin menjadi era terakhir para sultanah di Aceh. []

Tags: AcehKepemimpinan PerempuanNusantarasejarahSyariat Islam
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version